Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Jangan Salah, Ini Perbedaan Redenominasi dan Sanering

Uang kertas Rupiah baru emisi 2022. (YouTube/Bank Indonesia)

Jakarta, IDN Times - Wacana redenominasi di Indonesia masih mengundang kekhawatiran masyarakat. Hal tersebut karena sebagian warga mengira penghapusan nol sama dengan pengurangan nilai mata uang atau sanering.

Padahal, dua istilah ini memiliki makna berbeda meski ada kaitannya. Lantas apa sebenarnya perbedaan redenominasi dengan sanering? Yuk simak selengkapnya.

1. Arti sanering hingga sejarahnya di Indonesia

Ilustrasi Inflasi (IDN Times/Arief Rahmat)

Dilansir dari situs Kementerian Keuangan, Senin (10/7/2023), sanering adalah pemotongan nilai uang dalam kondisi perekonomian yang terpuruk. Namun harga barang tidak disesuaikan, sehingga berakibat turunnya daya beli masyarakat. Langkah ini dilakukan untuk menangani laju inflasi yang terus berlangsung hingga awal 1960-an.

Pemerintah memutuskan menurunkan jumlah uang beredar dengan cara memotong dua uang kertas yang memiliki nilai pecahan terbesar saat itu, yaitu Rp500 yang bergambar macan dan Rp1000 bergambar gajah pada 24 Agustus 1959. Nilai masing-masing diturunkan hingga tersisa 10 persen.

Uang Macan yang semula mempunyai nilai Rp500 berubah menjadi Rp50, sedangkan uang gajah yang semula Rp1.000 menjadi Rp100. Dan pemotongan nilai uang ini tidak terjadi dengan nominal-nominal yang lebih kecil.

Dampak kebijakan ini keesokan harinya, 25 Agustus 1959, pukul 06 waktu Jawa dikarenakan informasi ini belum tersebar merata ke seluruh lapisan masyarakat, menyebabkan terjadinya kekacauan di masyarakat. Kebijakan ini membuat masyarakat menyerbu toko-toko membelanjakan uang macan dan gajahnya. Bank-bank juga diserbu untuk menukarkan uang macan dan gajah dengan pecahan yang lebih kecil.

Kepanikan masyarakat ini terus terjadi sampai saat mulai diberlakukannya peraturan pemerintah tersebut tepat pukul 06.00. Masyarakat tidak mau memegang uang macan dan gajah. Mereka ramai-ramai membelanjakan atau menukarkan ke bank. Akibatnya, kekayaan rakyat yang dikumpulkan bertahun-tahun ludes dalam sekejap. Sementara, masalah ekonomi tak juga membaik. Demikian pula posisi rupiah terhadap mata uang asing semakin terpuruk.

Sejarah tersebut merupakan sanering jilid ke-2 yang dilakukan pada pemerintahan Orde Lama. Pada 13 Desember 1965, pemerintah juga melakukan kebijakan yang sama, yaitu menyunat tiga nol di belakang angka rupiah hingga membuat perekonomian Indonesia semakin kacau.

Harga barang-barang terus meroket, bahkan inflasi sempat menyentuh 594 persen. Puncaknya terjadi pada 1966, ketika inflasi mencapai 635,5 persen. Rakyat pun kian menderita karena pendapatan mereka yang hanya 80 dolar AS per tahun habis dimakan inflasi.

Sebelumnya juga terjadi kebijakan yang sama, yang dikenal dengan peristiwa ‘Gunting Syafruddin’, karena kebijakan moneter yang ditetapkan Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta II, Syafrudin Prawiranegara, untuk mengatasi krisis ekonomi. Kebijakan ini mulai berlaku pada 10 Maret 1950 pukul 20.00, dengan cara menggunting fisik uang kertas.

Saat itu, ada tiga jenis mata uang yang beredar di Indonesia. Ketiga mata uang tersebut adalah Oeang Republik Indonesia (ORI), mata uang peninggalan pemerintah kolonial Hindia Belanda, dan mata uang yang digunakan ketika NICA (Belanda) berada di Indonesia pasca-kemerdekaan atau selama masa revolusi fisik.

Uang merah atau uang NICA dan uang De Javasche Bank dari pecahan Rp5 ke atas digunting menjadi dua. Guntingan kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran sah dengan nilai setengah dari nilai semula hingga 9 Agustus 1950 pukul 18.00. Mulai 22 Maret sampai 16 April 1950, bagian kiri itu harus ditukarkan dengan uang kertas baru di bank dan tempat-tempat yang telah ditunjuk.

