Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Gadis di Bawah Atap

ilustrasi gadis kecil (unsplash.com/@carolinehdz)
ilustrasi gadis kecil (unsplash.com/@carolinehdz)

Jika waktu bisa berbicara, ia mungkin akan mengisahkan tentang seorang gadis kecil yang diam-diam menunggu, meski dunia terus bergerak tanpa menoleh padanya.  

Di dalam rumah yang sunyi, gadis kecil baju usang duduk di ambang pintu, menatap kosong pada gagang pintu yang tak pernah berputar. Ia menunggu dengan hati yang penuh harap, seolah setiap detik adalah janji yang belum ditepati. Ayah dan ibunya, yang dulunya pulang dengan tawa hangat dan aroma masakan yang memeluk udara, kini hanya bayangan samar dalam ingatannya—terbungkus kesibukan yang lebih nyata daripada cinta yang dulu mengisi setiap sudut rumah.                                                               

                                                                    ***

Gadis kecil itu, selalu terdengar melantunkan senandung lembut, suara yang mengalun perlahan seperti angin malam yang merayu daun-daun kering. Senandungnya penuh dengan kerinduan, seakan setiap nada adalah bisikan hati yang tak terucap. Di teras rumah kontrakannya yang sepi dan sederhana, ia memeluk boneka kelinci yang sudah kusam, teman satu-satunya yang setia menemani dalam hening yang panjang. 

"Ayah, apakah melodiku indah?" tanyanya pelan, suaranya hampir terhapus oleh malam, berharap ada jawab yang datang dari langit atau dari ruang yang tak terjangkau. 

"Ibu, aku ingin disisir olehmu lagi," lanjutnya, suaranya melantun seperti doa yang dipanjatkan dalam kesunyian, penuh harap dan kerinduan yang tak terungkapkan.

Seringkali, ia membawa bekal lebih dari satu porsi, seolah menunggu kedatangan dua jiwa yang tak pernah benar-benar pulang. Di meja makan kecil yang berdebu, di ruang yang hanya diisi bayangannya sendiri, ia menata tiga piring dengan teliti—satu untuk dirinya, satu untuk "ayah," dan satu lagi untuk "ibu." Piring-piring itu tak pernah disentuh, namun setiap kali menatanya, ia berharap, meski sejenak, bisa merasakan kehadiran mereka, bisa mendengar suara mereka, bisa merasa bahwa rumah itu tak sepi seperti yang ia rasakan.

Kadang, ia duduk di kursi kosong itu, menatap ruang yang tak terisi dengan mata yang penuh asa.

"Apakah ibu memasak makanan kesukaanku malam ini?" tanyanya, suara lembutnya mengisi ruang yang sunyi, bergaung hanya dalam angannya.

"Bagaimana pekerjaan rumahku, ayah?" Matanya yang cerah menyelami kekosongan, mencari jawaban yang tak pernah ada, mengharap pujian yang tak akan datang. Di sana, di antara ruang dan waktu yang terpisah oleh kenyataan, ia berbicara pada kursi kosong. 

                                                                    ***

Anak-anak yang dulu bermain riang di sekitar rumah itu hanya melihat dua sosok kecil berlarian di teras rumah, bukannya orang dewasa yang anak itu tunggu. Dengan boneka kelincinya yang sudah hampir kehilangan bentuk, merasakan keheningan yang semakin menyesakkan. Di balik tirai yang sudah mulai pudar warnanya, ia menunggu, berharap ayah dan ibunya akan muncul, seolah mereka akan muncul begitu saja dari balik bayang-bayang. Namun, pintu itu tetap tertutup rapat. Tak ada langkah kaki yang terdengar.  

Dengan hati yang semakin hancur, menatap boneka kelinci itu dalam pelukannya. Air mata jatuh, mengalir di pipinya yang memerah. Tangannya gemetar memeluk benda yang sudah lusuh itu, seakan mengira bahwa dengan memeluknya, ia bisa mengembalikan semua yang hilang. Namun, ketika ia melirik dirinya di cermin, yang tercermin bukanlah gadis kecil yang dulu ada di sana, melainkan seorang nenek tua yang wajahnya mulai keriput, dengan rambut memutih dan pandangan kosong yang mengarah ke kehampaan.  

Tiba-tiba, kenangan itu datang begitu saja, seperti hujan yang turun tanpa pemberitahuan. Ia teringat saat anak perempuannya, yang dulu begitu muda dan cantik, dengan lembut menyisir rambutnya yang kian memutih. Anak perempuannya selalu memasakkan makanan kesukaannya, menuntun tangannya yang semakin lemah. Dan sang anak laki-laki, yang dulu kerap menyanyikan melodi indah dengan gitar kayu kesayangannya, yang kini tergantung diam di sudut ruangan—gitar itu adalah kenangan, sama seperti suara anak laki-lakinya yang dulu sering mengalun di rumah yang kini kosong.  

Saat nenek itu semakin tua, ia mulai melupakan banyak hal—bahkan anak-anaknya yang kini telah pergi. Dia lupa kapan terakhir kali mereka pulang. Ia lupa suara tawa mereka. Ia lupa bagaimana wajah mereka ketika mereka meninggalkannya. Semua yang tersisa hanyalah boneka kelinci yang telah sobek dan gitar kayu yang tak pernah lagi bersuara.  

Dalam heningnya malam, nenek itu menangis, memeluk benda-benda yang masih mengingatkan pada anak-anaknya, berharap bisa merasakan kehangatan yang dulu pernah ada.  

"Apa yang terjadi pada kalian, anak-anak ku? Kenapa tak ada lagi yang datang?" bisiknya, suaranya hampir tak terdengar. "Aku rindu suara kalian. Rindu tangan kalian yang dulu memijat punggungku, rindu tawa kalian yang mengisi rumah ini. Aku... aku masih ingat, kalian adalah dunia ku."

Lalu, ia memeluk boneka kelinci itu lebih erat, seakan itu adalah satu-satunya yang bisa mengingatkan pada kebahagiaan yang pernah ada. Di luar, angin malam berbisik lembut, membawa ingatan-ingatan yang sudah lama terpendam. Seperti ibu yang merindukan anak-anaknya, nenek itu hanya bisa menunggu, meski waktunya semakin habis. 

"Anakku, jangan biarkan waktu memisahkan kita. Jangan biarkan kenangan terhapus begitu saja, karena setiap detik bersamamu adalah keajaiban. Walaupun hari-hari kita penuh dengan kesibukan, ingatlah bahwa aku di sini, selalu menunggu, selalu mencintaimu."  

Dunia ini bisa berputar dengan cepat, tetapi seorang ibu akan selalu menunggu di rumahnya, meski waktu telah memisahkan mereka. Cinta seorang ibu adalah rumah yang tak pernah rapuh, bahkan ketika usia dan jarak membuatnya terasa jauh.

Jangan biarkan cinta itu pudar, karena bagi seorang ibu, anak-anak adalah cinta pertama yang tak akan pernah habis.

 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
dyainne_ ꩜.ᐟ
Editordyainne_ ꩜.ᐟ
Follow Us