Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Fatwa MUI: Bumi-Bangunan Berpenghuni Tak Layak Kena Pajak Berulang

fa790a959826ec20d72aaa2bc3f3c464-gambar.jpg
(dok. MUI)
Intinya sih...
  • Fatwa MUI menetapkan bumi dan bangunan yang dihuni tak layak dikenakan pajak berulang
  • Kenaikan pajak bumi dan bangunan dinilai tidak adil, sehingga meresahkan masyarakat
  • Pajak hanya dikenakan kepada warga negara yang memiliki kemampuan secara finansial
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Komisi Fatwa Musyawarah Nasional (Munas) XI Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan lima fatwa. Salah satunya tentang Pajak Berkeadilan.

Ketua Komisi Fatwa SC Munas XI MUI, Asrorun Niam Sholeh menegaskan, bumi dan bangunan yang dihuni tak layak dikenakan pajak berulang.

1. Soroti kenaikan pajak bumi dan bangunan

Ilustrasi pajak
Ilustrasi pajak (IDN Times/Aditya Pratama)

Ketua MUI Bidang Fatwa ini menambahkan fatwa Pajak Berkeadilan ditetapkan sebagai tanggapan hukum Islam tentang masalah sosial yang muncul akibat adanya kenaikan pajak bumi dan bangunan (PBB) yang dinilai tidak adil.

"Sehingga meresahkan masyarakat. Fatwa ini diharapkan jadi solusi untuk perbaikan regulasi," kata Niam di sela-sela Munas XI MUI di Hotel Mercure Ancol, Jakarta Utara, Minggu (23/11/2025) malam.

2. Objek pajak dikenakan hanya kepada harta potensial untuk diproduktifkan serta kebutuhan sekunder dan tersier

Ilustrasi pajak (IDN Times/Arief Rahmat)
Ilustrasi pajak (IDN Times/Arief Rahmat)

Lebih lanjut, Guru Besar Bidang Ilmu Fikih UIN Jakarta ini menegaskan bahwa objek pajak dikenakan hanya kepada harta yang potensial untuk diproduktifkan, serta merupakan kebutuhan sekunder dan tersier (hajiyat dan tahsiniyat).

"Jadi pungutan pajak terhadap sesuatu yang jadi kebutuhan pokok, seperti sembako, dan rumah serta bumi yang kita huni, itu tidak mencerminkan keadilan serta tujuan pajak," tegas Pengasuh Pondok Pesantren An-Nahdlah, Depok, Jawa Barat ini.

3. Pajak hanya dikenakan kepada warga negara yang memiliki kemampuan secara finansial

ilustrasi pajak (IDN Times/Aditya Pratama)
ilustrasi pajak (IDN Times/Aditya Pratama)

Niam menjelaskan, pada hakikatnya pajak hanya dikenakan kepada warga negara yang memiliki kemampuan secara finansial.

"Kalau analog dengan kewajiban zakat, kemampuan finansial itu secara syariat minimal setara dengan nishab zakat mal yaitu 85 gram emas. Ini bisa jadi batas PTKP," ujarnya.

Berikut ini ketentuan hukum mengenai fatwa pajak berkeadilan yang dikeluarkan MUI:

1. Negara wajib dan bertanggung jawab mengelola dan memanfaatkan seluruh kekayaan negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

2. Dalam hal kekayaan negara tidak cukup untuk membiayai kebutuhan negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat maka negara boleh memungut pajak dari rakyat dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Pajak penghasilan hanya dikenakan kepada warga negara yang memiliki kemampuan secara finansial yang secara syariat minimal setara dengan nishab zakat mal yaitu 85 gram emas

b. Objek pajak dikenakan hanya kepada harta yang potensial untuk diproduktifkan dan / atau merupakan kebutuhan sekunder dan tersier(hajiyat dan tahsiniyat)

c. Pajak digunakan untuk kepentingan masyarakat yang membutuhkan dan kepentingan publik secara luas

d. Penetapan pajak harus berdasar pada prinsip keadilan

e. Pengelolaan pajak harus amanah dan transparan serta berorientasi pada kemaslahatan umum (‘ammah).

3. Pajak yang dibayarkan oleh wajib pajak, secara syar’i merupakan milik rakyat yang pengelolaannya diamanahkan kepada pemerintah (ulil amri), oleh karena itu pemerintah wajib mengelola harta pajak dengan prinsip amanah yaitu jujur, profesional, transparan, akuntabel dan berkeadilan

4. Barang yang menjadi kebutuhan primer masyarakat (dharuriyat) tidak boleh dibebanipajak secara berulang. (double tax)

5. Barang konsumtif yang merupakan kebutuhan primer, khususnya sembako (sembilan bahan pokok), tidak boleh dibebani pajak

6. Bumi dan bangunan yang dihuni (non komersial) tidak boleh dikenakan pajak berulang

7. Warga negara wajib ⁠menaati aturan pajak yang ditetapkan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 2 dan 3

8. Pemungutan pajak yang tidak sesuai denganketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 2 dan 3 hukumnya haram

9. Zakat yang sudah dibayarkan oleh umat Islam menjadi pengurang kewajiban pajaksebagaimana diatur dalam ketentuan angka 2 dan 3, (zakat sebagai pengurang pajak)

Rekomendasi

1. Untuk mewujudkan perpajakan yang berkeadilandan berpemerataan maka pembebanan pajak seharusnya disesuaikan dengan kemampuan wajib pajak (ability pay). Oleh karena itu perlu adanya peninjauan kembali terhadap beban perpajakan terutama pajak progresif yang nilainya dirasakan terlalu besar

2. Pemerintah harus mengoptimalkan pengelolaan sumber-sumber kekayaan negara dan menindak para mafia pajak dalam rangka untuk sebesar-besar untuk kesejahteraan masyarakat

3. Pemerintah dan DPR berkewajiban mengevaluasi berbagai ketentuan perundang-undangan terkait perpajakan yang tidak berkeadilan dan menjadikan fatwa ini sebagai pedoman

4. Kemendagri dan pemerintah daerah mengevaluasi aturan mengenai pajak bumi dan bangunan, pajak pertambahan nilai (PPn), pajak penghasilan (PPh), Pajak Bumi dan Bangunan(PBB), Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), pajak waris yang seringkali dinaikkan hanya untuk menaikkan pendapatan daerah tanpa mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat

5. Pemerintah wajib mengelola pajak dengan amanah dan menjadikan fatwa ini sebagai pedoman

6. Masyarakat perlu mentaati pembayaran pajak yang diwajibkan oleh pemerintah jika digunakan untuk kepentingan kemaslahatan umum (maslahah ‘ammah).

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwi Agustiar
EditorDwi Agustiar
Follow Us

Latest in Business

See More

Cek Fakta: Pertamina Bisa Blacklist Nopol Kendaraan?

24 Nov 2025, 08:02 WIBBusiness