Sejarah Pegang Ular dalam Praktik Keagamaan, Kontroversial!

- Praktik memegang ular dilakukan dalam ritual keagamaan di gereja-gereja Appalachia, Amerika.
- Praktik memegang ular menjadi kontroversi karena berujung dramatis dan berbahaya.
- Beberapa jemaat gereja percaya bahwa praktik memegang ular adalah perintah dan kepatuhan kepada Tuhan berdasarkan ayat-ayat Alkitab.
Praktik atau ritual keagamaan di seluruh dunia bisa bermacam-macam. Caranya pun ada yang rumit. Penganut suatu kepercayaan tertentu biasanya punya perintah dan larangannya tersendiri, seperti bagaimana cara berpakaian yang baik, makanan yang boleh atau tidak boleh dimakan, bahasa yang digunakan dalam beribadah, dan bagaimana cara berinteraksi dengan orang-orang di luar kelompok keyakinan mereka. Selain itu, suatu kepercayaan umumnya akan mempertimbangkan dan memperdebatkan secara mendalam tentang sesuatu yang tersirat dari sebuah kitab suci dan bagaimana hal itu harus menjadi pedoman bagi kehidupan umatnya sehari-hari. Namun, ada juga, nih, praktik keagamaan yang melibatkan hewan tertentu dalam peribadatan mereka.
Yap, kamu gak salah dengar. Sebenarnya ada praktik keagamaan yang bisa dibilang agak unik bagi sebagian orang, seperti praktik memegang ular. Praktik memegang ular ini ada di Amerika. Biasanya, ini dipraktikkan di gereja-gereja Appalachia, khususnya di pedesaan yang terkait dengan Kristen Pentakosta dan denominasi Protestan karismatik. Bahkan, hingga kini, beberapa gereja kecil masih menjalankan praktik tersebut sebagai pengabdian kepada Tuhan, termasuk minum racun ular dan berbicara dalam bahasa yang tidak dikenal.
Hal ini juga bukanlah praktik baru. Praktik memegang ular muncul pada awal abad ke-20. Ia didasari pada ayat-ayat di Alkitab yang mengatakan bahwa orang beriman mampu memegang ular dan minum racunnya, tetapi tidak terluka sedikit pun. Dalam konteks keagamaan lain, praktik ini sudah dijalankan lebih lama lagi. Nah, berikut ini kita akan membahas sejarah memegang ular yang sering kali berujung dramatis dan berbahaya dalam keagamaan. Simak sampai akhir agar kamu bisa mengetahui secara lengkap sejarah praktik yang kontroversial ini.
1. Praktik memegang ular juga diterapkan oleh suku-suku asli Amerika

Orang-orang Mesoamerika punya upacaranya sendiri, bahkan membuat karya seni untuk menghormati ular ala mereka. Sementara itu, dalam ritual Voodoo Haiti, pengikutnya memberi penghormatan kepada Dambollah. Nah, Dambollah ini sering digambarkan sebagai ular.
Suku Pueblo di Amerika Barat Daya punya praktik perdukunan yang melibatkan ular. Biasanya, seorang dukun dari suku Yokut akan memimpin upacara dan beberapa anggota suku akan mengumpulkan ular derik. Upacara ini diadakan pada musim semi. Kebetulan, ular derik tidak lincah pada musim-musim seperti ini. Dalam praktik ini, mereka sengaja mengganggu ular agar digigit. Nah, jika para penari selamat dari gigitan ular, mereka dianggap memiliki kekuatan yang tak tertandingi.
Selain itu, suku Chumash (penduduk asli Amerika wilayah pesisir California tengah dan selatan) punya tarian serupa, lho. Namun, tujuannya beda, nih. Suku Chumash biasanya mengganggu ular bukan untuk mencari tahu seberapa tangguh mereka, tapi untuk menentukan apakah mereka bisa memakan ular atau tidak.
Ada juga praktik memegang ular oleh anggota suku Hopi, seperti mengangkat ular dalam ritual tarian dan kadang mencium reptil tersebut. Penari dianggap akan baik-baik saja jika mereka adalah orang yang baik dan terhormat. Wah, unik, ya!
2. Ular dalam praktik agama Kristen dimulai pada abad ke-20

