[CERPEN] Musim Semi di Hatiku

Yokohama malam ini terasa manis. Semilir angin yang berembus dari perairan Minato Mirai membelai lembut wajahku, mengantarkan aroma bunga sakura yang tengah bermekaran—tanda musim semi telah tiba. Aku menengadah, menatap kereta gantung yang tiada henti hilir mudik menghiasi langit malam. Di kejauhan, cahaya lembut bianglala Cosmo World berpendar indah, menambah kesan romantis pada malam yang hangat ini.
Bulan menggantung dengan anggun di atas sana, menyapaku ramah, memamerkan cahayanya yang berkilauan layaknya mutiara, seakan tak mau kalah bersaing dengan cantiknya kota Yokohama. Cahayanya terpantul lembut, membasuh permukaan air yang sedikit beriak. Bulan benar-benar tampil dengan penuh percaya diri. Sentuhan magisnya melengkapi kesempurnaan suasana malam ini.
Namun, di antara seluruh hal indah itu, bagiku yang membuat malam ini sempurna adalah kehadiran lelaki di sampingku. Aku menoleh, memandangnya yang tengah berbaring sembari memejamkan matanya, dengan tangan kanan yang menjadi tumpuan kepalanya. Aku ikut berbaring di sebelahnya, lantas memiringkan tubuhku menghadapnya, memandangnya lebih dekat.
Aku menyukai garis wajahnya yang tegas dan hangat, aku menyukai alisnya yang tebal, aku menyukai hidungnya yang tidak terlalu mancung, aku menyukai bibirnya yang simetris, aku menyukai dagunya yang tajam, aku menyukai rambutnya yang terkadang berantakan, aku menyukai … segala hal tentangnya. Aku menyukainya, Ren Aizawa.
Entah sejak kapan aku mulai menyukainya, namun ada satu hal yang baru kusadari: ketidakmungkinan kita. Bulan di atas sana seakan mengingatkanku pada sosok Ren yang tampak dekat dan di saat yang sama juga tampak jauh. Terkadang aku merasa aku bisa meraihnya, namun di sisi lain ia juga sama mustahilnya. Tentu saja, karena Ren merupakan seseorang yang sempurna—setidaknya ia terlalu sempurna untuk ukuran manusia yang banyak retaknya. Dunia tak pernah berhenti berputar mengelilinginya. Siapa pula yang tidak tertarik padanya? Seluruh orang mengaguminya! Bukankah aku kalah telak sebelum bersaing dengan para bintang di sekitarnya? Tentu sosok bulan tidak akan melihatku di gemerlap malam, bukan?
Terkadang aku berharap aku tidak pernah bertemu dengannya. Tapi, kurasa aku tidak bisa bilang begitu. Ren membawa warna dalam kehidupanku. Justru mestinya aku bersyukur dia datang dalam hidupku. Toh, di samping itu, memang ada hal-hal di dunia ini yang hanya dapat dikagumi, bukan? Dan Ren salah satunya. Karena itu, selama ini aku hanya bisa memendam perasaanku rapat-rapat, tanpa diketahui seorang pun.
Sejujurnya, aku sangat penasaran. Apa Ren … tengah menyukai seseorang? Sebab akhir-akhir ini ia kelihatan lebih bahagia daripada biasanya. Aku merasakan ada aura cerah yang terpancar dari dalam dirinya—mirip aura seseorang yang tengah dimabuk cinta. Binar matanya tidak bisa berbohong. Aku selalu menangkapnya. Dan sebenarnya … itu membuatku agak kesal—memaksaku untuk semakin sadar diri dan berhenti mengharapkannya sama sekali.
“Apa wajahku setampan itu?” ujar Ren tiba-tiba.
Pertanyaan Ren nyaris membuatku meloncat. Aku tersentak bukan main. Dia … tidak tidur!? Oh, rasanya aku ingin melarikan diri sejauh mungkin!
Aku bangkit dari posisiku dan sedikit menjaga jarak darinya, mencoba mengontrol degup jantungku yang berdebar tak keruan. Aku berdoa semoga ia tak menyadari wajahku yang kuyakini saat ini berwarna semerah tomat.
Ren tertawa renyah, “Astaga, Narumi, kau sangat lucu.”
Aku buru-buru menyangkal, “Jangan kepedean, Ren. Aku melakukannya karena ada sesuatu di wajahmu.”
Ren mendekatkan wajahnya padaku, “Apa?”
Aku berdeham agak keras, mataku sebisa mungkin menghindari tatapannya, “Itu—”
“Ketampanan?” goda Ren.
Aku berdecak, lantas meraih kelopak sakura merah muda di wajahnya, “Ini.”
Kurasa Ren agak kaget, pipinya sedikit memerah, “O—oh.”
Aku tersenyum geli. Ren tampak lucu. Aku menyukai ekspresinya yang seperti itu—ekspresi yang membuatku berharap bahwa ia juga menyukaiku.
“Kukira kau tertidur,” ujarku.
Ren mengusap tengkuknya, lantas menggeleng, “Tidak bisa tidur.”
“Nah, apa yang mau kauceritakan padaku? Itu alasanmu memanggilku ke sini, kan?” tanyaku gamblang.
