Kucuran Insentif Pemerintah untuk Lawan COVID-19 Bagaikan Gimik

Jakarta, IDN Times - Awal Maret 2020, Presiden Joko "Jokowi" Widodo mengumumkan kasus pertama virus corona jenis baru, COVID-19, di Indonesia. Semenjak saat itu hingga kini, kasusnya terus mengalami penambahan, baik jumlah pasien yang positif maupun pasien yang meninggal.
Data per 13 April 2020, kasus virus corona di seluruh provinsi sudah mencapai 4.557 kasus dengan jumlah pasien meninggal sebanyak 399 orang dan sembuh 380 orang. Pemerintah pun meresponsnya dengan menggelontorkan berbagai macam insentif, mulai dari dukungan terhadap UMKM, sektor industri, hingga dukungan dalam bentuk bantuan sosial.
Pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp405,1 triliun untuk penanganan virus corona. Rinciannya, untuk bidang kesehatan sebesar Rp75 triliun, insentif perpajakan dan KUR Rp70,1 triliun, pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional Rp150 triliun serta jaring pengaman sosial atau social safety net sebesar Rp110 triliun, yang akan mencakup penambahan anggaran kartu sembako, Kartu Prakerja, dan subsidi listrik.
Adapun rincian untuk anggaran jaring pengaman sosial adalah sebesar Rp43,6 triliun untuk program kartu sembako dengan total 20 juta penerima manfaat, Program Keluarga Harapan (PKH) sebesar Rp37,4 triliun untuk 10 juta keluarga penerima manfaat (KPM), Kartu Prakerja yang anggarannya naik dari Rp10 triliun menjadi Rp20 triliun untuk 5,6 juta peserta dan untuk tarif listrik yang dalam hal ini pelanggan 450VA akan digratiskan selama tiga bulan dan 900VA subsidi diberi diskon 50 persen.
Namun, sudah tepat gunakah insentif yang direncanakan pemerintah ini? Apakah ini sungguh-sungguh yang dibutuhkan masyarakat di tengah pandemi ini?
1. Bansos dinilai sebagai janji kampanye yang tanpa inovasi

Program-program bansos digaungkan dengan gelontoran uang ratusan triliun sebagai solusi pemerintah dalam melawan pandemik COVID-19. Namun, sebagian insentif tersebut dinilai menjadi seperti bansos kebanyakan yang diumbar sebagai janji kampanye, tanpa adanya inovasi.
Salah satunya program Kartu Prakerja. Dalam program ini, peserta akan mendapat insentif sebesar Rp3.550.000 ini terdiri dari bantuan pelatihan sebesar Rp1.000.000, insentif pascapelatihan sebesar Rp600.000 per bulan selama 4 bulan, serta insentif survei bekerja sebesar Rp50.000 setiap kali survei selama 3 kali survei atau sejumlah Rp 150.000.
Menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira, program Kartu Prakerja terkesan dipaksakan. Apalagi dengan gimik pelatihan online yang perlu dilakukan di tengah wabah virus corona.
Saat pandemik COVID-19 berlangsung, kata Bhima, program pelatihan online untuk para pencari kerja hingga korban PHK ini dinilai bukan hal utama yang dibutuhkan.
"Mereka lebih butuh uang tunai (BLT) untuk memenuhi beragam kebutuhan jangka pendek, membeli makanan, obat-obatan/ masker, dan melunasi cicilan kredit. Jadi Kartu Prakerja sedari lahir konsepnya sudah gak pas," kata Bhima saat dihubungi IDN Times, Senin (13/4).
Senada dengan Bhima, Direktur Eksekutif Institute Development of Economic and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menilai konsep Kartu Prakerja sudah tidak lagi fokus pada peningkatan SDM. Menurutnya, banyak peserta yang ikut lantaran mereka membutuhan insentif dari program tersebut, bukan peningkatan SDM.
"Karena gak mungkin Kartu Prakerja, permintaannya ada baru dibuat pelatihan. Jadi orang yang ikut pelatihan punya kualifikasi yang bisa diterima di pasar kerja. Apalagi jumlahya dari 2 juta ke 5,6 juta. Jadi akhirnya social safety net konsepnya, nggak ke peningkatan SDM. Mereka ikut karena bantuan itu aja," ucapnya.
2. Pemilihan provider vendor pelatihan Kartu Prakerja dipertanyakan

