Masalah Finansial MU Pelik, Terancam Tak Bisa Datangkan Pemain?

- Manchester United mencatatkan kerugian bersih lebih dari Rp7 triliun dalam lima tahun terakhir
- Ketidakikutsertaan di Liga Champions Eropa 2024/2025 memperburuk kondisi keuangan klub
- Pemangkasan karyawan, penurunan pendapatan, dan utang besar menjadi faktor utama kerugian finansial klub
Manchester United, sebagai salah satu klub sepak bola terkaya di dunia, tengah menghadapi tekanan finansial yang signifikan. Klub asal Inggris tersebut mencatatkan kerugian besar dalam beberapa tahun terakhir meski pendapatan tahunan mencapai rekor. Ironi ini menjadi cerminan tantangan yang dihadapi Setan Merah dalam menjaga keseimbangan antara kesuksesan finansial dan performa di lapangan.
Ketidakikutsertaan Manchester United di Liga Champions Eropa 2024/2025 menambah tekanan berat pada kondisi keuangan klub. Berbagai langkah penghematan, seperti pemangkasan karyawan dan evaluasi ulang struktur gaji, telah dilakukan untuk mengurangi beban finansial. Namun, situasi ini memengaruhi rencana transfer pemain pada Januari 2025, di mana klub kesulitan mendatangkan pemain baru.
1. Manchester United catatkan kerugian hingga Rp7,46 triliun dalam lima tahun terakhir
Dilansir BBC, Manchester United mencatatkan kerugian bersih sebesar 113,2 juta pound sterling (Rp2,2 triliun) pada tahun finansial yang berakhir pada 30 Juni 2024. Angka ini menambah akumulasi kerugian klub menjadi lebih dari 370 juta pound sterling atau setara Rp7,46 triliun dalam 5 tahun terakhir. Tidak hanya itu, Setan Merah juga melaporkan kerugian operasional sebesar 85 juta dolar AS (Rp1,3 triliun) pada kuartal pertama 2024. Catatan ini jauh lebih besar dibandingkan kerugian 6 juta dolar AS (Rp97 miliar) pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Klub memang mencapai rekor pendapatan senilai 661,8 juta pound sterling (Rp13,3 trilliun) pada 2023, tetapi peningkatan ini tidak cukup untuk menutupi biaya operasional yang terus membengkak. Broadcasting revenue sendiri mengalami penurunan 20,4 persen, dari 39,3 juta pound sterling (Rp793,4 miliar) menjadi 31,3 juta pound sterling (Rp631,9 miliar), terutama karena absennya klub dari Liga Champions Eropa 2024/2025. Selain itu, revenue komersial turun 5,6 persen menjadi 85,3 juta pound sterling (Rp1,7 triliun), sementara pendapatan hari pertandingan juga menurun 3,3 persen.
Akibat kerugian tersebut, MU tengah berupaya mencapai stabilitas finansial dengan langkah pengurangan 250 posisi karyawan sebagai bagian dari efisiensi operasional. Kebijakan ini diproyeksikan dapat menghasilkan penghematan hingga 35 juta pound sterling (Rp706,6 miliar) dalam 2 tahun mendatang. Meski signifikan, langkah ini hanya sebagian kecil dari rencana besar klub untuk mengatasi tekanan finansial.
2. Nominal pembelian pemain era Erik Ten Hag dan kedatangan Sir Jim Ratcliffe penuh kontroversi
Salah satu penyebab utama kerugian finansial Manchester United adalah pengeluaran besar untuk transfer pemain. Pada era Erik Ten Hag saja, klub telah menghabiskan lebih dari 600 juta pound sterling atau setara Rp12,1 triliun, dengan pengeluaran terbanyak terjadi pada bursa transfer musim panas 2024 saat mereka mendatangkan lima pemain dengan total sebesar 219 juta pound sterling (Rp4,4 triliun). Namun, performa klub tetap mengecewakan, di mana mereka hanya finis di peringkat kedelapan English Premier League (EPL) musim 2023/2024.
