Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Terima Nasibmu, Juragan

Ilustrasi Tempat Berantakan (pexel.com.WendelinJacober)

Wajah laki-laki itu sudah lebam. Sedikit darah ada di sudut bibirnya. Matanya sudah membiru, entah pukulan siapa yang membuatnya begitu. Langkah kakinya yang biasa berjalan gagah, kini terseok-seok. Entah kakinya keseleo saat ia jatuh atau ada yang memukulnya dengan kayu hingga kakinya pengkor.

Laki-laki itu terlihat kesusahan berjalan, tetapi tak seorang pun memberi pertolongan. Jangankan bergerak memapah, orang-orang justru melontarkan sumpah-serapah. 

"Sudah untung kita biarkan dia pergi," kata seorang laki-laki paruh baya dengan cerutu di bibirnya.

"Kita bikin mati saja kapan-kapan," sahut seorang lainnya.

Kerumunan yang sengaja dibentuk untuk 'mengeroyok' laki-laki itu akhirnya bubar perlahan-lahan setelah laki-laki malang itu menghilang di balik tikungan. Gang sempit itu kembali menjadi seperti gang mati. Tidak ada yang melintas di sana selain laki-laki itu yang biasanya pergi ke masjid.

Tidak ada warga yang mau melewati gang penuh dengan kotoran dan tikus-tikus selain laki-laki itu.

Nama laki-laki itu Arman. Seorang pengusaha sekaligus melabeli dirinya sebagai penguasa. Rumahnya paling mewah diantara rumah-rumah warga di sekitarnya. Kesehariannya adalah membeli minyak sawit dari warga sekitar.

Tampak tidak ada yang salah dengan laki-laki itu pada awalnya. Warga terbantu dengan keberadaan laki-laki yang mengaku sudah tak memiliki istri dan anak itu. Kabarnya, keluarganya kecelakaan dan hanya dirinya yang masih selamat. Kejadiannya beberapa waktu silam, kala ia masih berada di perantauan lainnya.

Kisah sedihnya digunakan untuk mencari simpati warga di tempatnya sekarang. Dengan dalih menyambung hidup, ia membuka usaha dengan membeli minyak sawit milik warga. Sesederhana itu. Katanya, biar ia yang menjualnya kepada toke di kota daripada warga jauh-jauh membawanya ke sana.

"Tapi harga yang kau bayarkan untuk kami terlalu murah, Man," keluh seorang warga suatu hari. 

"Tidak murah, Pak Rustam. Kalau bapak bawa ini ke kota, harganya juga sama," jawabnya.

"Dulu tak segitu," balas warga lainnya yang memang mendatangi Arman hari itu.

"Harganya segitu, Pak," jawabnya meyakinkan.

Sesudah warga yang mengajukan protes pergi, Arman masuk ke dalam rumah yang biasa digunakan menampung penjualan warga. Di sana, Arman memaki orang-orang yang protes padanya.

Bak sinetron yang biasa tayang di televisi, ia meminta beberapa preman untuk memukuli warga yang protes secara diam-diam. Dilakukan di area jauh dari pemukiman warga dan malam hari. 

Tiap paginya setelah aksi 'pemukulan' yang dilakukan oleh anak buahnya, Arman akan pergi ke masjid. Melewati gang sempit yang hampir tidak pernah dilewati warga. Transaksi uang di sana, secara diam-diam. Tak mungkin membawa anak buahnya sekaligus preman ke rumahnya sendiri. Tak mungkin juga melakukan transfer karena anak buahnya terlalu goblok katanya.

"Bos, sepertinya warga mulai curiga. Minyak sawit warga yang asli bos beli dengan harga murah, lalu dijual ke kota dengan harga mahal. Belum lagi bos mengoplosnya," kata anak buahnya suatu hari. 

Merasa tidak enak memukuli warga yang hampir tua dan berbadan cungkring, sementara dirinya cukup bugar dan kuat. 

"Jangan ikut campur! Diam saja. Yang penting aku menggajimu," ketus Arman. "Sudah, pergi sana!"

Untung tak bisa diraih, malang tak dapat ditolak. Malam itu, seorang warga yang tidak sengaja melintas mendengar obrolan itu. Dengan lari terbirit-birit, ia mengabarkan kepada para warga. Huru-hara segera tercipta, warga telah ditipu dan diperdaya.

Siasat disusun, menghajar si juragan yang juga melabeli dirinya sebagai penguasa itu harus dilakukan sebelum diserahkan kepada pihak berwajib.

"Atau bahkan dibuat mati saja sekalian," ujar seorang warga tiba-tiba saat penyusunan rencana itu.

Beberapa mengangguk. "Diserahkan kepada pihak berwajib, dia mungkin bisa menyogok."

"Dan pihak berwajib bisa saja menerima sogokan," sahut yang lainnya.

"Pukuli saja dulu," putus para warga kemudian.

Pagi itu, kala matahari baru memunculkan sinarnya, Arman sudah jalan terseok-seok. Wajah lebamnya membatasi pandangan matanya. Ingin berlari, ia tak bisa. 

Di depan sana, rumah besarnya sudah dikepung warga yang berbeda dari yang mengeroyoknya. Anak buahnya tak kalah rupa dengannya, berbonyok dan lebam membiru. 

"Telinga juragan terlalu tuli untuk mendengar." Tiba-tiba seseorang berdiri di samping Arman. Menarik tangannya dan mengikatnya dengan tali.

"Sudah kubilang jangan macam-macam di sini. Orang-orang mungkin tampak lemah, tetapi kemarahannya bisa membuatmu berakhir di tiang gantung," lanjut orang tersebut. "Tubuhmu masih lengkap, sepertinya mereka akan menyiapkan pesta hari ini."

Arman tertegun, berusaha mengingat wajah laki-laki itu. Tatapan kesakitannya berubah menjadi ketakutan. Laki-laki itu adalah orang pertama yang ia temui kala menginjakkan kaki di daerah ini. Arman seketika merinding, lalu menjatuhkan tubuhnya bersujud pada laki-laki itu.

"Maafkan saya. Jangan bunuh saya," pinta Arman.

Laki-laki itu hanya tersenyum sejalan dengan Arman yang kehilangan pandangan dan kesadarannya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dilla S. Kinari
EditorDilla S. Kinari
Follow Us