Bagi banyak orang, ular dalam praktik keagamaan sangat erat kaitannya dengan agama Kristen Protestan, terutama yang dipraktikkan di gereja-gereja pedesaan Appalachia. George Went Hensley dari Tennessee adalah orang yang memperkenalkan praktik tersebut pada awal abad ke-20. Ia adalah orang pertama yang membawa ular derik ke kebaktian gereja pada 1909.
Praktik ular George Went Hensley pun diterima secara tidak resmi oleh Church of God pada 1914. Biarpun begitu, gereja tersebut meninggalkan praktik tersebut pada akhir 1920-an. Namun, praktik memegang ular sudah mengakar pada banyak jemaat gereja di Appalachia dan bagian lain di Amerika Selatan.
Namun, The Mountaineer berpendapat bahwa George Went Hensley bukan orang pertama dari wilayah tersebut atau orang pertama yang membawa ular berbisa ke kebaktian gereja sebagai tanda keimanan dan kepatuhan kepada Tuhan. Menurut publikasi tersebut, pendeta Jimmy Morrow mengeklaim bahwa seorang perempuan Virginia bernama Nancy Younger Kleiniek adalah yang mempromosikan praktik ular ke gereja pada 1890. Menurut cerita Jimmy Morrow, Nancy Younger Kleiniek memegang ular pada pertemuan kebaktian kebangunan rohani di seluruh wilayah AS, termasuk di Tennessee, Carolina, dan Kentucky.
3. Praktik memegang ular bermuara pada serangkaian ayat di Alkitab

Bagi banyak gereja, praktik ular bermuara pada ayat-ayat di Alkitab yang memerintahkan umat beriman untuk memegang ular. Pertama, ada Markus 16:17—18: "Mereka akan memegang ular, dan sekalipun mereka minum racun maut, mereka tidak akan mendapat celaka; mereka akan meletakkan tangannya atas orang sakit, dan orang itu akan sembuh." Sementara itu, ayat Lukas 10:19 menyebutkan: "Sesungguhnya Aku telah memberikan kuasa kepada kamu untuk menginjak ular dan kalajengking dan kuasa untuk menahan kekuatan musuh, sehingga tidak ada yang akan membahayakan kamu." Beberapa gereja juga merujuk pada Kisah Para Rasul 28:1—6 ketika Rasul Paulus bergulat dengan seekor ular berbisa. Meski menggigitnya, ular itu tidak membahayakannya.
Namun, masih banyak perdebatan di antara banyak gereja terkait ayat-ayat tersebut. Beberapa pengamat berpendapat bahwa definisi harfiah dari ayat-ayat tersebut terlalu sederhana. Kata ular dalam ayat-ayat tersebut kemungkinan maknanya jauh lebih luas, seperti merujuk pada suatu perbuatan yang salah atau kejahatan di dunia. Lalu, praktik ular derik juga dikaitkan dengan ayat Matius 4:7 yang memuat kalimat: "Jangan mencobai Tuhan, Allahmu." Bagi gereja yang mempraktikkan ular derik selama kebaktian gereja sama saja seperti mereka sedang menguji ayat tersebut.
4. Ada juga praktik menenggak racun dan mengucapkan kata-kata yang tidak dimengerti

