Persagi Ungkap Peran Vital Ahli Gizi untuk Program MBG

- Ahli Gizi punya peran memastikan pemenuhan gizi dari perilaku makan, menentukan menu MBG, dan AKG untuk setiap penerima.
- Makanan harus lengkap komposisinya agar tidak menyebabkan masalah kesehatan pada anak-anak penerima manfaat.
- Zulhas memastikan profesi Ahli Gizi sangat penting dalam menjalankan program MBG, berbeda dengan pandangan Cucun Ahmad Syamsurijal.
Jakarta, IDN Times - Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi) mengungkapkan pentingnya kehadiran Ahli Gizi di setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Ahli Gizi wajib ada di SPPG demi memastikan menu Makan Bergizi Gratis (MBG) mengandung gizi seimbang dan aman untuk dikonsumsi penerimanya, terutama bagi anak-anak sekolah serta ibu hamil.
"Ada satu tenaga yang sangat strategis di SPPG itu adalah Ahli Gizi, ya. Kenapa? Karena pemenuhan gizi itu, sebenarnya kami, Ahli Gizi, itu mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang cukup mumpuni untuk bagaimana bisa melakukan pemenuhan gizi," ujar Ketua Umum DPP Persagi, Doddy Izwardy, ditemui usai rapat dengan Menko Bidang Pangan, Zulkifli Hasan di Kantor Kemenko Pangan, Jakarta, Rabu (19/11/2025).
1. Peran Ahli Gizi

Dalam program MBG, peran Ahli Gizi dijelaskan Doddy adalah untuk memastikan pemenuhan gizi dari perilaku makan. Hal itu lantaran pemberian MBG dilakukan sekali untuk anak-anak sekolah dari SD hingga SMA.
"Kita makan kan tiga kali, ya itu sudah memenuhi kecukupan gizi yang dianjurkan. (MBG) berarti 20 sampai 30 persen dari itu. Nah, kalau dilihat di sini akan berhasil yang dari tahun ke tahun kita ingin menggaungkan tentang yang namanya gizi seimbang itu," kata Doddy.
Selain itu, Ahli Gizi juga memiliki pengetahuan soal zat-zat gizi apa yang perlu dan tidak perlu ada dalam menu MBG. Selain itu, Ahli Gizi juga berperan menentukan Angka Kecukupan Gizi (AKG) bagi setiap penerima MBG yang berbeda-beda mulai dari anak SD, SMP, SMA, dan bahkan ibu hamil.
"Jadi pada saat lihat ini anak SD, berapa jumlah volume itu, kami harus menentukan. Apalagi, untuk kelompok yang rentan. Itu berbahaya benar. Pas ibu hamil dikasih, tahunya dia kena eklamsia. Gak tahu kita memberikan makanan yang mengandung pemicu darah tinggi. Jadi tidak bisa sebenarnya (kalau bukan Ahli Gizi profesional)," ujar Doddy.
2. Pentingnya penerapan gizi seimbang dalam menu MBG

Adapun gizi seimbang yang dimaksud adalah makanan bagi anak-anak Indonesia mesti lengkap komposisinya mulai dari ada sumber karbohidrat, protein, vitamin, dan mineral serta air.
"Jadi lengkap. Harus ditambah juga dengan aktivitas fisik dan juga diukur berat badannya. Jadi, itulah namanya gizi seimbang sehingga jangan sampai nanti anak-anak yang menerima manfaat dari SPPG ke sekolah-sekolah itu jadi penambahan berat badan, ya. Nah ini kan akan jadi masalah kesehatan," ujar Doddy.
3. Zulhas pastikan Ahli Gizi tetap diperlukan untuk MBG

Dalam rapat dengan Persagi, Menko bidang Pangan Zulkifli Hasan (Zulhas) memastikan profesi Ahli Gizi sangat penting dalam menjalankan program MBG. Penegasan itu disampaikan Zulhas usai rapat dengan Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi) di Kantor Kemenko Pangan, Rabu (19/11/2025).
"MBG tetap dan harus, wajib, perlu, profesi Ahli Gizi dalam penyelenggaraannya. Perlu Ahli Gizi karena harus diukur nanti (tingkat pertumbuhan penerima MBG)," ujar Zulhas.
Hal itu sekaligus membantah pernyataan Wakil Ketua DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal, yang viral lantaran menyebutkan bahwa Ahli Gizi tidak terlalu dibutuhkan untuk program MBG. Cucun menilai, fungsi pengawasan gizi dapat dijalankan oleh tenaga nonprofesional yang memperoleh pelatihan singkat, bahkan oleh lulusan SMA yang dinilai cakap mengelola kebutuhan dasar gizi.
Sikap tersebut bertolak belakang dengan pandangan banyak pihak yang memandang kehadiran ahli gizi sebagai komponen penting untuk memastikan standar keamanan pangan, kualitas nutrisi, serta pencegahan risiko kesehatan bagi penerima manfaat program.
Kontroversi semakin menguat karena pernyataan itu tercetus di tengah sorotan terhadap kasus keracunan pangan di sejumlah fasilitas SPPG, yang justru mempertegas urgensi kompetensi teknis dalam pengelolaan menu dan pengawasan higienitas.
Meski demikian, Cucun berargumen, proses pengambilan keputusan di tingkat legislatif memungkinkan perubahan nomenklatur dan standar tenaga gizi, sehingga membuka ruang bagi model pengawasan yang lebih fleksibel.















