Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kenapa Cloud Gaming Masih Sulit Diterima Gamer Hardcore?

ilustrasi game controller yang berada di sebelah smartphone (unsplash.com/Ryland Dean)
ilustrasi game controller yang berada di sebelah smartphone (unsplash.com/Ryland Dean)
Intinya sih...
  • Cloud gaming dianggap masa depan industri game dengan pengalaman bermain tanpa perangkat mahal.
  • Gamer hardcore ragu karena masalah latensi, kualitas visual fluktuatif, dan ketergantungan pada koneksi internet.
  • Harga langganan tinggi, kepemilikan game yang tidak pasti, dan kurangnya dukungan untuk esports membuat cloud gaming belum siap diterima gamer hardcore.

Cloud gaming digadang-gadang sebagai masa depan industri game yang menghadirkan pengalaman bermain tanpa perlu perangkat mahal. Gamer bisa menikmati berbagai judul game favorit di perangkat apa pun, mulai dari PC hingga smartphone. Bagi mereka yang tidak memiliki perangkat keras mumpuni, layanan ini menjadi solusi untuk merasakan pengalaman gaming setara konsol atau handheld.

Meskipun menawarkan kemudahan, cloud gaming belum sepenuhnya mendapat sambutan baik dari semua gamer, terutama gamer hardcore. Gamer hardcore merupakan istilah tipe gamer yang mengutamakan performa optimal, seperti frame rate stabil, input lag minimal, dan kontrol presisi. Selisih latensi sekian milidetik saja bisa menjadi penentu antara kemenangan dan kekalahan.

Transisi dari konsol ke cloud gaming juga kerap menghadapi jalan terjal. Gamer hardcore masih meragukan performa, kualitas visual, dan stabilitas pengalaman bermain di platform ini. Lantas, apa yang membuat cloud gaming sulit diterima gamer hardcore? Simak analisisnya di bawah ini!

1. Permasalahan latensi (delay) yang lebih tinggi dibandingkan bermain langsung di perangkat

ilustrasi gamer hardcore yang sedang winning the game (freepik.com/freepik)
ilustrasi gamer hardcore yang sedang winning the game (freepik.com/freepik)

Cloud gaming merepresentasikan konsep gaming yang didambakan banyak orang, tetapi hingga kini belum sepenuhnya menjadi kenyataan. Salah satu kendala utama yang sering dikeluhkan adalah masalah latensi. Secara sederhana, cloud gaming memungkinkan game dijalankan di server cloud seperti AWS, Azure, atau GCP, sementara video dari game tersebut dikirimkan ke perangkat pemain melalui internet dalam proses yang dikenal sebagai pixel streaming. Keuntungan utama dari sistem ini adalah mengurangi beban pemrosesan di perangkat pengguna, karena semua perhitungan berat dialihkan ke cloud. Namun, tantangan besar yang muncul adalah meningkatnya kebutuhan bandwidth, mengingat data visual berukuran besar dan mahal untuk ditransfer.

Saat bermain game langsung di PC atau konsol, tiap input yang kamu berikan, seperti mengeklik mouse atau menekan tombol pada controller, langsung diproses perangkat. Lain halnya cloud gaming, tiap perintahnya harus dikirim ke server yang mungkin berjarak ratusan hingga ribuan kilometer, diproses di sana, lalu dikembalikan ke layar pemain. Meskipun infrastruktur jaringan makin canggih, latensi tetap tidak bisa dihindari. Dalam game kasual, jeda ini mungkin tidak terlalu terasa. Namun, bagi gamer hardcore yang mengandalkan kecepatan dan presisi, keterlambatan sekecil apa pun dapat menentukan kemenangan atau kekalahan.

Game kompetitif seperti Counter-Strike 2, Valorant, atau Street Fighter 6 sangat bergantung pada reaksi cepat dan akurasi input. Jika latensi meningkat, pemain kehilangan keunggulan dalam duel atau pertarungan yang menuntut timing presisi. Sering kali, aksi yang dilakukan terasa tertunda atau kurang responsif dibandingkan bermain di perangkat keras lokal. Hal ini menjadi alasan utama mengapa gamer hardcore masih ragu untuk beralih ke cloud gaming. Dalam dunia saat tiap milidetik yang dihabiskan begitu berharga, ketergantungan pada jaringan eksternal terasa seperti risiko yang terlalu besar untuk diambil.

