Serikat Pekerja Tolak Penyeragaman Kemasan Rokok Tanpa Identitas Merek

Jakarta, IDN Times - Desakan atas penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek terus disuarakan. Beberapa pihak ingin ada evaluasi terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024), sekaligus membatalkan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes).
Ketua Umum Pengurus Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman-Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM - SPSI), Sudarto AS, mengatakan hingga saat ini belum mendapatkan respons berarti dari pemerintah, terutama Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam menanggapi berbagai regulasi destruktif seperti wacana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek yang tertera pada Rancangan Permenkes.
“Kami juga telah mengirimkan surat setiap tahun kepada presiden, aktif melakukan audiensi, dan berdialog untuk mencari solusi dari masalah-masalah yang dihadapi. Namun, ketika audiensi dilakukan, Kemenkes tidak hadir,” ujar Sudarto dalam keterangannya dikutip pada Kamis (7/11/2024).
1. Audiensi telah digelar Oktober lalu

Ia menjelaskan dalam audiensi yang dilakukan pada 10 Oktober 2024, pihak Kemenkes menyampaikan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek masih jauh untuk diterapkan.
"Namun, ternyata Kemenkes masih terus mendorong rencana aturan ini dan kami masih belum juga dilibatkan dalam pembahasannya. Kami khawatir Kemenkes tidak menjalankan komitmennya,” bebernya.
2. Regulasi bisa berdampak ke pekerja di sektor IHT

Dampak regulasi yang menekan industri hasil tembakau itu memiliki dampak besar bagi pekerja, terutama bagi mereka yang bergantung pada sektor ini sebagai sumber mata pencaharian utama.
Kebijakan fiskal maupun non-fiskal yang ketat, seperti kenaikan cukai yang tinggi, zonasi larangan penjualan, hingga larangan iklan luar ruang, mengakibatkan penurunan produksi dan berujung pada peningkatan angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
3. Ada peningkatan PHK di sektor sigaret kretek tangan

Menurut data RTMM, sektor Sigaret Kretek Tangan (SKT) yang mayoritas pekerjanya menerima penghasilan berdasarkan sistem borongan, sangat terpengaruh oleh stagnansi penghasilan dan pengurangan jam kerja.
Dalam 10 tahun terakhir, RTMM melihat adanya peningkatan angka PHK secara signifikan. Mayoritas pekerja yang tergabung di RTMM tersebar di 15 provinsi, 66 kabupaten/kota, dengan total anggota mencapai 227.000 pekerja.
"Namun, angka ini terus menurun akibat PHK yang disebabkan oleh regulasi yang terus menekan industri,” kata Sudarto.
Dengan desakan tersebut, RTMM berharap pemerintah segera menindaklanjuti permintaan buruh dan pekerja, sekaligus melakukan evaluasi yang komprehensif terhadap regulasi yang berdampak pada keberlangsungan hidup ratusan ribu pekerja yang menggantungkan hidup di sektor pertembakauan.