3 Alasan Isu Pengupahan Selalu Jadi Tuntutan Buruh saat May Day

Jakarta, IDN Times - Setiap 1 Mei, jutaan buruh melakukan aksi dalam peringatan Hari Buruh Internasional (May Day). Dari semua jenis tuntutan, upah selalu jadi hal utama yang disuarakan oleh para pekerja.
Mengapa demikian? Apa yang salah salam regulasi penetapan upah di negara kita? Simak ulasan lengkap dari Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance ( INDEF) Bhima Yudhistira berikut ini.
1. Suara pekerja kerap dinomorduakan dalam pembuatan regulasi

Menurut Bhima, pengupahan adalah masalah yang seharusnya bisa diselesaikan secara tripartit antara pengusaha, buruh, dan pemerintah sebagai penengah. Sejak PP No.78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, kata Bhima, pemerintah seakan menyalahkan pekerja.
Produktivitas ekonomi dinilai masih rendah, sehingga pemerintah terkesan berpihak pada pengusaha dengan mengeluarkan berbagai regulasi. "Suara dari pekerja itu dinomorduakan atas nama pertumbuhan ekonomi," kata Bhima.
2. Sistem pengupahan di Indonesia belum mumpuni

Bhima mengatakan, isu soal pengupahan akan terus ada selama konsesus tidak tercapai. Dia lantas membandingkan sistem pengupahan di Indonesia dengan negara-negara maju.
"Di negara maju para pekerja juga memiliki posisi tawar yang tinggi sehingga pengupahan bahkan selesai level perusahaan. Sebab, ada hubungan yang harmonis antara pengusaha dengan serikat pekerja, bahkan ada beberapa negara yang gak punya upah minimum," katanya.
Bhima melanjutkan, banyak negara Eropa tak punya upah minimum karena rata-rata jaminan sosialnya mencapai 27 persen dari PDB. Sementara, jaminan sosial di Indonesia belum mumpuni sehingga banyak orang menuntut upah minimum sebagai cara melindungi diri dari kemiskinan.
3. Omnibus Law UU Cipta Kerja kian memperparah tuntutan pekerja soal pengupahan

Menurut Bhima, isu pengupahan terus bergulir setelah hadirnya Omnibus Law UU Cipta Kerja. Sebab, banyak formulasi upah yang dianggap tidak melindungi para pekerja. "Kalau menengok PP Pengupahan, banyak yang tidak berpihak kepada para pekerja, termasuk soal formulasi perhitungan upah minimum," kata Bhima.
Kemudian, dia melanjutkan, ada satuan upah yang berdasarkan pada jam ataupun pada hasil dan waktu. Apabila hal ini diterapkan, misalnya untuk satuan waktu, ini akan sangat merugikan para pekerja, khususnya di sektor padat karya.
"Karena pada waktu pembuatan dari UU Cipta Kerja maupun sampai adanya PP Pengupahan ini, keterlibatan suara pekerja dianaktirikan, jadi lebih berat kepada dunia usaha agar biaya produksi murah. Ini konflik ini yang saya kira perlu ditengahi oleh pemerintah," tuturnya.