Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Ditjen Pajak Siapkan Aturan Baru Pajak Kripto, Ini Tujuannya

WhatsApp Image 2025-07-22 at 11.39.15.jpeg
Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto saat meluncurkan piagam wajib pajak atau taxpayers charter. (IDN Times/Triyan).
Intinya sih...
  • Revisi PMK 68/2022 masih dalam proses finalisasi
  • Tarif PPN berkisar antara 0,11 hingga 0,22 persen
  • Aset kripto dianggap sebagai instrumen keuangan, bukan komoditas
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) saat ini tengah menyelesaikan finalisasi sejumlah kebijakan terkait pengenaan pajak atas transaksi aset kripto di Indonesia.

Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, menyampaikan bahwa penyusunan aturan tersebut dilakukan sejalan dengan perubahan status aset kripto yang sebelumnya dikategorikan sebagai komoditas, kini beralih menjadi instrumen keuangan di Indonesia.

“Sebelumnya, kami mengatur kripto sebagai komoditas. Namun, setelah statusnya berubah menjadi instrumen keuangan, maka regulasi yang berlaku pun harus disesuaikan,” jelas Bimo saat konferensi pers di Jakarta, Selasa (22/7/2025).

1. Point utama untuk revisi PMK 68/2022 masih digodok

ilustrasi kripto (pexels.com/Tugay Kocatürk)
ilustrasi kripto (pexels.com/Tugay Kocatürk)

Meski demikian, Bimo belum mengungkap secara rinci poin-poin utama yang akan dimuat dalam regulasi baru tersebut. Untuk saat ini, pemerintah telah mengatur tata cara perpajakan atas aset kripto melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68 Tahun 2022 mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto.

Dalam Pasal 5 PMK tersebut dijelaskan bahwa setiap penyerahan aset kripto dikenakan PPN dengan tarif tertentu, yaitu 1 persen apabila transaksi dilakukan melalui exchanger yang terdaftar di Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), dan 2 persen apabila dilakukan melalui exchanger yang tidak terdaftar di Bappebti. Tarif ini dihitung dari persentase tarif PPN sesuai Undang-Undang PPN dan perubahannya.

2. Tarif PPN atas transaksi kripto berkisar 0,11 hingga 0,22 persen

Ilustrasi kripto (freepik.com/frimufilms)
Ilustrasi kripto (freepik.com/frimufilms)

Saat ini, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas transaksi aset kripto berkisar antara 0,11 persen hingga 0,22 persen dari nilai transaksi. Besaran tarif ini bergantung pada status exchanger (penyedia platform perdagangan kripto) yang digunakan, apakah terdaftar atau tidak terdaftar di Bappebti (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi).

Selain itu, sesuai Pasal 21 PMK Nomor 68 Tahun 2022, pihak yang menjual aset kripto juga dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Final atas penghasilan dari transaksi kripto. Pajak ini dikenakan atas berbagai jenis transaksi, seperti:

  • Jual beli aset kripto dengan mata uang rupiah atau mata uang asing (fiat),

  • Pertukaran (swap) antar aset kripto,

  • Pertukaran aset kripto dengan barang atau jasa lainnya.

Tarif PPh Final yang dikenakan adalah:

  • 0,1 persen dari nilai transaksi, jika dilakukan melalui exchanger yang terdaftar di Bappebti,

  • 0,2 persen dari nilai transaksi, jika dilakukan melalui exchanger yang tidak terdaftar di Bappebti.

3. Kripto sudah jadi komoditas yang bisa diperjualbelikan

ilustrasi kripto (pexels.com/DS stories)
ilustrasi kripto (pexels.com/DS stories)

Pada awalnya, aset kripto di Indonesia diatur dalam PMK 68/2022 dan dianggap sebagai komoditas digital yang tidak berwujud. Artinya, aset kripto dipandang seperti barang dagangan (komoditas) yang bisa diperjualbelikan, walaupun bentuknya tidak nyata (digital).

Dalam aturan ini, aset kripto dibuat, diverifikasi, dan diamankan menggunakan teknologi seperti kriptografi, jaringan peer-to-peer, dan buku besar terdistribusi (blockchain). Semua itu dilakukan tanpa campur tangan pihak ketiga, seperti bank atau lembaga pemerintah. Saat itu, pengawasan aset kripto dilakukan oleh Bappebti, yaitu lembaga di bawah Kementerian Perdagangan yang biasanya mengatur perdagangan berjangka, seperti emas atau minyak.

Namun, seiring berkembangnya penggunaan dan peran aset kripto dalam sistem keuangan, pemerintah mengubah pendekatannya. Dalam Peraturan OJK Nomor 27 Tahun 2024, aset kripto kini tidak lagi dipandang sebagai komoditas, tetapi sebagai bagian dari aset keuangan digital.

Menurut definisi baru dalam POJK tersebut, aset kripto adalah representasi digital dari suatu nilai yang bisa disimpan, ditransaksikan, dan dipindahkan secara elektronik. Teknologi blockchain tetap digunakan untuk menjamin keamanan dan validitas data, namun kini aset kripto dianggap lebih dekat dengan instrumen keuangan, bukan lagi sekadar komoditas. Aset kripto juga diakui bisa berbentuk koin digital, token, atau jenis lainnya, baik yang memiliki aset pendukung (seperti stablecoin yang didukung oleh dolar) maupun yang tidak memiliki dukungan aset (seperti Bitcoin).

Dengan perubahan ini, pengawasan aset kripto beralih ke OJK, karena aset kripto dianggap memiliki dampak langsung terhadap stabilitas dan perkembangan sektor keuangan digital di Indonesia.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwi Agustiar
EditorDwi Agustiar
Follow Us