WANSUS: Chickin, Startup Agritech Punya 45 Juta Ekor Ayam

- Chickin Indonesia mendapat apresiasi khusus dari Presiden Jokowi karena berhasil mengembangkan sistem smart farming peternakan ayam dengan dukungan IoT.
- Chickin masuk dalam daftar entrepreneur 30 & under 30 versi Majalah Forbes pada 2022, diakui sebagai startup teknologi unggas pertama di Asia Tenggara.
Jakarta, IDN Times - Chickin Indonesia menjadi salah satu perusahaan rintisan atau startup yang memiliki progres paling moncer sejak pertama kali berdiri hingga sekarang.
Tak heran jika kemudian Presiden Joko “Jokowi” Widodo memberikan apresiasi khusus kepada Chickin saat memberikan sambutan dalam acara HUT Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) ke-52, Juni silam.
Secara khusus, Jokowi menyebut Chickin sebagai salah satu contoh perusahaan rintisan yang inovatif karena berhasil mengembangkan sistem smart farming dengan dukungan internet of things (IoT) untuk peternakan ayam.
“Saya lihat sudah ada di HIPMI, Chickin Indonesia, smart farming peternakan ayam yang awalnya hanya seribu ekor sekarang sudah ada 45 juta ekor ayam," tutur Presiden Jokowi dalam sambutannya.
Di sisi lain, Chickin pernah masuk dalam daftar entrepreneur 30 & under 30 kategori Tech Enterprise versi Majalah Forbes pada 2022 lalu. Chickin sendiri adalah startup yang mengembangkan aplikasi Smart Farm Micro Climate Controller sebagai solusi untuk peternakan ayam agar lebih produktif dan efisien.
Chickin dinilai Forbes sebagai startup teknologi unggas pertama di Asia Tenggara, dan berdampak pada peningkatan pendapatan bagi ratusan peternak unggas.
Untuk lebih dalam mengetahui tentang Chickin, IDN Times berkesempatan berbincang secara khusus dengan salah satu Founder Chickin Indonesia, Tubagus Syailendra. Berikut ini wawancara khusus (wansus) IDN Times dengan pria yang karib disapa TB tersebut.
Bagaimana kisah Chickin sejak dibentuk pertama kali hingga sekarang?

Kalau bicara kisah sebenarnya cukup panjang ya. Jadi memang Chickin sendiri itu awalnya dimulai karena kita dulu adalah peternak, kita peternak ayam. Mungkin waktu itu 2017, waktu itu ketemu sama teman-teman di kampus, saya sama Co-Founder Ashab Ahmad itu ketemu di (Universitas) Brawijaya Malang.
Terus karena kita punya interest di bisnis bareng-bareng, ya udahkita bikin kandang ayam bareng. Bikin kandang, jadi peternak dan pas berjalan 2020, kita udah jalan 3 tahun, kita emang udah punya network, teman-teman peternak. Nah, kita mulai bangun komunitas peternak tuh di situ.
Sampai waktu ketika itu kita terdampak COVID-19, startup tuh dunianya lagi pada lesu, terus kita melihat ada opportunity bahwa food security itu jadi salah satu hal yang difokuskan oleh semua lapisan masyarakat, makanya kita ngeliat ini, kita jadiin startup aja, terus juga ada beberapa teman-teman startup lain yang memang bergerak di bidang pangan dan ini real sector business gitu, bukan startup yang full teknologi, tapi kita tetap enable bisnis untuk sebuah industri yang sudah ada seribuan tahun lalu.
Semua orang udah beternak ayam dari ribuan tahun lalu, udah makan ayam. Jadi, ya udah deh, ini kita kasih teknologi gimana caranya bisa kasih efisiensi dan membantu para peternak, awalnya gitu.
Bagaimana Chickin menghadapi masa-masa pandemik COVID-19?
Kita waktu pandemi itu melihat banyak restoran banyak yang tutup, tapi sebenarnya konsumsinya tuh gak berkurang karena orang tetap makan, cuma bedanya gak ke restoran aja.
Tapi kan kalau ngomongin suplainya, proteinnya, ayamnya tetap dibutuhkan, dan kita melihat itu satu peluang. Terus yang kedua, karena kita di sini dulu peternak kecil, dulu ingat banget dari 1.000 ekor, naik ke 5.000, ke 10 ribu, ke 30 ribu, kita tuh tahu caranya gimana bisa membuat peternakan ini efisien karena dulu waktu di kampus, kita ini mahasiswa yang memang punya inisiatif buat riset dan pengembangan. Jadi bukan cuma beternak aja kayak bapak-bapak beternak gitu, yang penting dapat duit, terus selesai.
Kita ada inisiasi untuk create something different untuk sektor. Jadi ya udah ada riset, kita bikin technology, proven gitu makanya kita ingin terapkan ini ke banyak kandang-kandang lainnya karena kita melihat waktu COVID-19, itu harga juga fluktuatif banget, dan tantangannya itu adalah gimana caranya bisa nge-improve production efficiency-nya, gimana caranya biar lebih efektif dan efisien secara harga ayam karena ada hal-hal yang bisa kita perbaiki dari sisi produksi.
Dari situ akhirnya kita coba jalan dan alhamdulillah diterima oleh masyarakat, 2020 langsung kita deploy apps kita, IOT kita ke banyak kandang akhirnya. Itulah starting point kita kenapa kita ingin lanjutin ini sampai saat ini.
Apakah awal bisnis Chikin di Malang?