2. Kualitas visual yang tidak stabil

ilustrasi seorang gamer duduk di kursi gaming dan memainkan video game penembak luar angkasa (freepik.com/DC Studio)
ilustrasi seorang gamer duduk di kursi gaming dan memainkan video game penembak luar angkasa (freepik.com/DC Studio)

Salah satu janji utama cloud gaming adalah kemampuannya menghadirkan kualitas grafik tinggi tanpa memerlukan perangkat keras mahal. Namun, kenyataannya, kualitas visual dalam cloud gaming sering kali berfluktuasi tergantung pada kondisi jaringan. Jika koneksi internetmu stabil, game bisa berjalan dengan grafik memukau layaknya bermain di PC high-end. Akan tetapi, begitu koneksi mulai goyah, resolusi bisa turun drastis, muncul artefak kompresi, dan bahkan terjadi stuttering yang mengganggu pengalaman bermain. Ini sangat berbeda dibandingkan PC atau konsol tradisional. Kualitas visual lebih konsisten sepanjang sesi permainan.

Bagi gamer hardcore, pengalaman grafik yang mulus adalah bagian dari kepuasan bermain. Mereka menginvestasikan waktu dan uang untuk mendapatkan kualitas terbaik, baik melalui pengaturan grafik ultra, refresh rate tinggi, maupun teknologi seperti ray tracing. Ketika cloud gaming tidak dapat menjamin stabilitas kualitas visual, rasanya seperti sebuah kompromi yang sulit diterima. Alih-alih menikmati dunia game dengan detail luar biasa, kamu justru harus berkutat melawan gangguan visual yang mengurangi imersi dan kenyamanan bermain.

3. Jaringan yang tidak stabil atau lambat bisa menyebabkan lag parah

ilustrasi tes kecepatan internet (unsplash.com/Mika Baumeister)
ilustrasi tes kecepatan internet (unsplash.com/Mika Baumeister)

Cloud gaming sepenuhnya bergantung pada koneksi internet, yang berarti tiap fluktuasi dalam kecepatan atau stabilitas jaringan bisa berdampak langsung pada gameplay. Jika koneksi internetmu mengalami penurunan kecepatan, kamu bisa mengalami lag parah, input delay, atau bahkan putus koneksi di tengah permainan. Ini bisa sangat merugikan, terutama dalam game yang mengharuskan pemain untuk selalu terhubung, seperti Apex Legends atau Dota 2. Tidak ada yang lebih menyebalkan bagi seorang gamer hardcore selain kalah bukan karena kurangnya skill, tetapi masalah teknis yang berada di luar kendali mereka.

Di beberapa negara atau wilayah dengan infrastruktur internet yang belum optimal, memainkan cloud gaming terasa lebih menyebalkan. Misalnya, di Nigeria, menurut Nigerian Communications Commission (NCC), lebih dari 30 juta orang belum memiliki akses internet per Oktober 2022 akibat keterbatasan infrastruktur. Hal ini disampaikan Prof Umar Garba Danbatta, Ketua Eksekutif NCC pada acara Broadband Technical Awareness Forum for Governors (BTAF) pada 20 Oktober 2022 di Abuja. Keterbatasan akses terhadap jaringan internet berkualitas tinggi, baik dari segi kecepatan maupun stabilitas sehingga membuat pengalaman bermain sering terganggu lag dan putus koneksi.

Bahkan, di kota-kota besar yang punya akses internet cepat, masalah latensi masih bisa muncul jika server cloud gaming berada terlalu jauh. Misalnya, gamer di Amerika Selatan sering mengalami latensi tinggi karena banyak server cloud gaming berpusat di Amerika Utara atau Eropa. Sebagai hasilnya, banyak gamer hardcore tetap memilih untuk bermain secara lokal di PC atau konsol untuk memastikan pengalaman yang lebih lancar dan bebas dari gangguan koneksi. Cloud gaming mungkin menawarkan kemudahan, tetapi jika stabilitas jaringan masih menjadi kendala, gamer hardcore sulit untuk benar-benar memercayainya.

4. Gamer hardcore merasa tidak benar-benar memiliki game dari cloud gaming

ilustrasi cloud gaming (unsplash.com/Clastr Cloud Gaming)
ilustrasi cloud gaming (unsplash.com/Clastr Cloud Gaming)

Bagi gamer hardcore, memiliki game bukan sekadar bisa memainkannya. Kepemilikan penuh atas pengalaman yang dibeli, baik dalam bentuk fisik maupun digital, menjadi hal yang penting. Dalam cloud gaming, kamu tidak benar-benar memiliki game. Kamu hanya menyewa aksesnya selama layanan masih tersedia. Jika suatu game dihapus dari platform atau layanan berhenti beroperasi, game yang telah kamu investasikan waktu dan uang bisa hilang begitu saja. Berbeda kasusnya jika memainkan game di PC atau konsol, yang tetap bisa dimainkan kapan pun tanpa bergantung pada penyedia layanan.

