[PUISI] Seekor Pungguk

kaulah bara yang akan tetap
kugenggam, meski lepuh seakan
merangkak ke luar dari sela-sela
jemari membakar menuju
punggung tangan
kaulah gigil yang akan tetap
kudekap, meski guguran awan
jatuh basah menjamah lekuk
tubuhku dari ujung rambut
hingga jari kaki, perlahan
membiru dan beku
kaulah jalan panjang tanpa
penerangan, rumah bagi batu
kerikil serta ranting-ranting
kayu—rumah dari segala
kemasygulan yang tak
pernah tiba di ujung
kaulah wajah bulan itu
yang terjatuh di sudut kolam,
sedangkan aku hanya seekor
pungguk, termenung menyaksikan
kecantikanmu yang mengambang
Lampung, 2020
This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.