Bagaimana Xabi Alonso Membangun Ulang Real Madrid?

Real Madrid di bawah asuhan Xabi Alonso telah memainkan laga pertamanya kala melawan Al Hilal dalam ajang Piala Dunia Antarklub 2025 pada Kamis (19/6/2025). Pertandingan tersebut menjadi penanda dimulainya era baru El Real dengan Alonso tampil sebagai arsitek utama proyek pembangunan ulang tim. Dia didapuk sebagai pelatih baru Madrid berkat kesuksesannya bersama Bayer Leverkusen dengan menjuarai Bundesliga Jerman tanpa kekalahan pada 2023/2024.
Kembalinya Alonso ke Santiago Bernabeu bukan sekadar nostalgia atau keputusan romantis. Dia datang di tengah situasi pelik dengan skuad penuh cedera, waktu persiapan yang minim untuk Piala Dunia Antarklub, dan tekanan publik yang nyaris tanpa kompromi. Kini, mantan gelandang elegan itu menghadapi tantangan besar untuk membangun kembali fondasi tim yang kehilangan arah di bawah bayang-bayang kejayaan masa lalu.
1. Xabi Alonso kembali ke Santiago Bernabeu dengan beberapa tantangan

Alonso resmi ditunjuk sebagai pelatih Madrid pada akhir Mei 2025, menggantikan Carlo Ancelotti yang hijrah ke Timnas Brasil. Penunjukan ini bukanlah kejutan, sebab rumor kembalinya Alonso telah berembus sejak awal 2023/2024, terlebih setelah keberhasilannya bersama Bayer Leverkusen. Dalam musim penuh pertamanya di Jerman, dia mempersembahkan gelar Bundesliga pertama dalam sejarah Leverkusen tanpa terkalahkan.
Namun, hubungan Alonso dan Madrid jauh lebih dalam dari sekadar prestasi profesional. Dia pernah membela klub ini sebagai pemain dari 2009–2014, serta memulai karier kepelatihannya di akademi Madrid U-14 pada 2018. Koneksi historis ini membuatnya dipandang sebagai figur yang memahami dinamika klub, baik di dalam maupun luar lapangan. Bahkan, saat pengumuman kepulangannya, Presiden Florentino Perez menyebutnya sebagai "takdir yang dinanti sejak lama".
Meski demikian, masa awal Alonso di Madrid tidaklah ideal. Dia hanya memiliki tiga sesi latihan penuh sebelum pertandingan pertama di Piala Dunia Antarklub melawan Al-Hilal, sementara sebagian besar pemain masih absen karena cedera atau tugas internasional.
Para pemain baru, seperti Trent Alexander-Arnold dan Dean Huijsen, bahkan baru bergabung saat matchweek berjalan. Alonso harus segera membangun komunikasi dan struktur tim dengan waktu yang sangat terbatas di tengah ekspektasi tanpa ruang kesabaran.
2. Alonso mengubah Madrid yang pragmatis menjadi lebih terstruktur

Era Ancelotti di Madrid ditandai dengan pendekatan pragmatis yang mengandalkan kebebasan posisi, kualitas individu, dan pendekatan reaktif dalam pertandingan-pertandingan besar. Di bawah kendalinya, Madrid sering mengandalkan serangan balik cepat dan kejeniusan para pemain bintangnya untuk menyelesaikan laga. Pendekatan ini sempat berhasil, tetapi pada musim terakhir, tim menunjukkan gejala kehilangan identitas, terutama saat kalah agregat 1-5 dari Arsenal di Liga Champions Eropa dan dibantai Barcelona empat kali dalam semusim.
Alonso hadir membawa filosofi berbeda. Dia dikenal dengan pendekatan structured freedom, yaitu kebebasan dalam kerangka sistem yang terorganisir. Di Leverkusen, dia sukses menggunakan formasi 3-4-2-1 yang fleksibel, bertransformasi menjadi 4-2-3-1 atau 4-3-3 sesuai kebutuhan. Ciri khasnya yaitu pressing tinggi, build-up yang sabar dan progresif, serta rotasi posisi yang konstan antara pemain tengah dan sayap. Alih-alih mengandalkan kecemerlangan individu, pendekatan ini kontras dengan ciri khas Los Blancos selama ini.
Masalah besar yang harus ditangani Alonso adalah sistem pertahanan yang rapuh. Berdasarkan statistik Opta Analyst, Madrid mencatatkan angka expected goals on target (xGOT) against sebesar 1,95 per pertandingan di Liga Champions musim lalu, terburuk ketiga di antara peserta fase gugur. Dia berupaya membenahi itu lewat penerapan sistem tiga bek, distribusi beban bertahan kepada wing-back dan bek tengah lebar, serta rotasi posisi dalam fase build-up. Hasilnya belum terlihat penuh, tetapi arah perubahan sudah jelas dari improvisasi menuju orkestrasi.
3. Alonso mengubah tim secara komposisi, rekrutmen, dan personalisasi

