Gagal Terapkan Revolusi Taktik bagi Swedia, Pelatih Tomasson Dipecat

- Jon Dahl Tomasson berambisi bawa modernisasi taktik bagi Timnas Swedia
- Revolusi taktik Jon Dahl Tomasson malah membuat lini serang Swedia tumpul
- Hubungan yang memburuk dengan publik Swedia makin menggoyahkan posisi Tomasson
Swedia memulai 2024 dengan harapan besar ketika Jon Dahl Tomasson ditunjuk sebagai pelatih baru tim nasional. Sosok asal Denmark itu datang dengan reputasi progresif dan visi untuk mengubah permainan Swedia yang selama ini dianggap ketinggalan zaman. Namun, perubahan besar yang ia usung justru menjadi awal dari salah satu periode paling kelam dalam sejarah sepak bola negara tersebut.
Dalam waktu singkat, taktik menyerang ala Tomasson berubah menjadi eksperimen yang berantakan. Tim yang diperkuat deretan pemain elite English Premier League (EPL), seperti Alexander Isak, Viktor Gyokeres, dan Anthony Elanga gagal menampilkan ketajaman yang diharapkan. Puncaknya terjadi pada Kualifikasi Piala Dunia 2026, Selasa (14/10/2025) WIB ketika Swedia menelan kekalahan 0-1 atas Kosovo yang berujung pemecatan sang pelatih.
1. Jon Dahl Tomasson berambisi bawa modernisasi taktik bagi Timnas Swedia
Jon Dahl Tomasson yang ditunjuk pada Februari 2024, sekaligus sebagai pelatih asing pertama dalam sejarah Timnas Swedia. Ia digadang-gadang memodernisasi gaya bermain The Blue Yellow yang selama ini dikenal konservatif dengan formasi 4-4-2. Tomasson mengusung filosofi menyerang dengan formasi 3-4-1-2 atau 3-5-2, serta menargetkan permainan dominan berbasis penguasaan bola.
Awalnya, eksperimen ini tampak menjanjikan. Dilansir Sky Sports, dalam ajang UEFA Nations League 2024/2025, Swedia tampil sebagai tim dengan statistik ofensif terbaik di Eropa dengan mencatatkan rerata 66,5 sentuhan di kotak penalti lawan per laga dan menempati peringkat teratas dalam jumlah peluang diciptakan. Tomasson menyebut pendekatan ini sebagai gaya menyerang yang enak ditonton, yang membuat para pemain Swedia antusias menyambut era baru tersebut.
Namun, di balik optimisme itu, tersimpan masalah mendasar. Gaya bermain yang fluid dan modern ini tidak selaras dengan karakter dasar sepak bola Swedia yang bertumpu kepada kedisiplinan dan organisasi pertahanan. Ketika hasil mulai menurun, publik mulai mempertanyakan apakah proyek revolusioner ini terlalu cepat dan terlalu ekstrem. Harapan besar duet Alexander Isak-Viktor Gyokeres akan menjadi penerus Zlatan Ibrahimovic pun perlahan berubah menjadi tanda tanya besar.
2. Revolusi taktik Jon Dahl Tomasson malah membuat lini serang Swedia tumpul
Jon Dahl Tomasson berusaha memainkan dua penyerang elite Premier League, Alexander Isak dan Viktor Gyokeres, secara bersamaan di lini depan. Namun, kombinasi itu malah menimbulkan kebingungan taktis. Keduanya memiliki karakter serupa, yaitu sama-sama striker murni yang mengandalkan kecepatan dan pergerakan di ruang belakang, tetapi minim kontribusi dalam fase build-up. Absennya Dejan Kulusevski akibat cedera makin memperparah situasi karena tidak ada kreator alami di lini tengah.
Formasi 3-5-2 yang diterapkan juga mengorbankan pemain sayap seperti Anthony Elanga dan Kulusevski yang seharusnya menjadi sumber kreativitas serangan. Elanga sampai-sampai melontarkan kritik terhadap sistem permainan Tomasson yang dianggap membatasi potensi ofensif pemain-pemain muda. Tekanan juga datang dari media Swedia yang menggambarkan performa tim dalam dua laga penting melawan Swiss dan Kosovo sangat mengecewakan karena mereka gagal mencetak satu pun gol meski menurunkan dua penyerang dengan nilai transfer fantastis.
Statistik memperkuat penilaian tersebut. Mengutip Football365, dalam dua laga terakhir, Isak hanya mencatat dua tembakan tepat sasaran, sementara Gyokeres hanya satu. Dengan kombinasi striker yang diharapkan menjadi duet paling berbahaya di Eropa, Swedia justru terlihat tumpul dan kehilangan arah melawan Kosovo, tim yang hanya pernah menang 2 kali dalam 22 laga kualifikasi Piala Dunia sejak bergabung dengan UEFA pada 2016. Lebih memilukannya lagi, 2 kemenangan itu justru diperoleh saat melawan Swedia.
3. Hubungan yang memburuk dengan publik Swedia makin menggoyahkan posisi Tomasson
Kekalahan 0-1 dari Kosovo di Gothenburg, Swedia, menjadi titik nadir dari perjalanan Jon Dahl Tomasson. Swedia hanya mengumpulkan satu poin dari empat laga dan terdampar di dasar klasemen Grup B kualifikasi Piala Dunia 2026. Media dan pengamat menilai sang pelatih telah melupakan apa arti menjadi ‘Swedia’ yang lekat dengan disiplin, efisiensi, dan kebersamaan. Kekalahan beruntun itu juga menandai hilangnya koneksi antara tim nasional dan publik yang kian kecewa dengan arah permainan yang dianggap asing dan arogan.
Faktor nontaktis turut mempercepat keretakan hubungan tersebut. Tomasson kerap berbicara menggunakan bahasa Inggris dalam wawancara resmi, yang menciptakan jarak emosional dengan suporter dan jurnalis. Statusnya sebagai pelatih asal Denmark, negara rival historis Swedia, makin memperkeruh persepsi publik, terutama setelah muncul spanduk dengan ejekan “danskjavel” (Si Denmark b******n). Beberapa analis domestik menilai komunikasi yang kaku serta ketidakhadirannya secara sosial di Swedia membuatnya kehilangan kendali di ruang ganti.
Pihak federasi akhirnya mengambil keputusan tegas usai menghadapi Kosovo. Selain menjadi pelatih asing pertama dalam sejarah Swedia, Tomasson juga mencatat sejarah baru sebagai pelatih pertama tim nasional yang diberhentikan secara resmi. Setelah pemecatannya, nama Graham Potter muncul sebagai kandidat kuat penerus. Memiliki rekam jejak melatih di Swedia bersama OFK Ostersund, ia secara terbuka mengungkapkan kesediaannya menukangi timnas karena masih menyimpan ikatan emosional dengan negara itu.
Ambisi Jon Dahl Tomasson merevolusi Timnas Swedia ternyata tak membawa kemajuan. Meskipun diperkuat skuad berisi pemain elite Premier League, ia gagal menjadikan modernisasi taktik sebagai penyelamat tim yang tengah karam.