Awalnya bukan di Malang, awalnya bisnis Chickin ini di Klaten. Jadi dulu kita itu kan jauh ya Jawa Timur ke Jawa Tengah. Itu dari zaman kuliah, kita tuh udah bolak balik.
Jadi Jumat sore kita udah selesai kelas, semua naik kereta atau bus, biasanya ke Klaten. Dari Klaten, biasanya hari Minggu pas besoknya mau kuliah lagi, balik lagi ke Malang. Jadi pulang pergi.
Awalnya karena dulu di Klaten kita dapat tanah murah banget. Awalnya dari situ dan waktu itu juga kebetulan kita melihat dari sisi logistik. Kalau logistiknya di Jawa Tengah, itu kita bisa suplai ayam ke Jawa Barat dan Jawa Timur.
Kalau kita dulu kan sebenarnya peternakan ayam terbesar di Jawa Barat ya, tapi kalau kita di Jawa Barat aja untuk nge-reach market di daerah Jawa Timur itu agak terlalu sulit karena kita dulu base-nya di Jawa Timur, makanya Jawa Tengah deh biar sama-sama bisa dua-duanya.
Apa yang membuat Chickin spesial sebagai sebuah startup sehingga mendapatkan pujian dari Presiden Jokowi?
Jujur bingung juga sih kalau yang ditanya spesialnya apa. Mungkin waktu itu karena melihat pertumbuhan kali ya karena kan Pak Jokowi sangat concern sama ketahanan pangan, dan yang kedua pengusaha nasional gitu, kan kita di sini memang asli pengusaha Indonesia, dan menyelesaikan masalahnya di Indonesia.
Waktu itu juga kita ini adalah peternak kecil yang mana cuma punya 1.000 ekor, dan tiba-tiba sekarang udah 45 juta ekor, yang kita manage dalam ekosistem. Jadi sebegitu cepatnya dalam waktu 4 tahun belakangan ini.
Apa saja upaya yang dilakukan Chickin dalam menjaga ketahanan pangan di Indonesia?

Ya jadi kita di sini membantu peternak ayam dari tiga akses. Pertama, akses produksi seperti kita kasih teknologi untuk mengefisienkan ongkos pakannya biar hemat. Yang kedua kita kasih pakannya juga sampai bibitnya dan vitaminnya, itu produksi.
Kedua, kita kasih akses permodalan. Nah, financing access ini gimana caranya peternak beli pakan yang tadi saya bilang itu dengan Buy Now Pay Later, jadi gak usah pakai modal, peternak tinggal duduk manis, kita kasih biaya sehingga peternak dapat pakan langsung tanpa harus bayar.
Ketiga, market access. Jadi, setelah kita kasih modal, waktu panen kita beli lagi hasil panennya, 100 persen kita jual langsung ke pasar dengan harga yang lebih tinggi. Jadi, itu yang kita coba manage, dan yang lebih penting adalah karena kita kasih teknologi itu membuat peternak dapat nilai untung yang lebih besar daripada sebelumnya. Kenapa? Karena pertama, ongkos pakannya kita reduce, kita kurangi, yang tadinya bayar pakan mahal, kok sekarang gak terlalu mahal karena gak terlalu terbuang pakannya.
Yang kedua, dari sisi kematian, ayam jadi lebih efektif, gak terlalu banyak yang mati sehingga untungnya jadi lebih banyak. Yang ketiga, karena kita menjual ayam itu bukan langsung ke pasar, tapi kita proses kembali di dalam ekosistem hub kita, itu membuat harga jualnya makin tinggi karena kita jual dengan added value. Kita package, kita potong dulu, kita gramasi dulu bahkan kita marinasi juga.
Jadi itu yang membuat peternak mempunyai harga jual lebih tinggi dan kita membantu peternak bisa jual from farm to table sehingga gak ada lagi nih istilah-istilah ayam itu layer-nya panjang dipotong-potong gara-gara banyak middleman-nya atau mungkin gak ada transparansi datanya sehingga harga jualnya pun jadi lebih tinggi.
Apa saja kesulitan yang dihadapi untuk membuat peternak mau menggunakan teknologi dari Chickin?