Bhima juga mengkritik penunjukan langsung terhadap 8 provider yang menjadi vendor pelatihan Kartu Prakerja. Ia menilai hal tersebut tidak transparan. Pemerintah menggandeng 11 mitra kerja yang terdiri 8 platform digital atau marketplace yakni Tokopedia, Bukalapak, Ruang guru, MauBelajarApa, Sekolah.mu, Pintaria, Pijah Mahir, lalu 3 mitra pembayaran seperti PT BNI (Persero), LinkAja, dan OVO.
Di sisi lain, pemerintah sudah mengeluarkan Perppu Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemik Corona melalui Perppu No 1 Tahun 2020. Dalam Pasal 27 Perppu itu disebutkan bahwa pemerintah kebal dari tuntutan hukum dalam penggunaan uang negara karena tidak boleh digugat ke pengadilan.
Direktur Komunikasi Program Kartu Prakerja Panji Winanteya Ruky membantahnya. Ia menegaskan bahwa dipilihnya 8 provider tersebut bukan penunjukkan langsung, melainkan Perjanjian Kerja Sama (PKS).
Panji juga menjelaskan bahwa masyarakat terdampak COVID-19, khususnya untuk korban PHK membutuhkan percepatan dari program-program bantuan pemerintah. Project Management Office (PMO) Prakerja telah diarahkan untuk segera bekerja sama dengan platform digital yang sudah siap memberikan jasa marketplace untuk pelatihan sesuai dengan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Permenko) Nomor 3 Tahun 2020.
"Menurut saya tidak benar hanya menguntungkan sebagian pihak karena sifatnya tidak dibatasi. Masyarakat sudah benar-benar butuh bantuan. Kami membangun situs kurang dari tiga minggu," katanya ketika dikonfirmasi.
Jumlah provider tersebut masih berpotensi untuk ditambah dengan skema yang sama, PKS. "Nanti bisa ditambah lagi kalau kami sudah punya sedikit kelonggaran," katanya.

3. Diskon tarif dan penggratisan listrik pada daya yang sudah disubsidi sebelumnya

Bhima juga menyoroti pembebasan pembayaran listrik bagi 24 juta pelanggan dengan daya 450 Volt Ampere (VA) dan diskon 50 persen bagi 7 Juta pelanggan dengan daya 900 VA bersubsidi. Menurut dia, tidak benar-benar tepat sasaran.
Subsidi itu seharusnya diperluas hingga ke daya 1.300 VA. Sebab, masih ada pekerja informal yang terdampak COVID-19, tinggal di rumah dengan kapasitas daya 1.300 VA.
"Karena fakta di lapangan banyak pekerja yang di PHK, pekerja informal hidup di rumah petak di mana listriknya 1.300 VA karena dibagi ke dalam beberapa unit rumah. Fakta ini yang sepertinya luput dari social safety net Rp110 triliun," ungkap Bhima.
Adapun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan memberikan dana Rp3,2 triliun-Rp3,5 triliun kepada PLN sebagai kompensasi memberikan diskon tagihan listrik pelanggan golongan 450 dan 900 VA.
Sementara itu dalam APBN 2020, alokasi anggaran untuk subsidi energi ditetapkan sebesar Rp 125,34 triliun. Anggaran subsidi energi yang ditetapkan tersebut memang lebih rendah dari yang ditetapkan sebelumnya dalam RAPBN 2020 yakni Rp 137,46 triliun.
Anggaran subsidi energi dialokasikan untuk bahan bakar minyak (BBM) jenis tertentu, LPG 3 kg dan listrik masing-masing sebesar Rp18,8 triliun, Rp52 triliun, serta Rp62,2 triliun.
4. PKH menjadi sorotan lantaran belum optimal

