Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

KPPU Ungkap 4 Ancaman Buat Dunia Usaha di RI Imbas Tarif AS

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump menandatangani Perintah Eksekutif mengenai rencana tarif Pemerintah pada acara “Make America Wealthy Again”, Rabu, 2 April 2025 (flickr.com/The White House)
Intinya sih...
  • Kebijakan tarif AS mengancam posisi ekspor Indonesia di pasar global.
  • Tarif resiprokal AS terhadap produk Indonesia membuat komoditas nasional sulit bersaing di pasar global.
  • Produk ekspor yang tak terserap menyebabkan oversupply, penumpukan barang, dan tekanan harga dalam negeri.

Jakarta, IDN Times - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengungkapkan dampak serius kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan Amerika Serikat (AS) terhadap produk-produk asal Indonesia. Wakil Ketua KPPU, Aru Armando menyatakan kebijakan tersebut tidak hanya mengganggu posisi ekspor Indonesia di pasar global, tapi juga mengancam persaingan usaha di dalam negeri.

Namun, kini sedang dilakukan negosiasi tarif resiprokal Indonesia dengan AS. Dia menjelaskan, jika jadi diberlakukan, tarif resiprokal yang dikenakan AS terhadap produk Indonesia, seperti minyak sawit, membuat komoditas nasional sulit bersaing di pasar global.

“Karena Malaysia dikenakan tarif yang lebih rendah, yaitu 24 persen. Sebagaimana kita ketahui Indonesia dikenakan tarif 32 persen. Kondisi yang sama juga terdampak pada industri yang lain," kata dia dalam konferensi pers di Kantor KPPU, Jakarta, Senin (5/5/2025).

1. Oversupply di pasar domestik akan bikin harga jatuh

ilustrasi tandan buah segar (TBS) kelapa sawit. (IDN Times/Vadhia Lidyana)

Produk-produk ekspor yang tak terserap di luar negeri terpaksa masuk kembali ke pasar domestik, menciptakan oversupply, menyebabkan penumpukan barang di dalam negeri dan mendorong perusahaan untuk menekan harga agar barang cepat terserap.

"Misalnya ekspor minyak sawit mentah atau CPO yang bernilai 1,3 miliar dolar AS ke Amerika Serikat akan berkurang. Akibatnya stok CPO di dalam negeri akan mengalami peningkatan dan harga dalam negeri bisa anjlok," ujarnya.

Itu akan berimplikasi pada penurunan harga pembelian tandan buah segar (TBS) dan pengurangan volume pembelian. Kondisi itu, menurut dia, memberikan tekanan tersendiri bagi petani dan pelaku UMKM yang bergantung pada industri sawit.

2. KPPU waspadai potensi banjir produk dari China

Kondisi Pasar Tanah Abang yang cukup lengang (IDN Times/Daffa Ulhaq)

Aru menyampaikan kebijakan tarif tinggi yang diberlakukan Amerika Serikat terhadap produk asal China berpotensi mendorong negara tersebut mencari pasar alternatif, termasuk Indonesia.

Dia menjelaskan kondisi itu dapat menyebabkan masuknya produk China dalam jumlah besar ke pasar domestik dengan harga yang lebih rendah, mencakup produk elektronik hingga otomotif.

"Khususnya di industri elektronik, plastik, produk dari besi dan baja, furnitur, pakaian, sepatu, serta kendaraan dan aksesorisnya dengan potensi nilai impor sebesar 221,6 miliar dolar AS," sebutnya.

3. Terjadi pengurangan produksi dan berujung badai PHK

Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) melanda Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Sebanyak 1.126 pekerja PT Yihong Novatex Indonesia, sebuah perusahaan tekstil di kawasan industri setempat kehilangan pekerjaan secara mendadak

Imbas tarif tinggi, Aru menjelaskan perusahaan-perusahaan yang selama ini bergantung pada ekspor ke AS cenderung akan menurunkan kapasitas produksinya akibat melemahnya permintaan.

"Sehingga berpotensi menyebabkan terjadinya badai PHK atau pemutusan hubungan kerja atau bahkan penutupan pabrik.

Sektor manufaktur seperti garmen, alas kaki, dan furnitur disebut sebagai industri yang paling rentan terdampak, apalagi jika daya beli masyarakat di dalam negeri tidak cukup kuat untuk menyerap kelebihan produksi, maka stok barang akan menumpuk di gudang.

"Kelebihan stok akan menumpuk di gudang sehingga meningkatkan biaya penyimpanan dan menimbulkan kerugian bisnis" paparnya.

4. Akuisisi oleh asing di perusahaan domestik bakal meningkat

ilustrasi pabrik (IDN Times/Muhammad Surya)

Menurut Aru, pelemahan perusahaan domestik akibat tekanan global juga membuka peluang terjadinya peningkatan konsolidasi usaha secara global, terutama melalui praktik merger dan akuisisi di Indonesia.

Dia menjelaskan negara-negara yang terdampak kebijakan tarif tinggi dapat mengantisipasi hambatan ekspor mereka dengan mengakuisisi perusahaan-perusahaan lokal di negara tujuan ekspor, termasuk Indonesia.

Untuk itu, Aru menekankan pentingnya peningkatan pengawasan terhadap aktivitas merger dan akuisisi guna mencegah terbentuknya posisi dominan pelaku usaha melalui konsolidasi pasar.

"Sehingga di pengawasan harus dilakukan bersama dengan pemerintah seperti Kementerian Hukum, Kementerian Perindustrian, Otoritas Jasa Peruangan, dan Bank Indonesia," tambahnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Trio Hamdani
Anata Siregar
Trio Hamdani
EditorTrio Hamdani
Follow Us