Dampak dari kedatangan Sir Jim Ratcliffe, yang membeli 27,7 persen saham klub pada Desember 2023, juga menuai kontroversi. Beberapa kebijakan yang diterapkan, seperti kenaikan harga tiket hingga 66 pound sterling (Rp1,3 juta), memicu kritik dari para penggemar. Selain itu, Ratcliffe memulai restrukturisasi besar-besaran yang mencakup pemutusan hubungan kerja massal dan penghentian kontrak Sir Alex Ferguson sebagai duta besar global senilai 2 juta pound sterling (Rp40,3 miliar) per tahun.
Klub juga harus menghadapi beban utang sebesar 496,52 juta pound sterling atau setara Rp10 triliun lebih, ditambah dengan pinjaman tambahan senilai 35,6 juta pound sterling (Rp718,7 miliar). Selain itu, saldo kredit bergulir mereka mencapai 30 juta pound sterling (Rp605,6 miliar), yang semakin memperburuk situasi keuangan. Kondisi ini menciptakan tekanan besar pada stabilitas finansial klub.
3. Manchester United berisiko melanggar FFP dan PSR jika tak menjual pemain
Kerugian finansial yang dialami Manchester United menimbulkan dampak serius, termasuk risiko melanggar aturan Financial Fair Play (FFP) dan Profitability and Sustainability Rules (PSR) Premier League. FFP hanya memperbolehkan kerugian maksimal sebesar 105 juta pound sterling (Rp2,1 triliun) dalam kurun 3 tahun. Meski begitu, MU berhasil mengajukan "add backs" untuk pengeluaran di sepak bola perempuan, pengembangan pemain muda, dan investasi infrastruktur.
Jika kondisi ini berlanjut, MU bisa saja melanggar PSR, seperti yang dialami Everton dan Nottingham Forest yang terkena pengurangan poin akibat melanggar aturan ini. Klub menegaskan komitmennya untuk segera kembali ke posisi finansial positif. Langkah ini dinilai penting untuk mencegah dampak negatif terhadap performa tim di lapangan.
Kerugian ini berdampak langsung pada strategi transfer Manchester United yang memaksa klub untuk menunda rencana pembelian pemain pada bursa transfer Januari 2025. Sebagai contoh, MU kini kesulitan mendatangkan Patrick Dorgu dari Lecce karena klub harus terlebih dahulu menjual pemain untuk memenuhi anggaran transfer yang terbatas. Di tengah krisis bek kiri, tentu ini menjadi batu sandungan bagi Ruben Amorim dalam menyempurnakan strateginya.
4. Beberapa upaya dilakukan Manchester United demi menjaga stabilitas finansial klub
Dalam upaya menjaga stabilitas finansial, Manchester United telah memulai langkah restrukturisasi besar-besaran. Proses ini mencakup pengurangan gaji, pemutusan hubungan kerja, dan peningkatan fasilitas pelatihan di Carrington. Selain itu, klub membentuk gugus tugas untuk mengevaluasi pembangunan stadion baru sebagai bagian dari strategi peningkatan pendapatan jangka panjang.
Pemugaran fasilitas latihan dan stadion sendiri memang menjadi salah satu janji Sir Jim Ratcliffe saat datang ke MU. Manajemen sendiri telah membentuk gugus tugas yang dipimpin oleh Lord Coe dan Gary Neville untuk mengevaluasi opsi renovasi Old Trafford atau pembangunan stadion baru. Langkah ini diharapkan dapat memperbaiki fasilitas sekaligus mendongkrak pendapatan dari hari pertandingan.
Manchester United terus berusaha memanfaatkan popularitas globalnya sebagai alat utama untuk mendongkrak pendapatan komersial. Dengan target pendapatan sebesar 650–670 juta pound sterling (Rp13,1–Rp13,5 triliun) pada 2025, klub berambisi kembali menjadi kekuatan finansial dominan dalam dunia sepak bola. Salah satu upaya tersebut yaitu dengan melakukan tur pramusim 2025, di mana Malaysia dikabarkan menjadi salah satu kandidat kuat negara yang akan dikunjungi Setan Merah.
Manchester United kini berada di persimpangan jalan antara ambisi finansial dan olahraga. Meski menghadapi tantangan besar, klub ini menunjukkan komitmen untuk kembali ke jalur yang benar. Hanya waktu yang akan menjawab apakah langkah-langkah ini cukup untuk membawa MU kembali ke puncak kejayaannya.