Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[NOVEL] Kisah untuk Dinda - BAB 5

storial.co

5. Do You Miss Your Mom?

 

Menurut Kubler-Ross, seorang dokter psikologi menyebutkan bahwa ada 5 tahapan manusia berduka. Pertama adalah denial, fase awal dari kesedihan berupa penolakan atas kondisi yang terjadi. Lalu, anger, timbul kemarahan. Ketiga, bargaining, tawar-menawar, bertanya mengapa harus terjadi pada dirinya, kenapa bukan orang lain. Keempat, depression. Dan terakhir, acceptance. Dinda masih ada di tahap pertama, masih berusaha meyakini dirinya sendiri bahwa semua tidak nyata, hubungannya pasti masih baik-baik saja. Dia terbangun keesokan pagi dengan kondisi mata sembab, berniat mengetik sebuah chat.

Selamat pagi, Hon-Hon. Selamat beraktivi-

Sebuah kenyataan menampar dirinya dengan telak, menyadarkan bahwa kebiasaannya tidak perlu lagi dilakukan. Dinda bergelung lagi ke kasur, menangis di balik selimut, tidak mempedulikan teriakan Nek Asia dan Sandra yang menyuruhnya bangun. Gelombang rasa sakit tidak henti-hentinya menyerang, bahkan ketika Dinda pergi ke toilet dan teringat Geri sedang memperbaiki kerannya. Atau ketika dia ke dapur, teringat Geri menemaninya makan. Atau ketika dia ke ruang tamu, teringat Geri pernah memijiti kakinya karena terlalu kelelahan setelah bekerja. Terlalu banyak memori bersama Geri, dan mengingat semua, kini terasa menyakitkan.

Di hari kedua pun tidak ada perubahan. Dia lebih mirip seperti zombi, Sandra akhirnya berhasil membobol pintu pertahanan Dinda dengan beralasan ingin memberikan kunci toko bunga dan terkejut melihat kondisinya. "Kenapa lo? Woi, Kak! Lo kenapa?"

Dinda melirik boneka pisang dalam pelukannya. Lalu memukuli benda itu. Melampiaskan seluruh amarahnya yang tidak tersalurkan. "Dasar cowok berengsek! Bajingan," katanya diikuti air mata, "gue putus sama dia, Sandra, gue putus!"

Sandra mengembuskan napas, memakan pisang di atas meja dengan sembrono dan menaikkan kakinya ke kursi. "Makanya nggak usah pacaran, ribet kan, mending kayak gue. Single, nggak ada beban, nggak perlu takut bakal ada seseorang bikin sakit hati. Lo tahu nggak kenapa lo sedih banget kehilangan dia? Karena selama ini lo menggantungkan kebahagiaan lo ke dia, jadi ketika dia pergi, rasanya seolah kebahagiaan lo seolah menghilang dari dunia uuuuh," Sandra mengejek, "jelek banget ekspresi lo, Kak!"

Dinda melemparkan boneka itu, tapi berhasil ditepis Sandra. Sandra langsung meleletkan lidah dan memilih lari daripada menjadi umpan pusat pelarian rasa sakit Dinda. Kali ini gadis itu mengunci pintunya lagi, menghabiskan seluruh pisang di meja, berharap pisang bisa mengusir rasa sedihnya.

****

Raut wajah muram dari Geri berhasil membangun ketegangan di kantor Alfirasa Game sejak tiga hari berturut-turut. Para karyawan terlihat saling berbisik satu sama lain, saling bertanya apa gerangan yang membuat atasannya itu bermuram durja. "Kayaknya sih ... putus?" Bonita berusaha menebak, "dia kan habis ribut sama pacarnya," bisiknya berusaha mengumpulkan teka-teki.

"Single, dong?" Eleanor nyengir, merasa bahwa dirinya ada kesempatan. Tapi Rudi langsung muncul, memukul puncak kepalanya dengan gulungan kertas. "Awh!"

"Ngimpi mulu, lo. Udah lanjut kerja."

"Iiih apaan sih, nguping aja kerjaannya."

"Gue nggak nguping, tapi suara lo kedengaran sampai di ujung."

"Demi apa?" Eleanor terlihat parno, lalu melihat sekeliling, tapi dia tidak melihat reaksi apa-apa dari karyawan lain, dan akhirnya mendengus jengkel. Memilih kembali ke tempat kerjanya.

Alfirasa Game bukan sebuah kantor pragmatis, karena Geri percaya interior sebuah ruangan berpengaruh penting dalam kreativitas dan produktivitas para karyawan. Maka setiap ruangan lebih mirip seperti ruang permainan yang fun. Ada beberapa Gundam berukuran raksasa di tiap sudut, dalam gim terkenal mereka: Attack on Java.

Kalau biasanya gim menggunakan karakter Dewa-Dewi Yunani sebagai karakter dalam permainan, mereka berbeda, yakni memakai tokoh dalam wayang. Ada Rahwana, Hanoman, Bhisma, Arjuna, Petruk, Gareng, Gatotkaca, dan Antasena. Kemudian terdapat juga foosball table, pool table, dan sebuah ruangan untuk memainkan gim yang mereka ciptakan secara virtual reality.

