Aku ini rebusan lama,
yang kau taruh pelan di api kecil,
dalam panci retak di sudut dapur
tempat paling jarang kau singgahi
kecuali saat dunia lainmu mulai hambar.

Kau bilang belum waktunya,
padahal waktu hanya berjalan bagimu.
Aku tetap di sana,
mengembun rindu di tutup kaca,
mengumpulkan harap dari uap
yang tak pernah jadi santapan.

Aku tak dibuang,
tetapi juga tak dipilih.
Dijaga agar hangat,
tetapi tak pernah cukup penting
untuk jadi sajian utama
di meja yang diduduki orang lain.

Jika suatu hari kau kembali,
mencari hangat yang pernah melekat,
kau akan temukan hanya abu
dan sisa getir yang membatu
di dasar yang pernah kubiarkan
mendidih demi namamu.