10 Tahun Jokowi: Kelas Menengah Susut padahal Ingin Jadi Negara Maju

Jakarta, IDN Times - Kepemimpinan Presiden Joko "Jokowi" Widodo (Jokowi), yang berlangsung selama sepuluh tahun terakhir, akan resmi berakhir pada 20 Oktober 2024. Presiden terpilih Prabowo Subianto akan resmi dilantik menggantikan Jokowi menjadi kepala negara dan kepala pemerintahan ke-8 RI.
Di momen berakhir masa jabatannya, capaian kinerja Jokowi selama satu dekade pun ikut disorot. Salah satunya tentang jumlah kelas menengah turun drastis menjadi 47,85 juta jiwa. Sebagian dari mereka turun kelas ke kelompok calon kelas menengah atau aspiring middle class. Kelompok ini berada di antara kelas menengah dan kelas rentan miskin.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pada 2019 lalu, jumlah masyarakat kelas menangah masih 21,45 persen dari total penduduk Indonesia atau 57,33 juta orang. Lima tahun berselang, di akhir pemerintahan Jokowi, jumlah kelas menengah pun susut menjadi 17,44 persen atau sekitar 47,85 juta jiwa.
Hal ini kontras dengan impian Indonesia untuk menjadi negara maju pada 2045, dengan target pendapatan per kapita mencapai 23 ribu dolar AS atau Rp354,5 juta per tahun. Untuk mencapai tujuan ambisius itu dibutuhkan proporsi populasi kelas menengah yang besar.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) menyatakan, untuk mencapai status negara berpenghasilan tinggi, jumlah kelas menengah harus ditingkatkan menjadi 70 persen dari populasi Indonesia pada 2045.
1. Kelas menengah yang punya peran vital malah turun kelas

Susutnya jumlah kelas menengah pada suatu negara, sangat berpengaruh pada perekonomian negara tersebut. Kelas menengah memiliki peranan yang sangat kritis dan krusial sebagai bantalan ekonomi suatu negara.
Apabila kelas menengah tumbuh kuat maka perekonomian sebuah negara akan menjadi kuat dan kebal dari guncangan gejolak yang berasal dari eksternal maupun domestik. Namun, di saat proporsi kelas menengah relatif tipis atau turun, maka perekonomian menjadi tidak resilient atau tangguh terhadap berbagai guncangan.
"Kelas menengah merupakan salah satu penyumbang utama dari pengeluaran konsumsi rumah tangga dan kalau kita lihat bagaimana kontribusi dari kelas menengah terhadap konsumsi rumah tangga relatif tinggi," jelas Deputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas Amalia Adininggar Widyasanti dalam Konferensi Pers BPS, Jumat (30/8/2024).
Dia mengungkapkan bahwa kelas menengah di Indonesia semakin rentan turun kelas selama 10 tahun terakhir. Berdasarkan modus pengeluaran penduduk, kelas menengah cenderung lebih dekat ke batas bawah pengelompokan dan semakin mendekati batas bawah itu.
Dengan demikian, kelompok menengah akan lebih sulit untuk naik menuju kelas atas, namun akan rentan untuk turun ke kelompok aspiring middle class atau kelompok kelas menengah rentan, bahkan kelompok rentan miskin. Apabila mengacu data BPS pada 2019, ada sebanyak 9,48 juta warga kelas menengah yang turun kelas.
Dalam hitungan BPS, pengelompokkan kelas menengah atas berdasarkan pengeluaran pada 2024 adalah 17 kali dari garis kemiskinan, yakni Rp582.932 per kapita per bulan atau pengeluarannya lebih dari Rp9.099.844 per kapita per bulan. Sedangkan batas pengeluaran untuk kelas menengah adalah 3,5 kali dari pengeluaran kelas miskin sebesar Rp582.932. Artinya kelompok kelas menengah biasanya mengeluarkan Rp2.040.262 per kapita per bulan hingga Rp9.909.844.
Padahal, pada 2014, pengeluaran untuk kelas atas adalah 17 kali dari garis kemiskinan yang sebesar Rp302.735. Artinya, pengeluaran saat itu untuk kelas atas leih dari Rp5.146.495, sedangkan kelas menengah yang mengacu pada 3,5 kali garis kemiskinan, pengeluarannya sekitar Rp1.059.573 hingga Rp5.146.495.
2. Naiknya kelompok kelas menengah rentan