Program Keluarga Harapan juga menjadi sorotan. PKH sejatinya program yang sudah ada dan berjalan tanpa adanya wabah apa pun. Kini, sebagai insentif di tengah pandemi COVID-19, pemerintah akan meningkatkan nilainya.
Namun, kenaikan anggaran dalam program itu sejatinya sudah dimatangkan sejak dalam Rancangan Pembangunan Nasional (RPJMN) 2019-2024 dan jumlah penerima manfaatnya yang mencapai 10 juta KPM sesuai dengan Perpres Nomor 61 tahun 2019 tentang RKP Pemerintah Tahun 2020.
Dalam perjalanannya, jumlah 10 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) telah dialokasikan sejak 2018. Data Kementerian Sosial mencatat ada 10 juta KPM dengan alokasi anggaran sebesar Rp17,5 triliun. Setahun kemudian, jumlah penerima manfaat tidak mengalami kenaikan dari 10 juta, hanya alokasinya yang meningkat tajam menjadi Rp32,65 triliun.
Tahun anggaran 2020, jumlah penerima manfaatnya malah diturunkan menjadi 9,2 juta. Jumlah ini baru dinaikkan kembali menjadi 10 juta saat PKH dijadikan insentif di tengah pandemik COVID-19 terjadi. Namun, target awal penerima manfaat dalam PKH di 2020 adalah sebesar 10 juta yang kemudian direvisi.
Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan Askolani menegaskan bahwa kenaikan penerima manfaat dilakukan sebagai tindaklanjut dari penanganan virus corona. "PKH dinaikkan sejalan dengan penanganan dampak COVID-19 di 2020," ucapnya saat dikonfirmasi IDN Times.
Kenaikan jumlah KPM otomatis membuat pagu anggaran PKH yang dialokasikan Kementerian Keuangan naik dari semula Rp29,13 triliun menjadi Rp37,4 triliun. Rinciannya, dana untuk ibu hamil meningkat dari Rp3 juta menjadi Rp3,75 juta per tahun, anak usia di bawah 6 tahun dari Rp3 juta menjadi Rp3,75 juta per tahun, dan anak berpendidikan SD dari Rp900 ribu menjadi Rp1,25 juta per tahun.
Kemudian, pelajar SMP dari Rp1,5 juta menjadi Rp1,87 juta per tahun, anak SMA dari Rp2 juta menjadi Rp2,5 juta, disabilitas dari Rp2,4 juta menjadi Rp3 juta dan lansia dari Rp2,4 juta menjadi Rp3 juta
Senada dengan Askolani, Menteri Sosial Juliari Batubara mengatakan bahwa Kemensos akan menyalurkan bantuan sosial (bansos) PKH seperti yang dilakukan setiap bulan. Hal tersebut, kata dia, dilakukan sebagai salah satu upaya mengantisipasi dampak wabah virus corona atau COVID-19, terhadap KPM PKH.
"Mulai pertengahan April ini, KPM sudah bisa mencairkan bansos PKH setiap bulan hingga Desember 2020. Sebelumnya, bansos PKH diberikan tiap tiga bulan sekali, yaitu di bulan Januari, April, Juli, dan Oktober,” ujarnya.
5. Selain pangkas anggaran, pemerintah juga terbitkan surat utang global terbesar dalam sejarah