Jika melebihi tanggal tersebut, bagian kiri itu tidak berlaku lagi. Guntingan kanan dinyatakan tidak berlaku, tetapi dapat ditukar dengan obligasi negara setengah dari nilai semula, dan akan dibayar 30 tahun kemudian, dengan bunga 3 persen setahun. Kebijakan itu juga berlaku bagi simpanan di bank. Pecahan Rp2,50 ke bawah tidak mengalami pengguntingan, demikian pula uang ORI.

2. Tujuan sanering dan contohnya

Ilustrasi inflasi (pinterest)

Sanering juga memiliki tujuan untuk mengurangi jumlah uang yang beredar akibat lonjakan harga-harga.

Kebijakan sanering pada waktu itu, dikenal dengan istilah penyehatan uang, ditempuh untuk mencegah inflasi semakin tinggi, mengendalikan harga, meningkatkan nilai mata uang, dan memungut keuntungan tersembunyi dari perdagangan. 

Sanering dilakukan juga untuk mengurangi jumlah persediaan dan peredaran uang, dari Rp34 miliar menjadi Rp21 miliar.

Contoh sanering uang Rp10 ribu kemudian diturunkan nilainya menjadi Rp10. Jika sebelumnya harga sepotong roti itu Rp10 ribu per bungkus, setelah dilakukan sanering maka harga roti tersebut tetap sama.

Alhasil, kita harus merogoh kocek berlipat ganda untuk bisa membeli roti tersebut. Otomatis, daya beli masyarakat menurun drastis saat terjadi sanering.

3. Pengertian, tujuan, hingga contoh redenominasi

Ilustrasi uang rupiah (IDN Times/Anggun Puspitoningrum).

Sementara, merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), redenominasi didefinisikan sebagai penyederhanaan nilai mata uang rupiah tanpa mengubah nilai tukarnya. Redenominasi bertujuan untuk menyederhanakan jumlah digit pada pecahan rupiah tanpa mengurangi daya beli, harga atau nilai rupiah terhadap harga barang dan atau jasa.

Sehingga dapat disimpulkan redenominasi berbeda dengan sanering atau pemotongan (nilai) uang. Karena itu, berbeda dengan sanering, redenominasi tidak mengurangi nilai mata uang, sehingga tidak memengaruhi harga barang. Redenominasi hanyalah menyederhanakan pecahan uang agar lebih efisien dalam bertransaksi.

Sedangkan redenominasi, secara teknis, uang yang sudah diredenominasi, jumlah angkanya akan mengecil tapi nilainya tetap sama. Contoh redenominasi uang Rp10 ribu, setelah dilakukan redenominasi, maka tiga angka di belakang akan hilang, penulisannya berubah Rp10 dan nilai uang masih sama dengan Rp10 ribu.

Contohnya, jika kita biasanya membeli roti seharga Rp10 ribu, setelah redenominasi rupiah, maka harga roti tersebut berubah Rp10.

Jika melihat fenomena di masyarakat, pada saat ini tanpa disadari sebenarnya secara tidak langsung telah menerapkan redenominasi rupiah meski secara informal. Misalnya kita berjalan-jalan di mal, restoran, atau kafe, terpampang daftar harga dengan embel-embel “K” di belakang digitnya.

Contohnya untuk menu nasi soto ayam seharga Rp30 ribu per porsi hanya dicantumkan 30K. "K" di sini memiliki arti umum kelipatan seribu. Bahkan di pasar-pasar tradisional kalau kita perhatikan, transaksi antara pedagang dan pembeli juga sudah mulai sederhana dalam penyebutan nominal rupiah saat tawar-menawar.

Misalnya, pedagang buah menawarkan satu kilogram jeruk seharga Rp30 ribu, dan pembeli menawarnya hanya menyebut 20 saja, yang artinya Rp20 ribu per kilogram.

Dari fenomena tersebut, tanpa disadari, sebetulnya masyarakat secara tidak langsung sudah menerapkan redenominasi rupiah meski secara informal. Artinya selama ini tidak ada ketentuan resmi dari otoritas moneter Bank Indonesia, namun kita sudah biasa melakukan dalam transaksi dan pencatatan rupiah sehari-hari. 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rochmanudin Wijaya
EditorRochmanudin Wijaya
Follow Us