BPS mencatat kelas menengah di Indonesia terbukti terus mengalami penurunan jumlah sejak lima tahun terakhir. Mayoritas dari mereka turun kelas hingga membuat jumlah masyarakat yang rentan miskin membengkak drastis.
"Kalau kita lihat dari modus kelas menengah dari batas bawah dan batas atas, memang sebagian besar penduduk kelas menengah cenderung lebih dekat ke batas bawah pengelompokkan kelas menengah bawah," ucap Amalia saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Jakarta, Rabu (28/8/2024).
Berbeda dengan data kelas menengah yang turun, data kelompok masyarakat menuju kelas menengah atau aspiring middle class malah naik, dari 2019 hanya sebanyak 128,85 juta atau 48,20 persen dari total penduduk, menjadi 137,50 juta orang atau 49,22 persen dari total penduduk.
Demikian juga dengan angka kelompok masyarakat rentan miskin yang ikut membengkak dari 2019 sebanyak 54,97 juta orang atau 20,56 persen , menjadi 67,69 juta orang atau 24,23 persen dari total penduduk pada 2024. Artinya, banyak golongan kelas menengah yang turun kelas kedua kelompok itu.
Sementara itu, kelompok miskin juga mengalami kenaikan tipis dari 2019 sebanyak 25,14 juta orang atau setara 9,41 persen menjadi 25,22 juta orang atau setara 9,03 persen pada 2024. Sedangkan kelompok atas juga naik tipis dari 2019 sebanyak 1,02 juta orang atau 0,38 persen menjadi 1,07 juta orang atau 0,38 persen dari total penduduk pada 2024.
3. Jokowi sebut penurunan kelas menengah terjadi hampir di semua negara

Presiden Jokowi mengatakan, turunnya jumlah masyarakat kelas menengah Indonesia pada 2024 juga terjadi hampir di semua negara yang disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi global yang menurun.
"Itu problem terjadi hampir di semua negara karena ekonomi global turun semuanya," ujar Jokowi di Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta, Jumat (30/8/2024).
Jokowi pun mengklaim terkikisnya kelompok kelas menengah ini merupakan dampak dari pandemik COVID-19, kala itu semua negara mengalami pelemahan ekonomi. "Ada COVID, 2-3 tahun lalu mempengaruhi. Semua negara saat ini berada pada kesulitan yang sama," kata dia.
Di tempat terpisah, Presiden Jokowi pun mengaku optimistis bahwa Indonesia bisa menjadi negara maju, asalkan target pertumbuhan ekonomi presiden terpilih 2024-2029 Prabowo Subianto sebesar 8 persen bisa tercapai.
Saat ini, kata dia, gross domestic product (GDP) per kapita RI sudah mencapai 5.060 dolar AS. "Kita harapkan lima tahun ke depan bisa di atas 7 ribu dolar AS dan 10 tahun ke depan bisa di atas 9 ribu dolar AS dan seterusnya," jelas Jokowi.
4. Pemerintah perlu cari solusi atasi turunnya kelas menengah

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bustanul Arifin meminta pemerintah menaruh perhatian serius atas turunnya jumlah kelas menengah yang terjadi saat ini.
Alasannya, karena kelas menengah memiliki peranan penting untuk mendorong konsumsi dan pembangunan negara.Apabila jumlah kelas menengah terus tergerus, dikhawatirkan Indonesia berpotensi mengarah kepada revolusi.
Berkaca pada negara-negara Amerika Latin, seperti Kolombia hingga Panama, memiliki sedikit jumlah kelas menengah atau bahkan disebut sebagai hollow middle alias lubang di tengah, yang menunjukkan adanya jurang pemisah antara penduduk kaya dan miskin. Kondisi yang timpang tersebut membuat suatu negara rentan terhadap tekanan dan guncangan.
“Kekosongan kelas menengah juga jelek. kalau turun terlalu jauh, lalu menjadi kosong, dan kita ngeri revolusi," ujarnya dalam diskusi di Jakarta, beberapa waktu lalu. Di samping itu, kelas menengah juga memainkan peran sosial-politik yang penting dan mempengaruhi atau menentukan governance, kualitas kebijakan, dan pertumbuhan ekonomi.