Gamer hardcore yang gemar mengoleksi game atau menikmati konten jangka panjang seperti DLC dan ekspansi merasa konsep ini kurang menarik. Mereka menginginkan kendali penuh atas pengalaman bermain, termasuk kebebasan memainkan ulang game lama kapan saja. Cloud gaming menimbulkan kesan game yang dimainkan bukan benar-benar milikmu, melainkan hanya dipinjamkan layanan cloud. Rasa ketidakpastian ini membuat gamer hardcore sulit berkomitmen pada platform berbasis streaming.

5. Terjadi trade off antara harga yang tidak selalu menguntungkan dengan manfaat yang didapat

informasi harga berlangganan cloud gaming di Xbox PC Game Pass (xbox.com)
informasi harga berlangganan cloud gaming di Xbox PC Game Pass (xbox.com)

Salah satu daya tarik cloud gaming adalah mengesampingkan kebutuhan untuk tidak bergantung pada perangkat keras mahal. Namun, kenyataannya, biaya berlangganan layanan ini sering kali tidak lebih murah dalam jangka panjang. Layanan seperti NVIDIA GeForce Now, Xbox Cloud Gaming, dan PlayStation Plus Cloud Streaming menawarkan berbagai paket langganan dengan fitur berbeda. Untuk mendapatkan pengalaman terbaik dengan resolusi tinggi dan latensi rendah, kamu sering kali harus membayar biaya premium, yang jika diakumulasikan dalam beberapa tahun bisa lebih mahal daripada membeli PC gaming sendiri.

Sebagai perbandingan, Xbox Cloud Gaming menawarkan akses ke ratusan game PC berkualitas tinggi. Xbox menawarkan harga promo awal Rp14.999 untuk 14 hari pertama, kemudian berlanjut Rp64.999 per bulan. Lalu, ada Oxygames yang menyediakan paket berlangganan mulai Rp99.000 per bulan dan sudah termasuk PPN 11 persen, serta mendukung berbagai perangkat dan sistem operasi. Sementara itu, GameQoo Cloud Gaming milik provider Telkomsel menyediakan akses ke ratusan game tanpa perlu membeli atau menginstal. Adapun paket berlangganan yang dikenakan mulai harga Rp20.000 ditambah kuota hingga 25GB.

Selain biaya langganan, banyak layanan cloud gaming masih memiliki keterbatasan dalam pilihan game. Kamu mungkin masih perlu membeli game secara terpisah di luar biaya langganan yang semakin menambah beban pengeluaran. Gamer hardcore cenderung lebih memilih investasi jangka panjang dalam perangkat keras mereka sendiri. Meskipun mahal di awal, mereka mendapatkan kendali penuh atas sistem tanpa harus terus membayar untuk mengakses game yang sama. Trade-off ini membuat cloud gaming terasa kurang menarik dibandingkan investasi dalam PC atau konsol gaming tradisional.

6. Gamer hardcore masih menganggap cloud gaming kurang serius

patch Valorant 8.03 (playvalorant.com)
patch Valorant 8.03 (playvalorant.com)

Banyak gamer hardcore masih menganggap cloud gaming lebih cocok untuk gamer kasual atau mereka yang sekadar ingin mencoba game tanpa investasi besar. Bagi mereka, pengalaman bermain yang sesungguhnya membutuhkan perangkat keras yang kuat, pengaturan grafik optimal, dan responsivitas tinggi. Keterbatasan cloud gaming membuatnya lebih seperti substitusi atau selingan semata, bukan pengganti utama untuk mendapatkan pengalaman bermain yang maksimal.

Cloud gaming juga belum mendapat tempat di ranah esports atau komunitas gaming profesional. Melansir situs Valorant, sebagian besar turnamen dan liga besar tetap mengandalkan perangkat keras lokal demi performa stabil tanpa risiko latensi atau gangguan jaringan. Selama cloud gaming belum membuktikan diri di level kompetitif tertinggi, banyak gamer hardcore akan terus melihatnya sebagai opsi yang belum siap menggantikan gaming konvensional.

Cloud gaming memang menawarkan banyak kemudahan. Walaupun revolusi selalu ada, sayangnya gamer hardcore belum siap beralih ke cloud gaming. Kendala seperti latensi, keterbatasan modifikasi, dan kepemilikan game menjadi faktor utama yang membuat teknologi ini sulit diterima. Sebaliknya, gamer kasual lebih fleksibel dan tidak terlalu mempermasalahkan keterbatasan tersebut.

Saat ini, cloud gaming lebih berperan sebagai opsi sekunder bagi mereka yang mengutamakan kenyamanan. Namun, bagi gamer hardcore, teknologi ini masih jauh dari kata ideal. Seiring perkembangan teknologi dan infrastruktur jaringan, bukan tidak mungkin cloud gaming suatu hari nanti mampu menyaingi pengalaman bermain di perangkat lokal.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Reyvan Maulid
EditorReyvan Maulid
Follow Us