RI Potensi Pemimpin CCS dan Produk Rendah Karbon di Asia Pasifik

Jakarta, IDN Times - Direktur Eksekutif Indonesia CCS Center, Belladonna Maulianda, mengatakan Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS).
Belladonna menyebut kapasitas CCS penyimpanan karbon bawah tanah di Indonesia mencapai 600 giga ton. Potensi ini jauh melampaui kebutuhan emisi nasional Indonesia yang berada di angka 600 juta ton per tahun.
Hal itu disampaikan Belladonna dalam acara Indonesia Summit 2025, bertajuk Green Economy and Innovation for a Sustainable Future: Honoring Indonesia's Independence di The Tribrata Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Rabu (27/8/2025).
“Jadi sebenarnya di Asia Pasifik kita yang termasuk besar, ya. Bisa punya sekitar di bawah tanah itu 600 giga ton. Kita itu nasional emisi kita itu setiap tahunnya 600 juta ton. Jadi kalau kita menyimpan hanya nasional emisi kita, itu bisa buat 1.000 tahun. Jadi itu besar banget,” kata dia.
Dengan kapasitas sebesar itu, kata Belladonna, Indonesia dinilai memiliki posisi strategis untuk menarik investasi asing, khususnya dari negara-negara tetangga yang memiliki emisi besar, namun tidak memiliki lahan penyimpanan karbon memadai.
“Karena kita punya potensi yang besar banget di bawah tanah, kita tujuannya adalah mau menarik investor asing. Jadi dari negara-negara tetangga yang mereka emisinya besar, tapi tidak punya tempat penyimpanan di bawah tanah, kayak Singapura, Jepang, Korea. Jadi kita potensinya besar banget dan kita lokasinya sangat strategis, dibandingkan Australia itu yang cukup jauh,” kata dia.
Belladonna juga menyoroti pentingnya hilirisasi sebagai bagian dari strategi nasional dalam mendukung transisi energi. Menurutnya, program hilirisasi yang telah dimulai era Presiden ketujuh RI, Joko "Jokowi" Widodo dan dilanjutkan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, membuka peluang besar untuk pemanfaatan CCS.
“Kemudian, dari program presiden yang sebelumnya, dan program Prabowo yang sekarang adalah masih kuat di hilirisasi ya. Hilirisasi itu pengembangan produk turunan dari produk bahan baku, jadi turunannya minyak bumi, gas. Contohnya gas itu turunan produknya adalah pupuk. Minyak bumi contohnya plastik, kerangka mobil,” jelasnya.
Industri hilirisasi ini, kata Belladonna, akan menghasilkan emisi cukup besar. Karena itu, fasilitas CCS dapat menjadi solusi untuk menjadikan produk hasil hilirisasi sebagai produk rendah karbon yang bernilai lebih tinggi di pasar internasional.
“Di saat kita punya pabrik-pabrik atau fasilitas hilirisasi ini yang besar, itu adalah potensi untuk menjadi marketnya CCS ini, karena kita pabrik-pabrik ini akan menghasilkan emisi yang cukup besar. Lalu di saat pabrik ini menghasilkan produk dan emisinya di CCS-kan, nanti kita bisa klaim produk kita itu adalah low carbon product,” ucap dia.
Belladonna mencontohkan potensi peningkatan nilai jual pada produk seperti amonia yang diproses dengan CCS.
“Jadi apa bagusnya, low carbon product, misalnya kita sebut amonia kita CCS-kan emisinya, kita produksi amonia. Kita bisa bilang ini blue amonia. Jadi blue amonia ini bisa dijual dengan harga premium atau harga yang lebih mahal,” ujarnya.
Lebih lanjut, Belladonna menyampaikan, Indonesia juga berpeluang besar menjadi pemimpin regional di kawasan Global South dalam bidang manufaktur produk rendah karbon, sekaligus menjadi pusat penyimpanan karbon bagi negara-negara lain.
“Jadi Indonesia itu bisa jadi regional leader di Global South untuk low carbon product manufacturing,” katanya.
Selain itu, Indonesia juga tengah bersaing dengan Malaysia dan Timor Leste untuk menjadi pusat penyimpanan karbon (CCS global hub) di kawasan.
“Potensi lainnya itu adalah kita itu bisa menjadi CCS global hub. Jadi tempat penyimpanan untuk negara-negara tetangga. Jadi sekarang kita bersaing dengan Malaysia dan Timor Leste,” ujarnya.
Sebagai langkah konkret, kata Belladonna, Indonesia menjadi negara pertama di Asia Pasifik yang menandatangani perjanjian antarnegara terkait CCS dengan Singapura, yang dipimpin Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
“Jadi kita harus cukup berbangga hati, kita negara pertama di Asia Pasifik yang punya perjanjian antar negara dengan Singapura, ini dipimpin Kementerian ESDM. Kita telah menandatangani MoU di Juni. Insyaallah ini membuka lapangan pekerjaan, industri baru, dan meningkatkan GDP dari negara kita,” kata dia.
Indonesia Summit 2025, khususnya sesi Visionary Leaders, merupakan sebuah konferensi independen yang diselenggarakan IDN Times untuk dan melibatkan Generasi Millennial dan Gen Z di Tanah Air. Indonesia Summit 2025 mengusung tema "Thriving Beyond Turbulence, Celebrating 80's Years Independence", bertujuan membentuk dan membangun masa depan Indonesia dengan menyatukan para pemimpin dan tokoh nasional dari seluruh Nusantara.