Ciptakan Kemiskinan Baru, Pengusaha Tolak Aturan Kemasan Rokok Polos

- Gappri menolak RPMK Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik yang mengatur kemasan rokok polos tanpa merek.
- Kebijakan kemasan polos dinilai berdampak negatif terhadap industri rokok, memicu peredaran rokok ilegal, dan mengancam 5,98 juta tenaga kerja di sektor IHT.
Jakarta, IDN Times - Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) menolak tegas Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik. RPMK yang merupakan aturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, itu mengatur kemasan rokok polos (plain packaging) tanpa merek.
Ketua umum Gappri, Henry Najoan mengatakan, bisnis industri hasil tembakau (IHT) legal nasional sudah berjalan hampir satu abad. Sampai saat ini masih berjalan baik hingga membentuk mata rantai dari hulu ke hilir melibatkan masyarakat lokal.
Apalagi, saat ini pengusaha rokok juga telah diawasi dan diatur dengan lebih dari 480 peraturan yang ketat, baik sisi fiskal maupun nonfiskal yang meliputi peraturan daerah, bupati, wali kota, gubernur, sampai kementerian, dan perundang-undangan.
"Ratusan aturan (heavy regulated) yang membebani IHT legal nasional layaknya BUMN yang dikelola swasta," kata Henry di Jakarta, Rabu (2/10/2024).
1. Rencana kemasan polos rokok berdampak negatif bagi industri rokok

Menurut Henry, kebijakan yang diatur dalam PP Nomor 28/2024, khususnya mengenai penerapan kemasan polos, dinilai akan berdampak negatif terhadap industri rokok, terutama untuk rokok kretek yang menguasai pasar sebesar 75 persen di Indonesia.
Henry bahkan meyakini, kemasan polos akan memicu maraknya peredaran rokok ilegal karena identitas produk akan sulit dikenali, sehingga konsumen beralih ke produk ilegal yang lebih murah.
"Kemasan polos ini tentu akan mempengaruhi seluruh pelaku industri tembakau, namun yang menjadi kekhawatiran utama kami adalah dampak dari persaingan tidak sehat dan maraknya rokok ilegal,” ujar Henry.
2. Sebanyak 5,98 juta orang gantungkan hidup di sektor IHT

Data Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan, total tenaga kerja yang menggantungkan hidupnya di sektor IHT sebanyak 5,98 juta orang, mulai buruh, petani tembakau, petani cengkeh, dan sektor terkait lain.
"Mereka terancam dengan kebijakan itu, sehingga akan menciptakan kemiskinan baru," ucap Henry Najoan.
Merujuk kajian Gappri, aturan kemasan polos merupakan duplikasi dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
"Jika diimplementasikan akan memperburuk situasi dengan semakin meningkatkan daya tarik rokok ilegal," ujar Henry.
3. Pemerintah diminta lindungi industri hasil tembakau

Sementara itu, anggota DPR RI periode 2024-2029, Mukhamad Misbakhun mengingatkan para pengambil kebijakan negara jangan sampai terkooptasi oleh agenda-agenda global yang ingin menginfiltrasi kelangsungan eksosistem tembakau yang mempunyai peran strategis bagi negara, seperti dorongan aksesi FCTC, terbitnya PP Nomor 28/2024, dan RPMK.
“Proses membajak kebijakan negara yang seperti itu harus diluruskan,” ujar Misbakhun.
Misbakhun meminta pemerintah melindungi industri hasil tembakau, utamanya rokok kretek di tanah air dari intervensi asing. Apalagi, industri ini sebagai salah satu penyumbang penerimaan negara terbesar.
"Jangan sampai kita diinjak oleh konspirasi global yang menginfiltrasi kebijakan nasional untuk kepentingan pihak tertentu," ujarnya.
Industri hasil tembakau tidak hanya berhubungan dengan sektor kesehatan, tapi juga sektor lainnya yang berhubungan, mulai dari industri, pertanian, hingga tenaga kerja atau buruh. Misbakhun menilai, rokok kretek seperti sigaret kretek tangan (SKT) yang menjadi ciri khas rokok Indonesia perlu mendapat perhatian yang lebih dari pemerintah.
Adanya pertarungan yang sangat ideologis antara antirokok dengan pendukung sektor pertembakauan ini menjadi sangat diametrikal. Negara, di mata Misbakhun juga tidak adil.
“Saya mengharapkan ada upaya-upaya yang lebih obyektif dan komprehensif melihat ekosistem pertembakauan di Indonesia dengan meninjau ulang berbagai regulasi yang diskriminatif terhadap kelangsungan iklim usaha ekosisten pertembakauan," tuturnya.