Selain praktik memegang ular, disiapkan juga bagi umat paroki untuk minum striknina (strychnine) atau racun mematikan lainnya. Kamu gak salah dengar, kok. Praktik menenggak racun ini memang ada dengan tujuan untuk melawan iblis atau atas perintah Tuhan. Selain itu, mereka juga ingin tahu apakah mereka dilindungi oleh Yang Maha Kuasa atau tidak. Namun, praktik menenggak racun itu sangat berbahaya, bahkan bagi orang yang paling beriman sekalipun. Seperti yang dilaporkan The New York Times, ada dua jemaat gereja yang meninggal pada 1973 karena menenggak racun ini, termasuk seorang pendeta yang meminum striknina.
Selain memegang ular dan minum racun, ada juga glossolalia, yang lebih dikenal dengan berbicara dalam bahasa roh. Mereka yang mengucapkan kata-kata yang tidak dapat dipahami ini akan melakukannya dalam keadaan gembira. Mereka juga mengaku berkomunikasi dengan roh-roh surgawi atau sebagai perantara untuk menerima wahyu ilahi.
5. Praktik memegang ular sangat populer di Appalachia

Ular dalam praktik keagamaan sering kali dikaitkan dengan komunitas Appalachia di desa-desa terpencil. Memang benar, praktik ini masih sangat populer di Appalachia selatan. George Went Hensley adalah salah satu orang yang memopulerkan praktik memegang ular di gereja-gereja Protestan. Ia memulainya di Tennessee. Namun, beberapa gereja di wilayah Amerika barat tengah juga menerapkan praktik memegang ular karena jemaatnya membawa praktik tersebut dari Appalachia.
Pada 2013, NPR melaporkan bahwa diperkirakan ada 125 gereja yang masih mempraktikkan penanganan ular. Adapun, sebagian besar berlokasi di daerah yang meliputi bagian selatan Pegunungan Appalachia dan beberapa bagian Alabama, Georgia, serta Carolina. Namun, sebagian besar negara bagian melarang praktik tersebut karena alasan keselamatan.
6. Gereja yang menerapkan praktik memegang ular sering kali dilakukan secara rahasia

Hanya sedikit gereja yang mempraktikkan memegang ular. Itu karena sering kali ada yang dituntut secara hukum jika ada seseorang yang membawa ular derik dalam kebaktian gereja. Di banyak negara bagian Amerika, praktik memegang ular sangat dilarang, terutama setelah banyaknya kasus kematian. Ini termasuk karena adanya undang-undang Tennessee yang disahkan pada 1947 karena banyak jemaat gereja yang digigit ular.
Hal ini bermula pada awal abad ke-20 ketika memegang ular dalam kebaktian gereja sangatlah populer. Akhirnya, praktik itu mendapat persetujuan diam-diam dari sejumlah otoritas keagamaan, termasuk Church of God, cabang Pentakostalisme. Namun, dengan semakin populernya praktik memegang ular, praktik tersebut pun menjadi sorotan media dan publik. Akibatnya, banyak gereja dalam denominasi tersebut meninggalkan praktik penanganan ular. Namun, beberapa kelompok yang lebih kecil tetap menjalankan praktik itu meski kehilangan dukungan dan pengakuan dari organisasi yang lebih besar.
7. Banyak yang menjadi korban karena praktik memegang ular di gereja

Pendeta dari Kentucky bernama Jamie Coots pernah populer dan masuk berita karena ahli dalam memegang ular di gerejanya. Ia pun pernah muncul dalam liputan khusus National Geographic berjudul Snake Salvation. Sayangnya, Jamie Coots digigit ular derik saat kebaktian pada 2014. Ia pun menolak diobati. Saat petugas medis datang, mereka menemukan Jamie sudah tidak sadarkan diri di rumahnya. Istrinya sendiri bahkan menandatangani surat penolakan untuk mengobati suaminya. Akibatnya, Jamie meninggal malam itu juga karena bisa (racun) ular yang menyebar ke tubuhnya.
Ada pula Andrew Hamblin, pendeta yang berterus terang tentang praktik memegang ular di gerejanya sendiri. Ia mengatakan kepada National Geographic.
"Sejak Jamie Coots meninggal, aku tidak pernah menawarkan ular derik kepada siapa pun. Aku penggembala dan aku bertanggung jawab atas apa yang terjadi di gedung (gereja) ini," katanya.
Andrew Hamblin, bersama dengan sejumlah pendeta lain yang menangani ular, sebenarnya menganjurkan siapa pun untuk segera mendapatkan perawatan medis setelah digigit ular. Lagi pula, tidak ada ayat dalam Alkitab yang menyatakan seseorang tidak boleh mendapatkan penanganan medis jika digigit ular derik. Bahkan, Cody Coots alias Little Cody, putra Jamie Coots, menelepon petugas medis setelah ia digigit ular derik. Namun, tidak seperti ayahnya, Little Cody selamat.
8. Ular bereaksi sebagaimana ular tersebut diperlakukan