Telepon di meja Bonita berdering, seperti alarm refleks berdentang dalam kepalanya. Bonita berlari secepat kilat untuk mengangkat. "Ya, Pak?"

"Tolong sampaikan ke karyawan, kita rapat lima belas menit lagi."

"B-baik, Pak." Bonita menutup teleponnya, menghampiri bilik kerja Eleanor.

"Kenapa? Kok gugup gitu?"

"Lima belas menit kita rapat, siap-siap semuanya!" Pengumuman yang membuat seluruh karyawan menjadi panik seketika.

****

Ruangan rapat berbeda dari suasana biasanya, kali ini terasa begitu panas dan menegangkan padahal ada empat pendingin ruangan yang lebih dari cukup untuk memberi kesan sejuk. Para anggota tim mulai berkumpul. Bersiap untuk melaporkan perkembangan pekerjaan mereka hingga hari ini. Bonita yang bertugas sebagai notulis, melirik wajah Geri, sejak tadi raut wajahnya tidak berubah sedikit pun.

"Setelah saya baca ulang, saya baru sadar ... plot cerita yang kita buat ini, semuanya sampah." Geri melemparkan naskah di depannya ke lantai. "Kita mau membuat gim perang atau gim romansa? Karakternya saya suka, semua sudah memiliki latar belakang masing-masing, alur ceritanya tolong direvisi. Tim penulis, saya kasih waktu tiga hari. Untuk referensi bisa lihat gim Valiant Hearts - The Great War." Geri menekan remote di tangannya hingga memunculkan hologram di tengah kursi yang melingkar. "Gim ini menggunakan latar perang dunia ke satu dan memiliki empat karakter berbeda. Karl seorang prajurit Jerman, Emile seorang prajurit Prancis, Freddie warga Amerika Serikat, dan Anna sebagai palang merah. Karakternya kompleks, agenda mereka berbeda tapi saling berhubungan, kita bisa jadikan itu inspirasi. Tokoh yang kita buat harus atraktif dan related dengan pribadi gamer agar mereka terus memainkan game dan menyelesaikan semua misi."

Bonika sibuk mengetik, menyamai ritme ketikannya dengan informasi dari atasannya.

"Tolong cari perang besar apa yang pernah terjadi di Sumatra. Perang Padri? Pemberontakan di Pantai Barat? Kita membuat gim tidak hanya berperang, tapi berusaha mengenalkan sejarah, tentukan juga sesuai sasaran-" ucapan Geri terputus sewaktu mendengar ponsel seseorang berdering dalam ruangan, memecah konsentrasinya. "Tahu apa peraturan sewaktu rapat yang utama, Bonita tolong dibacakan."

"Semua ponsel dalam keadaan silent." Bonita angkat suara.

"Tolong, kamu keluar." Geri menunjuk salah satu karyawannya.

"Mohon maaf, Pak."

Rudi menghela napas, menutup wajahnya dengan kertas. Betul katanya, Geri dengan emosi yang buruk, bukanlah pilihan baik untuk dihadapi.

****

"DIN! WOI BUKA NGGAK! KALAU NGGAK DIBUKA JUGA, GUE DOBRAK NIH!" Dinda hafal siapa pemilik dari suara itu, tidak lain adalah suara Jia. Sahabatnya-yang dulu pernah menjadi musuh terbesarnya sewaktu di SMA. Dunia memang selucu itu, seseorang yang kau kira lawan, justru bisa menjelma sosok paling dibutuhkan. "DIN! GUE HITUNG SAMPAI TIGA YA, SATUUUUU, DUAAAA, DUA SETENGAH, DUA SEPEREMPAT, TI-"

Dinda mendengus, Jia adalah cewek paling gila, ucapannya bukan ancaman untuk menakut-nakuti. Dia membuka pintu. Jia terperangah, menutup bibirnya melihat ekspresi Dinda. Lengkap dengan rambut berantakan dan maskara luntur. "Oh em jiiii, hellow, ini beneran Dinda? Gue kira orang sinting dari mana?"

"Berisik! Lo tahu dari mana, hah? Ngapain ke sini?"

"Sandra nelepon gue, katanya lo ngurung diri di rumah, yah takut lo kenapa-napa, tahu-tahu lo jadi mayat gitu kan di dalam. Terus nih tempat jadi angker, kasian Nek Asia, nggak ada yang mau ngontrak lagi di rumah sewaannya."

"Dinda menutup pintu, tidak menghiraukan ucapan Jia yang seperti kaleng bocor, lalu kembali berbaring di ranjangnya. Jia menatap sekeliling dan geleng-geleng kepala, kakinya menendang asal celana di lantai. "Lo jorok banget, sih! Ya ampuuuun, nih rumah lebih mirip jadi kandang kuda, oh nggak, kuda terlalu bagus. Lebih mirip kandang babi yang kotorannya berceceran di mana-mana. Ewh."

Bukannya mendengarkan Jia, Dinda mengambil sekotak tisu, membuang ingusnya dengan sembrono dan melemparkan ke bawah kasur. "Dindaaa! Plis deh, patah hati nggak usah segitunya."

"Nggak segitunya gimana? Lima tahun, Jia, lima tahun gue jalanin hubungan sama dia! