Raksasa E-Commerce Amazon Diboikot Sepekan, Bakal Terguncang?

- Boikot Amazon selama seminggu diluncurkan setelah suksesnya economic blackout pada 28 Februari 2025.
- Pendiri gerakan, John Schwarz, menyerukan masyarakat untuk tidak berbelanja di Amazon dan layanan terkait sebagai bentuk protes terhadap keserakahan korporasi.
- Meskipun skeptis, Schwarz optimistis bahwa boikot ini akan memberikan dampak dan mengajak peserta untuk menghindari layanan Amazon lainnya.
Jakarta, IDN Times – Setelah sukses menggerakkan economic blackout selama 24 jam pada 28 Februari lalu, The People’s Union USA kini menyerukan boikot Amazon selama satu pekan mulai Jumat (7/3/2025).
Pendiri gerakan ini, John Schwarz, mengajak masyarakat untuk tidak berbelanja di Amazon maupun layanan yang dimilikinya, seperti Zappos, Ring, Whole Foods, Twitch, dan Prime Video.
“Amazon adalah salah satu perusahaan terbesar dan terkaya di dunia. Namun, ia menghancurkan usaha kecil, mengeksploitasi pekerjanya, dan menentang serikat pekerja sambil terus meraup miliaran dolar,” ujar Schwarz dalam unggahan video di Instagram pada Kamis (6/3/2025), dikutip dari CNN Internasional.
1. Dari gerakan sehari ke boikot sepekan

Gerakan boikot yang pertama, economic blackout pada 28 Februari 2025, mendapat respons luas di media sosial. Schwarz mengaku awalnya tidak mengira seruannya akan viral, tetapi dukungan dari tokoh seperti Stephen King, Bette Midler, dan Mark Ruffalo membuat aksi ini semakin meluas.
Di situs web The People’s Union USA, gerakan ini digambarkan sebagai upaya akar rumput untuk melawan keserakahan korporasi dan menuntut pertanggungjawaban pemerintah.
“Kami bukan partai politik atau protes biasa. Ini adalah gerakan masyarakat yang ingin mengambil kembali kendali atas ekonomi dan masa depan negara,” tulis kelompok tersebut.
Schwarz menyebut boikot Amazon sebagai “serangan yang diperhitungkan,” bukan sekadar aksi simbolis. “Penurunan penjualan sekecil apa pun sudah menjadi keberhasilan bagi kami,” tulisnya dalam sebuah unggahan pada 4 Maret.
2. Apakah boikot akan berdampak pada Amazon?

Seberapa besar dampak boikot ini terhadap Amazon masih menjadi pertanyaan. Pada 2024, perusahaan mencatat penjualan bersih sebesar 638 miliar dolar AS (sekitar Rp10.396 triliun), naik 11 persen dibanding tahun sebelumnya. Dengan skala bisnis yang besar, para analis skeptis bahwa aksi ini akan berdampak signifikan terhadap pendapatan perusahaan.
Momentum Commerce, perusahaan analitik data, melaporkan bahwa selama boikot 28 Februari, penjualan Amazon justru naik 1 persen dibanding rata-rata delapan hari Jumat sebelumnya. Peneliti utama Momentum Commerce, Andrew Waber, mengatakan bahwa minimnya dampak boikot terhadap penjualan Amazon tidak mengejutkan.
“Dengan pendapatan lebih dari 1 miliar dolar AS (sekitar Rp16,2 triliun) per hari, Amazon memiliki ketahanan tinggi terhadap gangguan jangka pendek,” ujarnya.
Meski demikian, Schwarz tetap optimistis. Ia meminta peserta boikot untuk tidak hanya berhenti berbelanja di Amazon, tetapi juga menghindari layanan lain seperti Prime Video, Whole Foods, hingga perangkat seperti Alexa dan Ring.
3. Boikot berlanjut ke perusahaan lain

Dilansir dari Cnet, boikot terhadap Amazon bukan satu-satunya aksi yang direncanakan The People’s Union USA. Mereka telah menyusun jadwal boikot terhadap beberapa perusahaan besar lainnya, antara lain:
- Nestle (21-28 Maret)
- Walmart (7-13 April)
- General Mills (21-27 April)
Boikot ekonomi skala luas pada akhir pekan 18 April 2025.
Di luar gerakan ini, aksi boikot juga mulai muncul di tempat lain. Pastor dan aktivis asal Atlanta, Jamal Bryant, misalnya, menyerukan aksi “puasa” dari Target selama 40 hari sebagai bentuk protes terhadap kebijakan perusahaan yang dianggap menjauh dari prinsip keberagaman dan inklusi.
Meskipun dampak finansial dari gerakan-gerakan ini masih diperdebatkan, Schwarz menilai bahwa aksi ini memiliki dampak lain.
“Setidaknya, ini membuat konsumen berpikir ke mana uang mereka akan dialokasikan,” ujarnya.