Deretan Dampak dari Larangan Ekspor Minyak Goreng, Berlaku Kamis Ini!

Jakarta, IDN Times - Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo menerbitkan kebijakan untuk melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng ke luar negeri. Hal itu diputuskan dalam rapat kabinet Jumat (22/4/2022). Larangan ini akan berlaku mulai Kamis (28/4/2022) sampai dengan waktu yang belum ditentukan.
"Saya akan terus memantau dan mengevaluasi kebijakan ini agar ketersediaan minyak goreng di dalam negeri melimpah dengan harga terjangkau," ujar Jokowi di akun YouTube Sekretariat Presiden, Minggu (22/4/2022).
Kebijakan yang diambil Presiden Jokowi tersebut tidak serta-merta mendapat respon positif dari semua pihak. Ada beberapa pihak yang mengklaim bahwa kebijakan ini akan memberikan dampak yang lebih buruk bagi perekonomian Indonesia maupun para petani kelapa sawit.
Lantas apakah dampak yang ditimbulkan dari larangan ekspor ini? Simak ulasannya!
1. Dampak larangan ekspor CPO terhadap porsi minyak goreng dalam negeri

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita akan ada dampak yang ditimbulkan dari larangan ekspor bahan baku minyak goreng terhadap kebutuhan dalam negeri. Saat ekspor dilarang, porsi minyak goreng yang tadinya untuk ekspor, akan dialokasikan untuk kebutuhan dalam negeri.
"Dampak dari larangan ini pasti ada, tapi berdasar data Kementerian Perindustrian, kami perkirakan dampaknya akan minimal," kata Agus, dilansir ANTARA, Jumat (22/4/2022).
2. Berpengaruh ke emiten CPO di bursa

Head of Research PT Infovesta Utama, Wawan Hendrayana, mengatakan kebijakan larangan ekspor bahan baku minyak goreng atau crude palm oil (CPO) dan minyak goreng ini belum terlihat jelas. Ia mengatakan hal itu karena kebijakan ini mirip dengan larangan ekspor batu bara beberapa waktu lalu. bahwa dampak dari
"Maka dengan adanya pelarangan ekspor ini sedikit banyaknya pastinya akan berikan dampak pada emiten sawit," ujar Wawan dikutip dari idxchannel, Senin (25/4/2022).
3. Dampak ke petani kecil sawit

Anggota Komisi VI DPR RI, Fraksi PDI Perjuangan Deddy Yevri Hanteru Sitorus menilai kebijakan ini akan lebih banyak merugikan petani kecil dan menyebabkan harga bahan baku melonjak.
"Terutama petani sawit kecil, pemilik lahan sawit sedang, dan pemilik kebun sawit yang tidak memiliki pabrik pengolahan CPO, refinery atau pabrik minyak goreng," ucapnya.
Menurutnya kebijakan ini hanya akan tepat jika dilakukan dalam jangka waktu pendek sebagai langkah untuk memastikan kecukupan pasokan serta penurunan harga di dalam negeri. Apalagi buah sawit tidak bisa disimpan dalam jangka waktu yang lama setelah dipanen dan harus segera diangkut ke pabrik untuk proses pengolahan. Jika tidak segera diolah, buah kelapa sawit akan busuk sehingga rakyat harus menanggung kerugian.
Deddy memaparkan bahwa kebijakan ini hanya akan menguntungkan para pengusaha besar, khususnya mereka yang punya pabrik kelapa sawit sendiri, fasilitas refinery, pabrik minyak goreng, atau industri turunan lainnya.
4. Pengaruhi harga minyak goreng dan produk turunan CPO lainnya

Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal menilai rencana pemerintah melarang ekspor minyak kelapa sawit alias CPO dan minyak goreng akan memberikan permasalahan, bukan hanya terhadap harga goreng tapi juga industri produk turunan CPO lainnya akan terimbas.
Meskipun bertujuan menurunkan harga minyak goreng, namun kebijakan ini berpotensi membuat produk turunan CPO yang lain kena getahnya.
"Jadi aspek-aspek yang tidak ada hubungannya dengan itu (harga minyak goreng), misalnya biodiesel, olekimia, ini kan tidak ada hubungannya dengan minyak goreng, tapi mereka kena getahnya juga ketika tidak boleh ekspor," kata Faisal kepada IDN Times, Senin (25/4/2022).
5. YLKI sebut kebijakan ini 'sangat ekstrem'
.jpg)
Ketua Harian YLKI, Tulus Abadi menilai kebijakan yang diambil Presiden Jokowi lebih banyak memiliki dampak negatif daripada positif. Ia menuturkan bahwa kebijakan itu justru akan merugikan pemerintah dan menurunkan pendapatan negara karena tidak ada pajak yang didapat dari ekspor.
"Kalau tidak disitribusikan sama saja, pemerintah juga akan rugi sendiri karena kehilangan pajak ekspor, pendapatan ekspor dari mana? Sementara CPO besar nilainya bersama baru bara, bisa engga kehilangan devisa jadi nol persen?" ungkapnya.
Sementara itu, Pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sudaryatmo menyebut kebijakan yang diambil Presiden Joko Widodo sebagai salah satu langkah yang 'sangat ekstrem' dan justru dapat mengganggu pasar.
Menurutnya, pasokan produksi minyak sawit mentah sebesar 20 persen dari total ekspor seharusnya sudah cukup memenuhi kebutuhan dalam negeri.