Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Mengulik Tren Konsumsi Berbasis Langganan yang Membagongkan

tampilan aplikasi streaming musik (pexels.com/John Tekeridis)

Sadarkah kamu kalau beberapa tahun ini, subscription atau langganan jadi format konsumsi baru yang makin populer. Hampir semua lini bisnis punya opsi ini. Tak hanya konten digital seperti musik dan film, tetapi ada juga perangkat lunak, jasa transportasi privat, dan berbagai aplikasi gaya hidup lain. Kalau dipikir-pikir, dewasa ini manusia tidak memiliki hak milik atas produk-produk yang biasa dipakai sehari-hari.

Mungkin ini terasa seperti kebebasan sebab kepemilikan beriringan dengan tanggung jawab yang tak selalu mengenakkan. Namun, benarkah langganan merupakan solusi yang ideal untuk mengonsumsi sesuatu? Mari, kupas lebih jauh serba-serbi di balik subscription economy.

1. Kenapa langganan jadi populer?

tampilan layanan streaming film (pexels.com/David Gomes)

Merujuk tulisan Ranasinghe dkk. dalam jurnal Reviews of Contemporary Business Analytic berjudul "Exploring Consumer Buying Patterns in Subscription-Based Services: An Analytical Study", langganan merupakan format konsumsi yang diminati karena menawarkan kemudahan dan keringanan biaya. Siapa yang tak tergiur harga lebih murah untuk menikmati pilihan konten yang hampir tak terhingga. Penyedia konten digital, seperti musik dan film, merupakan unit bisnis yang paling cocok menerapkan sistem ini. Ini pun cocok untuk perangkat lunak yang biasa dijual dengan sistem business-to-business (B2B) seperti yang biasa dipakai untuk keperluan keuangan, pengolah data, administrasi, penyuntingan, dan desain.

Ketimbang membeli dengan harga tinggi, konsumen kini diarahkan untuk membayar biaya langganan bulanan yang sekilas terasa lebih murah. Sebagai gantinya, perusahaan penyedia akan memberi pemutakhiran (update) gratis secara rutin guna memberikan pengalaman terbaik bagi pengguna. Apalagi, gak sedikit penyedia layanan yang menawarkan percobaan gratis dan potongan harga untuk pengguna baru. Ini jelas menarik buat konsumen yang ingin tes ombak sebelum berkomitmen lebih jauh.

Selain kemudahan, popularitas langganan juga mencerminkan pergeseran dalam perilaku konsumen. Terutama anak muda, fear of missing out (FOMO) dan kebutuhan akan gratifikasi instan merupakan dua faktor yang gak kalah esensial saat memutuskan berlangganan. Seperti kita tahu, penyedia layanan streaming platform musik dan film sering pakai label eksklusif untuk beberapa konten yang menurut mereka potensial. Beberapa tahun lalu, lagu-lagunya Taylor Swift hanya bisa diakses lewat Apple Music. Spotify juga pernah mengontrak beberapa kreator siniar untuk menyiarkan konten mereka di platform itu secara eksklusif. Begitu pula dengan Prime Video, Netflix, Disney+, dan Apple TV+, mereka berlomba-lomba memproduksi konten orisinal serta eksklusif untuk menarik pelanggan.

2. Menguntungkan pebisnis berkali-kali lipat

software desain berbayar (pexels.com/Borta)

Pihak yang paling diuntungkan jelas pemilik layanan. Menurut liputan Forbes, pada 2024 sejumlah Subscription Trade Association (SUBTA) memprediksi sejumlah perusahaan akan mengalami peningkatan penjualan produk lewat format langganan ini. Bahkan, prediksi ini sudah terbukti pada sektor kecantikan dan personal care yang tiap tahunnya mengalami kenaikan valuasi penjualan sebesar 12 persen gara-gara produk bundel yang dijual dengan format langganan.

Pada dasarnya, format langganan ini memastikan perusahaan dapat pendapatan stabil dari konsumen. Tak peduli seberapa besar dan sering konsumen menggunakan atau mengoptimalkan produk/jasa, harga yang mereka bayar sama tiap bulannya. Tantangan pebisnis biasanya ialah pasar yang kompetitif dan churn rate yang tinggi. Churn rate sendiri adalah tingkat pembatalan dan pemberhentian langganan. Namun, data dari churn rate ini sebenarnya menguntungkan buat pebisnis karena bisa dipakai untuk menganalisis dan mengevaluasi performa produk serta layanan mereka.

3. Apa dampaknya buat konsumen?

aplikasi streaming musik (Pexels/cottonbro studio)

Meski terlihat seperti sebuah solusi yang menarik, konsumen tetap harus jeli dalam memanfaatkan kemudahan itu. RAISED dalam salah satu video esai mereka menganalogikan subscription economy dengan strategi all-you-can-eat yang diterapkan sejumlah restoran untuk menarik pengunjung. Orang umumnya tergiur pilihan tak terbatas, tetapi sebenarnya tidak benar-benar memanfaatkan pilihan itu dengan optimal. Perhatikan saja penyedia tayangan over-the-top (OTT), seperti Netflix dan Prime Video. Mereka memikat pengguna dengan tayangan-tayangan yang beragam. Namun, kalau kamu teropong lebih dalam, banyak dari tayangan itu yang kualitasnya mungkin buruk. Alhasil, tak sedikit konsumen yang sebenarnya membayar mahal untuk nonton segelintir film dalam sebulan.

Ini berlaku pula buat streaming platform musik seperti YouTube Music, Apple Music, dan Spotify. Mereka menyediakan pilihan lagu yang hampir tak terbatas, tetapi sebenarnya kamu cuma mendengar sebagian kecil dari opsi itu. Kasarnya, pengguna dibikin tetap membayar untuk memutar ulang lagu-lagu yang itu-itu saja. Ini berbeda dengan masa lalu ketika kita bisa membeli kaset atau CD sekali dan dengan bebas memutarnya kapan saja, bahkan tanpa jaringan internet.

Penyedia produk/jasa langganan juga perlahan membangun ketergantungan konsumen. Ini terjadi pada penyedia software populer, macam Adobe Creative Cloud dan Microsoft Office, yang tahu kalau banyak pelanggan mereka yang bergantung pada perangkat lunak tersebut. Dependensi yang besar membuat mereka punya kuasa yang tak main-main. Jadi, gak heran kalau mereka menaikkan harga kapan saja.

Dampak lainnya ialah berkurangnya nilai sebuah barang/jasa, baik secara komersial maupun sentimental. Musik adalah produk yang hampir tak bernilai gara-gara streaming platform. Padahal, dulu, rilisan fisik merupakan salah satu sumber penghasilan terbesar musisi. Konsumen juga kehilangan kemampuan mengapresiasi sebuah produk. Nilai sentimental dari produk-produk digital tak bisa menyamai ikatan kita dengan produk fisik. Apalagi, untuk mengaksesnya, kita tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga dan waktu.

Langganan memang solusi yang memudahkan dan meringankan. Namun, itu kembali lagi pada seberapa besar dan sering kamu menggunakan produk/jasa yang dimaksud. Jangan sampai kamu salah kalkulasi dan boncos karena pengeluaran yang sebenarnya gak perlu-perlu amat.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Yudha ‎
EditorYudha ‎
Follow Us