Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Sepucuk Surat Kepada Subuh

Pixabay/Tomasz Proszek
Pixabay/Tomasz Proszek

Maaf Subuh, apabila lancang berkomunikasi denganmu yang akrab dengan penghuni masjid. Aku hanya ingin menulis kata-kata yang sudah tak bisa lagi berada dalam brankas hati yang gelisah.

Aku kirimkan surat ini bersama mimpi lelap dengan mataku masih mengerjap-ngerjap. Malam-malam panjang begadang (hal yang sulit kuhindari) aku tetap berharap bisa salat subuh di waktu yang tepat.

Aku sudah berusaha untuk tidur lebih cepat, tetapi yang hadir hanyalah delusi mengawang dalam benak. Tak kunjung pergi hingga waktu yang biasa. Kau tahu kan, akhir-akhir ini aku bangun jam berapa? Hm, kadang delapan, sembilan, eh, kadang menjelang zuhur juga. Aku tidak tahu kenapa bisa sesiang itu. 

Sebelum terpejam aku selalu berbisIk bergumam untuk membangunkanku di sepertiga malam-Mu yang tenteram. Jangankan tahajud kulaksanakan, duha pun kadang waktunya sudah diambang-ambang.

Merantau jauh dari memoar masa kecil dan tinggal di kosan semenjak kuliah membuatku harus terbiasa beranjak sendiri; tiada lagi Mamak yang marah-marah dengan sapu dan kemoceng memercik air di wajah. Tiada lagi Abak yang akan meninggalkanku sendirian kelabakan di rumah karena bangun kesiangan. Sungguh hanya bersisa aku dan kenangan dalam angan-angan. 

Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi untuk mengeluh dan mengesah. Maka, Subuh, izinkanlah aku membuka mata setidaknya saat azanmu melaung di sepenjuru kota. Ya. Lagi-lagi suara azan itu masih menulikan aku yang sudah krisis tidurnya. 

Aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Tak ada yang patut dibanggakan selain uang kos yang menunggak dan UKT yang tersengal-sengal. Aku mengimpikan pagi yang tak tersusupi. 

Kata Abak, dua rakaat sebelum subuh lebih baik dari dunia dan seisinya. Aku sudah tiada siapa apa. Tak ada kesombongan yang bisa diruahkan di dunia ini. Maka itu, izinkan aku sedikit pongah dengan berharap ihwal melebihi dunia. 

Jadi, kepada Subuh, mohon kerja samanya. 

Tertanda, aku yang merindukan-Mu.

Surat itu melesat menembus cakrawala. Meminta perkenan pada bintang-gemintang, mega-mega, dan rembulan yang terpoles indah. Lantas tertuju kepada Subuh; sebentar lagi ia tiba.***

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Arifina Budi A.
EditorArifina Budi A.
Follow Us