Beruntungnya banyak peternak ayam ini udah mulai tech savvy ya. Sudah bisa mengalami teknologi, memang yang jadi kendala adalah membuat mereka itu konsisten menggunakan teknologinya.
Solusi dari kita karena teknologi kita itu bukan hanya sebagai pelengkap atau misal jadi sebagai sarana prasarana aja, tapi kita membantu peternak untuk mendapatkan nilai tambah tadi, omzet dan profit yang lebih tinggi, itu yang ngebuat akhirnya peternak kayak bilang, 'wah gue kalau gak pakai alat ini, gak mungkin dapat profit yang lebih tinggi'.
Jadi ada yang mendorong mereka secara income, sehingga mereka harus dipaksa untuk jadi tech savvy karena kalau dia gak menggunakan teknologinya, susah. Sebenarnya susah sih gak ya, malah gampang karena ini teknologi sudah biasa dipakai oleh peternak, cuma kita mau coba membuat ini jadi lebih efektif dengan automasi dan digitalisasi.
Berapa peternak dalam ekosistem Chickin saat ini?
Kita itu sekarang ada sekitar 12 ribu kandang atau sekitar 55 ribu peternak. Ini gak cuma di Jawa, di luar Jawa juga banyak, di Kalimantan, Sulawesi, Sumatra ada semua. Mungkin Papua yang belum ke-reach karena di sana jarang ada peternakan ayam.
Bagaimana perkembangan bisnis Chickin sepanjang tahun lalu? Apa saja target yang berhasil dicapai?

Alhamdulillah tahun lalu itu kita cukup signifikan sekali tumbuhnya. Tahun 2023, kita kerja sama dengan 11 pabrik pakan, dan 11 financial institution untuk penyaluran modal dan mungkin sebelumnya itu hampir Rp1 triliun kita sudah menyalurkan modal ke 50 ribuan peternak, dan 12 ribu kandang, serta membantu untuk memproduksi 45 juta ekor ayam.
Alhamdulillah sudah lumayan baik, kita tercapai sih semuanya. Penyebabnya, mungkin gini ya, karena kita startup yang sudah profitable, jadi kita gak bakar duit, jadi beda sama startup lain, fundraising, burn money terus ketika mau raise ga ada lagi duit, akhirnya efisiensi, lay off dan lainnya.
Kita bersyukurnya punya tesis kalau kita ini harus jadi perusahaan yang sehat dan karena unit economics atau nilai jual yang kita kasih di market ini ada spread margin yang real, itu membuat kita gak perlu takut untuk adanya burning. Terus mungkin yang bisa di-highlight lagi selain profitable, kita bisa membantu peternak itu bisa men-double profit mereka. Ini yang sebenarnya jadi core values kita, ketika dia dapat income dua kali lipat, itu kan sebenarnya jadi game changer buat dia dan keluarganya, dan itu membuat kita cukup merasa semangat lagi untuk membantu banyak peternak di Indonesia.
Apa yang dilakukan Chickin untuk mengajak peternak ayam bergabung dalam ekosistem?

Kita biasanya ekosistem itu komunitas ke komunitas, jadi tiap komunitas di daerah ada kelompok tani, kelompok ternak, kita langsung engage sama kelompoknya.
Dari komunitas itu kita pakai word of mouth. Jadi bisa dibilang cukup efisien. Tim sales kita itu di lapangan paling cuma berapa orang, gak sampai 10 orang jadi efektif banget.
Malah sekarang banyak peternak tuh waiting list untuk kita kontrak, kan sekarang panelnya peternak, kita kasih apps, kita gratis dulu nih, kita pasang IOT kan, terus kita charge. Setelah kita charge, kita tahu nih, ukur ada berapa peningkatan income mereka. Nah setelah itu baru kita mulai untuk kontrak. Sekarang waiting list nih orang pada nungguin, kapan kita kontrak, malah kita yang jadinya seleksi mana yang kita kontrak gitu.
Apa saja target Chickin tahun ini, dan bagaimana strategi Chickin mencapai target tersebut?

