Senat AS Ubah RUU Pajak Trump, Picu Ketegangan dengan DPR

- Senat AS mengusulkan pemotongan pajak permanen untuk bisnis dan pengeluaran penuh untuk riset dan investasi modal.
- Pemangkasan batas SALT oleh Senat memicu perlawanan anggota DPR dari negara bagian dengan pajak tinggi.
- Senat menargetkan pengesahan RUU sebelum 4 Juli, namun perbedaan dengan DPR memperumit jalan.
Jakarta, IDN Times - Senat Amerika Serikat (AS) yang dikuasai Partai Republik mengajukan perubahan besar terhadap RUU pemotongan pajak dan belanja Presiden Donald Trump pada Senin (16/6/2025). Usulan ini menimbulkan konflik dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang telah menyetujui versi awal RUU tersebut, mempersulit upaya mencapai kesepakatan sebelum tenggat 4 Juli 2025.
Perbedaan ini mencerminkan prioritas yang tidak sejalan di internal Partai Republik. Senat menekankan efisiensi anggaran dan permanennya sejumlah pemotongan pajak, sementara DPR fokus pada janji kampanye Trump seperti pembebasan pajak atas tip dan lembur. Perselisihan ini dapat menghambat pengesahan RUU yang mencakup perpanjangan pemotongan pajak 2017 serta peningkatan anggaran militer dan keamanan perbatasan.
1. Perubahan utama senat
Senat mengusulkan pemotongan pajak permanen untuk bisnis, termasuk pengeluaran penuh untuk riset dan investasi modal. Namun, batas pemotongan pajak negara bagian dan lokal (SALT) dipangkas menjadi 10 ribu dolar AS (Rp162,6 juta—jauh di bawah 40 ribu dolar AS (Rp650,6 juta) versi DPR. Pemangkasan ini menuai penolakan dari anggota DPR negara bagian dengan pajak tinggi.
“Kami tidak akan mendukung RUU yang merugikan konstituen kami,” ujar seorang anggota DPR dari New York, dikutip Reuters.
Senat juga ingin membatasi pembebasan pajak atas pendapatan tip dan lembur. Jika DPR menetapkan ambang batas hingga 160 ribu dolar AS (Rp2,6 miliar) per tahun, Senat mengusulkan pengurangan manfaat untuk menekan defisit. Komite Keuangan Senat menyebut ketentuan ini masih dinegosiasikan, untuk memberi ruang kompromi, dilansir Bloomberg.
Subsidi kendaraan listrik dan energi hijau yang diperkenalkan di era Presiden Joe Biden juga menjadi target penghapusan lebih cepat oleh Senat. Kebijakan ini memicu penurunan saham sektor energi terbarukan.
“Penghapusan subsidi ini akan menghambat inovasi energi bersih,” kata Senator Demokrat John Hickenlooper, dikutip Reuters.
2. Konflik dengan DPR
Pemangkasan batas SALT oleh Senat memicu perlawanan anggota DPR dari negara bagian dengan pajak tinggi.
“SALT adalah garis merah bagi kami. Senat harus paham pentingnya ini bagi konstituen kami,” tegas Ketua DPR Mike Johnson, dilansir NBC News.
Perbedaan tajam juga muncul terkait defisit. Versi DPR diperkirakan menambah utang sebesar 2,4 triliun dolar AS (Rp39 kuadriliun) dalam satu dekade, menurut Kantor Anggaran Kongres. Senator konservatif seperti Rand Paul menuntut pemangkasan belanja lebih besar.
“Kami tidak bisa terus menambah utang tanpa batas,” ujar Paul, dikutip USA Today.
Senat juga mencabut pasal “No Rogue Rulings Act” dari versi DPR yang membatasi hakim mengeluarkan perintah awal terhadap kebijakan federal. Sebagai gantinya, Senat mengusulkan kewajiban obligasi bagi penggugat.
“Ini tetap membatasi hak publik untuk menantang pemerintah,” kata Pemimpin Minoritas Senat Chuck Schumer, dilansir HuffPost.
3. Tantangan menuju pengesahan
Senat menargetkan pengesahan RUU sebelum 4 Juli, namun perbedaan dengan DPR memperumit jalan. Pemimpin Mayoritas Senat John Thune mengakui tantangan ini, meski tetap optimis.
“Kami akan menemukan jalan tengah yang bisa diterima kedua pihak,” ujar Thune, dikutip Fox News. Dengan mayoritas tipis, ia hanya bisa kehilangan tiga suara dari partainya.
Beberapa senator seperti Josh Hawley dan Susan Collins menolak pemotongan Medicaid versi DPR yang dinilai terlalu ekstrem.
“Kami harus melindungi warga berpenghasilan rendah,” tegas Hawley, dikutip CBS News. Senat kini mempertimbangkan penyesuaian untuk mengurangi dampaknya.
Sementara itu, pajak retaliasi terhadap investor asing tetap dipertahankan dalam versi Senat, namun pelaksanaannya ditunda hingga 2027. Kesamaan dengan versi DPR menunjukkan adanya titik temu. Meski begitu, tanpa kompromi menyeluruh, RUU berisiko gagal disahkan, memicu kekhawatiran akan berakhirnya pemotongan pajak 2017.