Kewenangan Macroprudential VS Microprudential Perlu Ditetapkan Jelas

Jakarta, IDN Times - UMKM memiliki peran yang besar dalam perekonomian Indonesia, baik dari sisi kontribusinya terhadap PDB maupun dari sisi penyerapan tenaga kerja. Oleh karena itu, upaya untuk memperkuat UMKM perlu ditingkatkan.
Termasuk di antaranya perlu ada regulasi yang mengatur agar industri perbankan meningkatkan porsi penyaluran kredit kepada UMKM atau meningkatkan inklusi perbankan. Hal tersebut dibahas dalam Focus Group Discussion: Pengaturan Inklusi Perbankan: Macroprudential VS Microprudential yang digelar IDEATE, Senin (22/9/2021).
1. Porsi penyaluran kredit perbankan kepada UMKM secara keseluruhan (industri) perlu ditargetkan
FDG tersebut mengundang banyak narasumber, di antaranya Prof Selamet Riyadi, Guru Besar Universitas Budi Luhur; Rimawan Pradiptyo, PhD, FEB UGM; Dr. Piter Abdullah Redjalam, CORE Indonesia; Perbanas, Dr Aviliani, Indef, Perbanas; Yanuar Rizky, Aspirasi Indonesia Research Institute; Agus Herta Sumarto, Indef; Hadi Purnomo, STIM IMMI Endri, Universitas Mercu Buana yang juga membahas soal hal berikut.
Kebijakan mendorong perbankan menyalurkan kredit kepada UMKM hendaknya bersifat industri bukan individual bank. Porsi penyaluran kredit perbankan kepada UMKM secara keseluruhan (industri) perlu ditargetkan mencapai persentase tertentu, dengan tetap mempertimbangkan perkembangan dan permintaan kredit dari UMKM.
2. Penyaluran Kredit UMKM butuh sinergi antar otoritas/lembaga

FDG tersebut juga menyarankan soal penyaluran kredit UMKM (inklusi perbankan) hendaknya tidak hanya didorong dari sisi supply (bank), tetapi juga dari sisi demand, yaitu dalam bentuk pengaturan, pembinaan, pengembangan, dan pendampingan UMKM. Oleh karena itu, sinergi antarotoritas/lembaga sangat diperlukan.
Dalam pengaturan perbankan, guna menghindari tumpang tindih aturan antarotoritas yang berpotensi membingungkan industri, perlu ditetapkan secara jelas batas-batas kewenangan macroprudential dan microprudential.
3. Aturan soal rasio pembiayaan inklusif makroprudensial (RPIM) yang dikeluarkan Bank Indonesia

Aturan soal rasio pembiayaan inklusif makroprudensial (RPIM) yang dikeluarkan Bank Indonesia juga didiskusikan dalam FDG ini. Guru Besar Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Budi Luhur, Selamet Riyadi, menilai bahwa peraturan itu tidak melihat kondisi di lapangan.
“Kita tahu kan UMKM kita seperti apa sekarang. Harusnya dilihat juga. Sebab, semua bank berbeda-beda kemampuannya. Kalau mau yang fokus pada mikro barang kali gak masalah,” tutur Selamet.
Selamet melanjutkan bahwa hal itu sangat dapat menjadi masalah besar apabila difokuskan pada bank yang bergerak di korporasi sehingga nanti bisa terjadi jual beli kredit.
“Ini menjadi tidak baik lagi untuk dunia perbankan. Pertama, masalah kelembagaan pembuat peraturan. Kedua, masalah PBI yang terakhir,” jelas Rahmat.
Untuk diketahui, PBI No. 23/13/PBI/21 tentang RPIM (Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial) berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3 RPIM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap dengan ketentuan:
a. Paling sedikit sebesar 20 persen pada posisi akhir bulan Juni 2022 dan posisi Desember 2022;
b.Paling sedikit sebesar 25 persen pada posisi akhir bulan Juni 2023 dan posisi akhir bulan Desember 2023; dan
c. Paling sedikit sebesar 30 persen sejak posisi akhir bulan Juni 2014.
3. Pengaturan microprudential merupakan kewenangan OJK

FDG tersebut juga mendiskusikan bahwa pengaturan microprudential yang bertujuan untuk mengurangi risiko industri keuangan secara keseluruhan (systemic risk) hendaknya tidak didominasi satu lembaga. Semua lembaga seharusnya berkontribusi menjaga kestabilan makro dengan memanfaatkan ruang pengaturan macroprudential.
Sementara di sisi lain, sesuai undang-undang, pengaturan microprudential yang menjaga individual bank (usaha jasa keuangan) merupakan kewenangan OJK. (WEB)