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan bahwa pemerintah telah menerbitkan obligasi global atau surat utang global dengan nilai US$4,3 miliar atau setara Rp68,8 triliun (kurs Rp16 ribu). Surat utang ini menjadi terbesar dalam sejarah yang diterbitkan dalam denominasi dolar AS oleh pemerintah.
Adapun tiga jenis global bond yang diterbitkan pemerintah yakni RI 1030 dengan tenor 10,5 tahun dengan nominal yang diterbitkan US$1,65 miliar dengan yield 3,90 persen. Kedua, RI 1050 bertenor 30,5 tahun dengan nominal yang diterbitkan US$1,65 miliar. Obligasi ini memiliki yield 4,2 persen. Terakhir, RI 0470 dengan jatuh tempo 50 tahun. Nilai yang diterbitkan US$1 miliar dengan yield 4,50 persen.
Penerbitan global bond dalam mata uang dolar ini dilakukan untuk menjaga pembiayaan aman sekaligus menambah cadangan devisa bagi Bank Indonesia. Pemanfaatan dari penerbitan ini sangat positif di tengah turbulensi pasar keuangan global.
"Tadi malam pemerintah berhasil global bond US$4,3 miliar. Ini penerbitan terbesar di dalam sejarah penerbitan US dolar bond oleh pemerintah Republik Indonesia," ujarnya dalam video conference, Selasa (7/4).
Selain itu, pemerintah juga melakukan pemangaksan anggaran kementerian/lembaga (K/L). Langkah itu sesuai dilakukan sesuai dengan Peraturan Presiden (Pepres) Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang ia tandatangani pekan lalu.
Sedangkan, anggaran KPK dari Rp922,5 miliar berkurang Rp62,6 miliar menjadi Rp858,9 miliar. Kemudian, anggaran Polri dari yang awalnya Ro104,6 triliun menjadi Rp96,11 triliun atau berkurang Rp8,5 triliun.
Adapun anggaran BNPB yang semula Rp700,6 miliar berkurang Rp20,8 miliar sehingga menjadi Rp679,8 miliar. Lembaga yang anggarannya tak berubah adalah Badan Ekonomi Kreatif anggarannya senilai Rp889,661 miliar.
Selain anggaran tiga pos tersebut, ada pula lembaga-lembaga lain yang anggarannya dipotong demi penanganan COVID-19. Berikut daftarnya:
1. MPR dari semula Rp603,67 miliar menjadi Rp576,129 (berkurang Rp27,531 miliar)
2. DPR dari semulai Rp5,11 triliun menjadi Rp4,897 triliun (berkurang Rp220,911 miliar)
3. Mahkamah Agung dari semula Rp10,597 triliun menjadi Rp10,144 triliun (berkurang Rp453,518 miliar).
4. Kejaksaan RI dari semula Rp7,072 triliun menjadi Rp6,031 triliun (berkurang Rp1,041 triliun)
5. Kementerian Pertahanan dari semula Rp131,182 triliun menjadi Rp122,447 triliun (berkurang Rp8,734 triliun)
6. Kementerian Keuangan dari semula Rp43,511 triliun menjadi Rp40,934 triliun (berkurang Rp2,576 triliun).
7. Kementerian Pertanian dari semula Rp21,055 triliun menjadi Rp17,442 triliun (berkurang Rp3,612 triliun).
8. Kementerian Perhubungan dari semula Rp43,111 triliun menjadi Rp36,984 triliun (berkurang Rp6,127 triliun).
9. Kementerian Sosial dari semula Rp62,767 triliun menjadi Rp60,686 triliun (Rp2,08 triliun)
10. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dari semula Rp120,217 triliun menjadi Rp95,683 triliun (berkurang Rp24,533 triliun)
11. Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional dari Rp42,166 triliun menjadi Rp2,472 triliun (berkurang Rp39,694 triliun)
12. Kementerian Koperasi dan Pengusaha Kecil dan Menengah dari semula Rp972,337 miliar menjadi Rp743,245 miliar (berkurang Rp229,091 miliar).
13. Badan Intelijen Negara dari semula Rp7,427 triliun menjadi Rp5,592 triliun (berkurang Rp1,835 triliun).
14. Komisi Pemilihan Umum dari semula Rp2,159 triliun menjadi Rp1,879 triliun (berkurang Rp279,6 miliar)
15. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi dari semula Rp2,039 triliun menjadi Rp1,636 triliun (berkurang Rp403,56 miliar).
16. Badan Pengawas Pemilihan umum dari semula Rp2,953 triliun menjadi Rp1,573 triliun (berkurang Rp1,379 triliun)
17. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dari semula Rp216,998 miliar menjadi Rp193,123 (berkurang Rp23,874 miliar).
Sedangkan, tiga lembaga yang anggarannya bertambah adalah:
1. Kementerian Kesehatan dari Rp57,399 triliun menjadi Rp76,545 triliun (bertambah Rp19,145 triliun).
2. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dari Rp36,301 triliun menjadi Rp70,718 triliun (bertambah Rp34,416 triliun)
3. Belanja pemerintah pusat dari Rp1.683 triliun menjadi Rp1.851 triliun (bertambah Rp167,623 triliun)