Salah satu tugas terberat Alonso adalah menyeimbangkan skuad bertabur bintang. Vinicius Junior dan Kylian Mbappe, dua bintang utama, memiliki kecenderungan bermain di sisi kiri dan kerap tumpang tindih secara taktis. Rodrygo Goes dan Endrick de Sousa juga mengincar peran utama di lini depan. Oleh sebab itu, sang pelatih harus menemukan struktur yang memungkinkan semua talenta ini bersinar tanpa mengorbankan keseimbangan tim.
Dalam hal rekrutmen, Alonso mendapat beberapa tambahan penting. Trent Alexander-Arnold datang dari Liverpool sebagai pemain yang cocok dengan sistem sayap dinamis ala Alonso. Dean Huijsen dari AFC Bournemouth dan Franco Mastantuono dari River Plate juga diproyeksikan untuk peran jangka panjang, dengan Mastantuono akan bergabung pada Agustus 2025 mendatang. Ketiganya mewakili profil pemain muda yang fleksibel dan berorientasi kepada permainan posisi yang sesuai dengan filosofi pelatih baru.
Di luar lapangan, pendekatan Alonso terhadap para pemain menunjukkan sisi humanis dan personal. Dia terlibat langsung dalam sesi latihan dan ikut bermain untuk memperagakan taktik di lapangan. Pendekatan ini memperkuat hubungan emosional dengan para pemain muda dan senior. Di balik layar, dia didukung staf kepelatihan yang solid yang terdiri dari Sebastian Parrilla; asisten kepercayaannya sejak akademi Madrid, Ismael Camenforte; eks pelatih fisik La Masia, dan Alberto Encinas; analis taktik dengan pengalaman di Barcelona B dan Bayer Leverkusen.
4. Diharapkan bisa membangkitkan semangat Madridismo

Membangun kembali Real Madrid bukan hanya tentang sistem atau susunan pemain. Bagi Alonso, tugas ini juga menyangkut identitas dan kebanggaan yang disebut sebagai "Madridismo". Setelah periode yang dianggap stagnan secara taktis dan emosional, dia mencoba menyuntikkan kembali semangat kolektif dan determinasi dalam tubuh klub.
Dia melihat Madrid bukan sekadar institusi besar dengan pemain mahal, melainkan juga tempat di mana kerja keras, struktur, dan kebersamaan menjadi landasan utama. Filosofi ini bertolak belakang dengan pendekatan sebelumnya yang sering mengandalkan keberuntungan, remontada (momen comeback), atau kemampuan individu. Dengan menekankan fleksibilitas dan intensitas sebagai prinsip dasar, Alonso berusaha mendefinisikan ulang cara bermain El Real di level tertinggi.
Namun, misi ini bukan tanpa tantangan budaya. Los Blancos dikenal sebagai klub dengan tekanan instan dari dewan direksi yang aktif mencampuri kebijakan, media cepat menghakimi, hingga fans tidak sabar menunggu hasil. Statistik buruk musim lalu hanya memperbesar urgensi perubahan. Dalam konteks ini, Alonso membawa visi jangka panjang yang menjembatani masa lalu yang penuh prestasi dengan harapan masa depan yang lebih terstruktur dan berkarakter.
Madrid kini menghadapi pilihan antara melestarikan tradisi dan berinovasi. Di bawah kepemimpinan Alonso, proyek membangun ulang tidak hanya menjadi usaha memenangkan trofi kejuaraan, tetapi juga menemukan kembali jiwa klub yang sempat hilang.