Meski ada banyak kasus pendeta dan jemaat yang digigit ular lalu tidak selamat, ada kisah yang di luar nalar. Ini terjadi ketika ada beberapa orang yang tidak digigit ular derik saat praktik kebaktian penanganan ular. Nah, ada kemungkinan, anggota jemaat yang tidak digigit biasanya sangat berhati-hati dan lembut saat memegang ular. Dikutip National Geographic, seseorang yang relatif lebih tenang saat memegang ular cenderung tidak akan digigit oleh ular tersebut. Biarpun begitu, hanya sedikit ahli yang merekomendasikan praktik tersebut. Yap, sebisa mungkin jangan memegang ular!
Cara ular ditempatkan dan dipelihara juga berdampak signifikan pada kemungkinan ular bisa menyerang serta menggigit. Ada juga pertimbangan seberapa banyak racun yang dapat dilepaskan dalam satu kali serangan. Ular dalam keadaan lemah biasanya tidak mengeluarkan racun dalam dosis penuh saat ia menggigit. Para ahli ular yang diwawancarai oleh NPR juga bilang kalau banyak ular yang dipelihara dalam kondisi yang tidak layak, seperti kandangnya kotor dan penuh sesak serta hanya diberi sedikit air atau makanan, kemungkinan akan agresif.
Pendeta Jamie Coots, yang diwawancarai oleh NPR sebelum ia meninggal, mengakui bahwa ular-ularnya hanya hidup 3 hingga 4 bulan saja di penangkaran. Padahal, usia ular bisa mencapai 1 dekade atau lebih. Apalagi, ini bisa terjadi jika ular tersebut dikelola dengan baik di kebun binatang.
9. Kenapa ada jemaat yang digigit ular, tapi tidak meninggal?

Faktanya, banyak umat paroki yang selamat setelah digigit ular. Kenapa bisa begitu? Bagi umat Kristen yang beriman, hal tersebut dikaitkan dengan iman mereka sendiri dan tentunya dilindungi oleh Tuhan. Namun, sebenarnya ada, lho, penjelasan ilmiahnya yang lebih konkret.
Ahli herpetologi yang diwawancarai NPR bilang kalau ular yang kekurangan gizi dan kurang dirawat dengan baik tidak dapat melepaskan banyak racun dalam satu gigitannya. Bisa juga, ular telah melepaskan sebagian besar racunnya dalam serangan sebelumnya. Nah, itu berarti, ketika ular kembali menyerang dan menggigit, otomatis racunnya sudah habis.
Mempraktikkan memegang ular di gereja dianggap sebagai perintah dan kepatuhan kepada Tuhan, mengingat referensinya ada dalam beberapa ayat Alkitab. Namun, mereka juga sadar kalau mereka bisa terluka, bahkan meninggal, dalam praktik tersebut. Itu sebabnya, tidak semua jemaat mau melakukan praktik memegang ular ini. Setelah mengetahui sejarah dan fakta menarik di baliknya, bagaimana pendapatmu tentang praktik memegang ular ini? Sampaikan pendapatmu di kolom komentar, ya!