Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Trump Tekan PBB, Rencana Pajak Karbon Kapal Dunia Ditunda Setahun

ilusrasi kapal berlayar (pexels.com/Tom Fisk)
ilusrasi kapal berlayar (pexels.com/Tom Fisk)
Intinya sih...
  • Pemungutan suara di IMO berakhir dengan hasil tipis, yaitu 57 negara mendukung penundaan, 49 menolak, dan 21 abstain.
  • Rencana NZF akan menjadi kebijakan global pertama yang mengenakan biaya sebesar 380 dolar AS per ton emisi karbon dioksida (CO2) atau gas setara dari kapal yang melebihi batas emisi.
  • Negara kecil di Pasifik dan industri maritim merasa kecewa karena penundaan keputusan IMO memperpanjang ancaman bagi wilayah yang rentan terhadap badai dan kenaikan permukaan laut.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times – Organisasi Maritim Internasional (IMO), Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengatur regulasi pelayaran dunia, memutuskan menunda penerapan Net Zero Framework (NZF) selama setahun. Keputusan ini diambil setelah Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, mengancam akan memberlakukan sanksi, larangan visa, dan biaya pelabuhan bagi negara yang mendukung rencana pengurangan emisi tersebut.

Penundaan ini menjadi pukulan bagi upaya global mengatasi dampak perubahan iklim dari industri pelayaran yang mengangkut sekitar 90 persen barang dunia. Adapun Trump menyampaikan keberatannya melalui platform Truth Social pada Kamis (16/10/2025).

“Saya marah karena Organisasi Maritim Internasional akan memvoting di London minggu ini untuk meloloskan Pajak Karbon global. Ini adalah Penipuan Hijau Global Pajak pada Perkapalan,” ujarnya, dikutip dari Al Jazeera.

Ia menyerukan negara-negara agar menolak kebijakan itu, sementara AS dituding memakai taktik intimidasi perdagangan yang memengaruhi keputusan sejumlah negara dalam pemungutan suara.

1. Suara tipis di IMO akibat tekanan perdagangan AS

Pemungutan suara di IMO berakhir dengan hasil tipis, yaitu 57 negara mendukung penundaan, 49 menolak, dan 21 abstain. Usulan untuk menunda pembahasan selama setahun pertama kali disampaikan oleh Arab Saudi, sementara beberapa negara seperti Argentina dan Bahama berbalik arah karena tekanan dari Washington.

Rusia dan Arab Saudi termasuk di antara pihak yang menentang penerapan NZF secara langsung. Delegasi Rusia menggambarkan proses pembahasan itu sebagai kekacauan. Sekretaris Jenderal IMO, Arsenio Dominguez menyampaikan, kekecewaannya atas hasil akhir tersebut.

“Sekarang adalah waktu untuk benar-benar melihat kembali bagaimana kita menghadapi pertemuan ini. Permohonan saya kepada Anda adalah untuk tidak mengulangi cara kita menghadapi pertemuan ini untuk diskusi di masa depan,” katanya, dikutip dari The Guardian.

Keputusan ini membuat jadwal implementasi pada 2028 berpotensi mundur dan dapat memaksa revisi rencana besar IMO, sehingga menambah kerumitan upaya global menuju dekarbonisasi pelayaran.

2. Rincian rencana pajak karbon global NZF

ilustrasi pajak (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)
ilustrasi pajak (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)

Rencana NZF akan menjadi kebijakan global pertama yang mengenakan biaya sebesar 380 dolar AS (setara Rp6,3 juta) per ton emisi karbon dioksida (CO2) atau gas setara dari kapal yang melebihi batas emisi. Skema ini dirancang untuk mendorong penggunaan bahan bakar ramah lingkungan seperti amonia dan metanol. Targetnya adalah memangkas emisi gas rumah kaca dari pelayaran hingga 20 persen pada 2030 dan mencapai nol bersih pada 2050.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB, Antonio Guterres menilai keputusan menunda rencana ini sebagai kemunduran besar.

“Ini adalah kesempatan yang terlewatkan bagi negara-negara anggota untuk menempatkan sektor pelayaran pada jalur yang jelas dan kredibel menuju emisi nol bersih,” ujarnya.

Berdasarkan rancangan IMO, pajak karbon tersebut dapat menghasilkan 10 miliar dolar AS (setara Rp165,7 triliun) per tahun untuk pendanaan bahan bakar bersih dan modernisasi pelabuhan, sementara negara-negara kecil berharap dana itu juga dialokasikan untuk menghadapi dampak perubahan iklim seperti banjir dan kenaikan permukaan laut.

3. Negara kecil dan industri maritim soroti ketidakpastian global

ilustrasi kapal (pexels.com/Thomas Parker)
ilustrasi kapal (pexels.com/Thomas Parker)

Menteri Perubahan Iklim Vanuatu, Ralph Regenvanu mengecam penundaan keputusan IMO karena dianggap mengabaikan urgensi krisis iklim.

“Ini tidak dapat diterima mengingat urgensi yang kita hadapi sehubungan dengan perubahan iklim yang semakin cepat. Tapi kami tahu bahwa kami memiliki hukum internasional di pihak kami dan akan terus berjuang untuk rakyat kami dan planet ini,” katanya.

Negara-negara kecil di Pasifik, termasuk Vanuatu, kecewa karena keputusan ini memperpanjang ancaman bagi wilayah yang rentan terhadap badai dan kenaikan permukaan laut.

Kamar Pelayaran Internasional (ICS) juga menilai hasil ini menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku industri.

“Industri membutuhkan kejelasan untuk dapat melakukan investasi,” ujar Sekretaris Jenderal ICS, Thomas Kazakos, dikutip dari BBC.

Sementara itu, anaïs Rios dari Seas at Risk, organisasi lingkungan internasional, menilai perdebatan di IMO menunjukkan lemahnya komitmen global.

“Emosi telah memuncak minggu ini di IMO, dengan aliansi yang sebelumnya sangat ambisius mulai goyah dan strategi mengalahkan akal sehat. Tidak ada satu bendera pun yang seharusnya menentukan arah iklim dunia,” katanya.

Ia mendorong negara-negara agar kembali dengan dukungan lebih kuat tahun depan, demi menjaga momentum dekarbonisasi sektor pelayaran.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Jujuk Ernawati
EditorJujuk Ernawati
Follow Us

Latest in Business

See More

1 Tahun Prabowo, Rp1,7 Triliun Dana Korupsi Kembali ke Kantong Negara

18 Okt 2025, 21:43 WIBBusiness