Ren tersenyum, mengacak rambutku dengan lembut, “Ah, seperti biasanya! Kau sangat peka, Narumi!” serunya. “Ya—meskipun di beberapa hal kau tidak begitu, sih.”
Aku mengernyitkan kening, meminta penjelasan atas kalimatnya yang terakhir.
“Oh, lupakan saja. Intinya kau benar. Aku ingin meminta saranmu,” kata Ren. “Kali ini mungkin agak berbeda masalahnya.”
Perasaanku tidak enak. Aku meneguk ludah, bertanya ragu-ragu, “Tentang … percintaan?”
Ren terkejut bukan main, “Astaga, Narumi, kau benar lagi! Agaknya besok kau harus mendaftar menjadi seorang cenayang!”
Hatiku rasanya bagai dilanda badai. Mungkin ini akhir perjalananku dalam mencintainya? Tapi, bukankah aku pernah bilang pada diriku sendiri bahwa aku mencintainya tanpa mengharapkan apapun? Lantas, mengapa kenyataannya tetap sesakit ini?
Aku berusaha mengendalikan diriku, “Oh, haha, mungkin aku bisa mencobanya.”
Tatapan Ren tampak lebih hangat, “Apa aku ketahuan olehmu kalau sedang jatuh cinta?” tanyanya. Ia mengusap tengkuknya, “Rasanya agak malu.”
Aku memaksakan senyumku, “Ya—karena akhir-akhir ini kau tampak lebih cerah,” kataku. “Santai saja, kau tidak perlu malu. Justru tidak wajar kalau kau tidak pernah jatuh cinta.”
Ren tersenyum, lantas memandang jam raksasa bianglala Cosmo World yang menunjukkan pukul 8 malam. Ia berkata, “Menurutmu apa yang harus kulakukan agar seseorang yang kusukai menyadari dan membalas perasaanku?”
Aku mengalihkan pandangan, menatap kelopak sakura yang jatuh terbawa angin malam, “Katakan saja padanya. Aku yakin dia pasti membalas perasaanmu.”
Ren menoleh, menatapku, “Menurutmu begitu?”
Aku mengumpulkan sisa energiku untuk membalas tatapannya. Aku mengangguk, lantas menyahut parau, “Hm.”
“Kau sendiri, bagaimana? Apa kau pernah menyukai seseorang dan mengungkapkan perasaanmu padanya?” tanya Ren.
Aku kebingungan untuk merespons pertanyaannya, “Kalau itu—aku—tidak bisa.”
“Mengapa? Padahal tadi kaubilang—”
Aku menyela, “Tidak bisa, Ren. Kasusku berbeda denganmu. Aku menyukai seseorang yang mustahil. Kalau kau—lain.”
“Tapi kau belum mencobanya, kan?” Ren tampak kukuh.
Aku jadi sedikit kesal, “Ren, aku hanya memberimu saran. Tapi aku tidak butuh saran darimu.”
Ren tampak sedikit kaget. Aku jadi merasa tidak enak padanya.
“Maaf,” kataku.
Ren masih diam. Pandangannya menengadah, menatap lekat langit malam Yokohama yang bercahaya. Ia berkata tanpa menoleh padaku, “Kau tahu? Sejujurnya aku juga merasa aku menyukai seseorang yang mustahil. Padahal ia benar-benar bercahaya—tapi barangkali dirinya tidak pernah menyadari hal itu.”
Ia menoleh padaku, tatapannya menembus diriku, “Walau begitu aku akan tetap menyampaikan perasaanku. Aku tidak sanggup lagi menanggung perasaan ini sendirian,” katanya. Wajahnya memerah sempurna di bawah rembulan, “Aku menyukaimu, Narumi Shinohara. Rasanya akhir-akhir ini aku bisa mati karena memikirkanmu.”
Aku terhenyak, tidak mempercayai pendengaranku. Rasanya aku bisa merasakan bunga sakura bermekaran bersamaan dengan mekarnya perasaan di hatiku.
Aku menatapnya, “A—aku—kupikir kau—”
Ren tersenyum malu, “Ya. Makanya tadi aku sangat malu, karena kupikir pasti selama ini kau telah mengetahui perasaanku,” katanya. “Tapi kurasa kau salah paham denganku. Padahal selama ini aku yakin telah memberi cukup tanda bahwa aku menyukaimu.”
Wajahku merah sempurna. Aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Sosok bulan yang selama ini kukagumi … juga menyukaiku?
“Ren, aku—”
Ren mengusap lembut kepalaku, “Aku tahu.”
Aku menatapnya tepat di matanya, “Apa?”
Ren menyeringai lucu, “Aku tahu kau menyukaiku. Terkadang kau sangat mudah terbaca, Narumi.”
“Tapi, katamu—”
“Ya. Aku sebenarnya ragu. Tapi, caramu memandangku saat aku pura-pura tertidur tadi membuatku yakin,” ujar Ren.
Telingaku memerah, aku berseru sembari menahan malu, “Oh, Ren, kau ini benar-benar menyebalkan!”
Ren tertawa, lantas menatapku lembut, “Aku senang. Kupikir aku hanya jatuh cinta sendirian.”
Aku balas menatapnya, tersenyum hangat, “Musim semi pasti telah mekar di hatiku. Aku mencintaimu, Ren Aizawa.”