Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Ketika Skor Menjadi Taruhan

Ilustrasi tangan sedang bermain PS (unsplash.com/JESHOOTS.COM)
Ilustrasi tangan sedang bermain PS (unsplash.com/JESHOOTS.COM)

Arya dan Dimas sudah bersahabat sejak kecil. Mereka selalu bermain bersama, entah itu sepak bola di lapangan atau video game di kamar Arya. Namun, di antara persahabatan mereka, selalu ada satu hal yang membuat mereka bersaing tanpa henti: skor game. Arya dikenal sebagai jagoan di permainan video, sementara Dimas selalu berusaha untuk mengalahkannya, namun nyaris selalu gagal.

Pada suatu sore, setelah berjam-jam bermain, Dimas terdiam, memandangi layar TV dengan raut wajah serius. Arya baru saja mengalahkannya untuk kesekian kalinya, dan rasa frustrasi Dimas mencapai puncaknya.

"Sudah cukup. Kali ini, kita harus taruhan," kata Dimas tiba-tiba.

Arya tersenyum lebar, berpikir ini hanya lelucon. "Oke, taruhan apa?" tanyanya, masih santai.

"Tiga bulan uang jajan," jawab Dimas tegas. "Siapa yang kalah, harus menyerahkan seluruh uang jajannya selama tiga bulan."

Arya terdiam. Tawaran itu serius, dan besar. Mereka berdua tahu betapa pentingnya uang jajan bagi mereka—itu sumber kebebasan kecil mereka sebagai remaja.

Namun, tantangan ini menarik bagi Arya. "Baiklah. Deal."

Mereka memilih game baru yang belum pernah mereka mainkan sebelumnya—sebuah game tembak-menembak yang menuntut kecepatan dan strategi. Dengan kesepakatan yang telah dibuat, keduanya memulai pertarungan dengan penuh konsentrasi. Tidak ada candaan kali ini, hanya suara tombol yang ditekan cepat dan intens.

Di awal permainan, Arya memimpin seperti biasa. Dimas tampak mulai tertekan, namun ia tak menyerah. Setiap kali kalah, ia mencoba bangkit dengan strategi baru, mengubah pendekatan, dan mempelajari gerakan Arya dengan cermat.

Waktu terus berjalan, skor semakin ketat. Arya mulai merasa ada yang berbeda. Dimas bermain dengan lebih taktis daripada biasanya. Ada momen ketika Dimas berhasil membalikan keadaan, membuat Arya lengah. Arya mulai khawatir—taruhannya cukup besar untuk membuatnya berhati-hati.

Pertarungan berlangsung semakin sengit. Skor mereka sekarang imbang, dan hanya ada beberapa menit tersisa sebelum waktu habis. Keduanya berkeringat, bukan karena panas, tetapi karena tegang. Arya mulai membuat kesalahan kecil, sementara Dimas terus menekan, memanfaatkan setiap celah.

“Ayo, Arya. Kau pasti bisa,” kata Arya pada dirinya sendiri.

Namun, di dalam hati, Arya mulai merasa goyah. Pertandingan ini bukan lagi soal siapa yang terbaik, tetapi soal mempertahankan sesuatu yang lebih besar. Ia tak bisa membayangkan harus menyerahkan uang jajannya selama tiga bulan.

Di sisi lain, Dimas tahu ini adalah kesempatan terbaiknya. Selama bertahun-tahun, ia selalu kalah dari Arya, namun kali ini, ada sesuatu yang membuatnya lebih bersemangat—kesempatan untuk membuktikan bahwa ia bisa menang.

Waktu hampir habis. Di layar, skor mereka masih imbang, dan sisa waktu hanya beberapa detik lagi. Kedua pemain kini dalam mode "all-out", mengerahkan segala kemampuan yang mereka miliki. Arya dan Dimas saling mengincar dengan sangat hati-hati, mencoba mencari celah terakhir untuk menutup pertandingan dengan kemenangan.

Dan kemudian, saat waktu tinggal satu detik lagi, Dimas melakukan serangan berani yang tak terduga—dia menyerang langsung ke pusat pertahanan Arya. Gerakan itu mengejutkan Arya, dan sebelum ia sempat bereaksi, layar menampilkan tulisan besar di tengah layar: “Player 2 Wins!”

Dimas menang.

Arya terdiam, menatap layar dengan tidak percaya. Dimas? Sahabatnya? Akhirnya mengalahkannya? Arya menundukkan kepala, sementara Dimas tersenyum kecil—kemenangan yang sudah ia impikan selama ini akhirnya tiba.

Setelah beberapa menit sunyi, Dimas berbicara. "Aku menang," katanya dengan suara pelan.

Arya menoleh, lalu tertawa kecil. "Iya, kau menang," katanya, mengakui kekalahan. "Tapi... taruhan itu benar-benar berlaku?"

Dimas tersenyum lebih lebar. "Tidak, kawan. Uang jajanmu aman. Aku hanya ingin membuktikan kalau aku bisa mengalahkanmu."

Arya menghela napas lega, lalu tertawa lebih keras. Mereka akhirnya saling tersenyum, menyadari bahwa kemenangan atau kekalahan di game hanyalah bagian dari persahabatan mereka. Di balik skor yang mereka kejar selama bertahun-tahun, ada sesuatu yang lebih berharga—hubungan yang mereka bangun melalui waktu, tawa, dan kebersamaan.

Di akhir sore itu, mereka tidak lagi peduli soal skor atau taruhan. Mereka hanya menikmati momen, seperti dua sahabat yang selalu tahu bahwa, meski ada persaingan, persahabatan mereka tak akan pernah berubah.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rizal qalam
EditorRizal qalam
Follow Us