Mengapa Lini Pertahanan Chelsea Jadi Masalah Serius pada 2025/2026?

- Chelsea kehilangan stabilitas lini pertahanan setelah cedera pemain kunci
- Strategi man-to-man marking menjadi bumerang akibat fondasi pertahanan yang goyah
- Pemain muda Chelsea belum memiliki ketangguhan mental dan fokus yang dibutuhkan
Chelsea sempat diproyeksikan sebagai salah satu kandidat kuat juara English Premier League (EPL) 2025/2026 setelah menaklukkan Paris Saint-Germain (PSG) 3-0 di final Piala Dunia Antarklub 2025. Kemenangan itu terasa istimewa karena mereka mampu menang besar meski tidak sepenuhnya menguasai permainan. Mengingat PSG dikenal sebagai tim yang agresif dalam menyerang, keberhasilan mencatat clean sheet di partai final sempat dianggap sebagai sinyal positif bagi skuad Enzo Maresca untuk menatap musim baru.
Namun, perjalanan The Blues justru memperlihatkan wajah lain dari tim muda yang ambisius, tetapi rapuh. Hanya dalam sembilan laga awal Premier League, The Blues justru kehilangan arah di lini pertahanan, sebuah ironi bagi klub yang dulu dikenal dengan fondasi defensif kuat pada era Jose Mourinho hingga Thomas Tuchel. Chelsea kini menjadi tim dengan jumlah kesalahan individual tertinggi di liga, dan efek dominonya terlihat jelas dengan hilangnya rasa aman dan turunnya kepercayaan diri kolektif dalam menjaga keunggulan.
1. Chelsea sudah menjajal 7 pasang bek tengah hingga pekan ke-9 Premier League 2025/2026
Kehilangan Levi Colwill sejak pramusim 2025 akibat cedera anterior cruciate ligament (ACL) menjadi pukulan telak bagi proyek Enzo Maresca. Sang pelatih kehilangan satu-satunya bek yang mampu menggabungkan kemampuan bertahan modern dengan distribusi progresif dari lini belakang. Sebagai konsekuensi, Chelsea telah menggunakan tujuh pasangan bek tengah berbeda hanya dalam sembilan laga pertama musim ini, angka yang menggambarkan ketidakstabilan struktural di area vital.
Cedera beruntun yang dialami Wesley Fofana, Benoit Badiashile, dan Tosin Adarabioyo, ditambah suspensi Trevoh Chalobah, membuat Maresca kehabisan opsi ideal di sektor belakang. Dalam beberapa laga, ia bahkan terpaksa menurunkan Reece James dan Jorrel Hato sebagai duet darurat di jantung pertahanan. Menurut data Premier League, hanya 2 dari 9 laga awal mereka menurunkan formasi empat bek sama secara beruntun, yang menunjukkan betapa sulitnya membangun koneksi antarlini di bawah padatnya kompetisi.
Kondisi ini turut memunculkan kritik tajam dari mantan pemain klub. John Obi Mikel secara terbuka menilai, dua bek utama saat ini tidak cukup bagus untuk bersaing di papan atas dan rotasi tanpa arah justru memperburuk komunikasi antarpemain. Data pun memperkuat pandangan itu dengan mencatat sembilan kesalahan yang berujung tembakan lawan, tertinggi keempat di Premier League, sementara expected goals (xG) kebobolan mencapai 13,1, yang menempatkan mereka di urutan keenam terburuk di liga.
Hasilnya, pertahanan yang seharusnya menjadi landasan taktik Maresca malah menjadi sumber kekacauan. Tanpa kemantapan dalam komposisi, tiap laga berubah menjadi eksperimen baru ketika koordinasi antarbek kerap runtuh di bawah tekanan. Dalam sistem yang menuntut disiplin posisi, instabilitas di lini belakang menjadikan Chelsea tim yang sulit diandalkan ketika harus mempertahankan keunggulan.
2. Strategi man-to-man marking malah jadi bumerang akibat fondasi pertahanan yang goyah
Enzo Maresca mengadopsi sistem man-to-man coverage yang agresif dan penguasaan bola ala Pep Guardiola. Namun, sistem itu membutuhkan fondasi stabil, yang sayangnya belum dimiliki Chelsea. Menurut laporan Squawka, lawan seperti Bayern Munich dan Brentford yang mereka hadapi pada September 2025 berhasil mengeksploitasi celah di antara garis pertahanan yang muncul ketika bek Chelsea terlalu jauh meninggalkan posnya.