Target kita tahun ini sebenarnya pengen ada beberapa strategic acquisition, kita ingin acquire beberapa aset, dan kita ingin triples hub kita. Kita punya hub di luar pulau untuk stock storage, sehingga kita bisa distribusi ke UMKM yang membutuhkan ayam di luar pulau karena ternyata di Indonesia ini tuh belum merata orang makan protein, khususnya ayam karena ayam itu masih jadi hal yang mewah.
Orang-orang itu dulunya baru banget shifting dari makan protein utamanya tahu-tempe, sekarang sudah mulai ke ayam, apalagi banyak restoran ayam geprek lokal yang naik daun. Brand-brand baru ini sebenarnya jadi penetrasi yang luar biasa untuk peningkatan konsumsi ayam, tinggal gimana caranya membuka akses bukan cuma terpusat di Jakarta.
Jakarta banyak kita makan ayam geprek, ayam goreng gampang di Jakarta, Bandung, Surabaya, tapi kalau ke daerah-daerah, apalagi di Manokwari, di Pontianak, itu susah.
Makanya kita ingin coba bikin akses. Nah, kita ingin targetnya sih ada 18 hub yang ada di Indonesia tahun ini. Sekarang masih enam dan cold storage kita ada di Kalimantan, ada di Sulawesi, Morowali, Kalimantan kayak di Pontianak, Balikpapan ada juga, di Batam juga sudah ada. Jadi sebenarnya ada beberapa di kota-kota yang tier 2, nah kita pengen menjangkau ke tier 3 sekarang.
Apa saja dukungan yang diberikan pemerintah kepada Chickin sejak pertama kali dirintis hingga sekarang?
Sebenarnya belum ada sih kalau dukungan saat ini ya, tapi kita punya harapan sebenarnya, yakni pemerintah jadi mitra kita untuk menjaga stabilitas harga ayam, kenapa? soalnya harga ayam ini tuh fluktuatifnya parah. Pagi, siang, sore, malam bisa berubah terutama yang hidup.
Itu diakibatkan oleh supply-demand yang gak bisa dikontrol. Nah, kadang pemerintah itu kan yang punya hak akses untuk impor bibit ayam, induknya bibit ayam itu, tapi ternyata pemerintah pun ketika melakukan impor kadang masih tidak melakukan riset yang akurat sehingga ada oversupply.
Ketika oversupply, akhirnya solusinya adalah untuk dibakar bibitnya, dimusnahkan. Jadi ada ketidakseimbangan dari sisi supply dan demand. Nah, butuh peran teknologi, sehingga bisa ngasih visibilitas yang lebih baik untuk para pemerintah dan juga para ternak.
Soal pembiayaan juga jujur kita belum merasa terlalu terbantu sih karena masih mahal. Malah kita melihat kayaknya rate di luar cost of fund dari international fund lending itu lebih murah daripada di dalam negeri, karena mungkin Indonesia profile risk-nya lebih ribet.
Dengan perkembangan yang begitu pesat, apakah Chickin ada rencana IPO?

Pasti, pasti kalau rencana ke depan sebenarnya let the market decide, ya. Kita kayak ada rencana tapi kita nggak mau terlalu mengkotakkan sih karena tujuan utama kita adalah ngasih banyak impact ke banyak peternak, sama perbaiki industri protein, dan unggas.
Apa tips dari Tubagus Syailendra dalam merintis sebuah perusahaan hingga menjadi besar seperti Chickin?

Saya sih melihatnya begini, setiap ada perubahan momentum pasti ada perubahan tren dan mindset. Jadi kayak sekarang ini, kan sudah shifting banget tuh mindset, tren, sudah bukan lagi perusahaan yang mengejar hyper growth tapi mengejarnya profitabilitas, mengejarnya real sector-nya, real value-nya, dan sudah bukan lagi zamannya full tech, tapi sekarang sudah ada kombinasi antara tech dan real sector.
Apalagi Indonesia ini belum semaju Amerika. Amerika sudah ngomongin AI, kita tuh masih jauh gitu. Kita cuma jadi penonton aja, kita sekarang ngeliat apa masalah depan mata kita, selesaikan masalahnya. Jadi gak perlu harus jauh-jauh mikirin yang terlalu ngawang gitu ya.
Terus sama mungkin jangan banyak alasan sih. Kadang kita setiap memulai suatu hal, bukan cuman untuk jadi pebisnis atau kita jadi entrepreneur, jadi professional pun mesti punya mentality yang resilent gitu. Jadi ketika ada masalah, hadapi terus, cari solusi, dan pasti akan selalu ketemu.
Jadi, misalkan kalau mentok nih, kita coba cari opportunity lain, kita coba selalu fleksibel dan adaptif. Sama halnya dengan kita kerja kan, kalau kerja kita kaku dan gak bisa relevan, kita akan ketinggalan. Jadi mentalitas itu yang perlu ada untuk semua Gen-Z atau teman-teman yang masih muda karena kita juga dulu starting from scratch banget.
Apalagi saya dulu personal, benar-benar bisnis dari zaman SMP karena keterbatasan, karena butuh uang awalnya, jadi bukan karena gaya-gayaan, butuh duit, dan memang harus dagang buat bayar sekolah, sama biaya hidup. Jadi karena ada dorongan tadi, sehingga membuat saya punya privilege dari sisi waktu, dan kesempatan yang lebih awal.
SMP udah mulai dagang dan ketika kuliah, ya sudah memang pengennya jadi pebisnis dengan segala risikonya. Jadi, jangan banyak alasan, maju aja, dan ketika ada masalah keep resilience.