Strategi ini punya risiko tinggi. Ketika satu bek mengejar penyerang hingga ke area tengah, ruang di belakangnya menjadi terbuka lebar. Brentford bahkan mencetak gol dengan skema sederhana melalui umpan diagonal ke area kosong di belakang bek yang terpancing keluar, pola yang berulang pada beberapa laga Premier League. Efek domino dari agresivitas itu terlihat jelas dengan Chelsea kebobolan rata-rata dua gol per laga dengan 3,0 big chances conceded per laga, angka tertinggi di antara tim-tim papan atas Inggris.
Selain masalah struktur, The Blues juga mulai kesulitan menghadapi taktik spesifik lawan yang menutup jalur ke gelandang bertahan. Menurut analisis The Athletic, tim-tim seperti Crystal Palace dan Brentford memanfaatkan man-marking terhadap gelandang terdalam untuk memutus aliran bola dari belakang, yang membuat Maresca kehilangan ritme dalam fase build-up. Ketika bola hilang, para bek yang terlanjur tinggi posisinya tak sempat mundur membentuk blok, sehingga serangan balik lawan seringkali berakhir dengan peluang emas.
Kelemahan ini makin diperparah oleh minimnya pengalaman bek muda seperti Josh Acheampong dan Jarrel Hato. Mereka memiliki kemampuan teknis menjanjikan, tetapi belum mampu membaca momen kapan harus bertahan atau menutup ruang. Alhasil, sistem yang dirancang untuk mengontrol permainan justru berbalik menyerang Chelsea sendiri, yang membuat tim kehilangan keseimbangan antara agresi dan kehati-hatian.
3. Selain masalah struktural, para pemain muda Chelsea juga belum punya ketangguhan mental
Selain struktur pemain, Chelsea juga menghadapi masalah daya tahan mental dan fokus. The Athletic memperkirakan, mereka telah membuang delapan poin dari posisi unggul di Premier League hingga akhir Oktober 2025. Dalam laga melawan Wolverhampton Wanderers pada putaran keempat Carabao Cup 2025/2026, keunggulan tiga gol hampir sirna karena kombinasi blunder individual dan lemahnya organisasi bola mati.
Gol-gol yang terjadi memperlihatkan pola yang berulang, seperti miskomunikasi antarbek, kegagalan membaca bola kedua, dan pemain lawan yang dibiarkan bebas di tiang jauh. Tiap kali Chelsea kehilangan kontrol pada babak kedua, struktur pertahanan menjadi kacau dengan garis pertahanan turun terlalu dalam, pressing hilang arah, dan koordinasi antarlini terputus. Situasi seperti itu kerap dimanfaatkan lawan yang lebih berpengalaman untuk membalikkan momentum.
Enzo Maresca mencoba mengatasi masalah ini dengan memberi kesempatan kepada pemain muda seperti Josh Acheampong dan Jorrel Hato, tetapi pengalaman mereka yang minim justru memperbesar risiko. Kurangnya sosok pemimpin di lini belakang, seseorang yang mampu memberikan ketenangan dan mengatur rekan setim saat tertekan, menjadi faktor pembeda dibanding era-era sebelumnya, ketika sosok seperti Thiago Silva atau Cesar Azpilicueta menjadi jangkar emosional.
Ironisnya, bahkan dalam kemenangan seperti melawan Liverpool di Carabao Cup, gejala serupa tetap muncul. Chelsea memang menang, tetapi tetap kebobolan karena kehilangan fokus pada menit akhir. Pola berulang ini menunjukkan dua kelemahan mendasar, yakni ketergantungan kepada sistem tanpa adaptasi terhadap situasi dan mentalitas yang mudah goyah begitu skema tidak berjalan sesuai rencana. Bagi Maresca, membangun tim muda berarti juga menanamkan ketangguhan mental, sesuatu yang masih jauh dari sempurna di Stamford Bridge.
Kelemahan Chelsea musim ini bukan sekadar soal cedera atau kesalahan teknis. Akar masalahnya terletak pada kurangnya kontinuitas, pengalaman, dan keseimbangan antara filosofi serta realitas lapangan. Selama struktur pertahanan Maresca belum menemukan stabilitas dan sosok pemimpin sejati di belakang, The Blues akan terus terlihat rapuh untuk bersaing di level tertinggi.


















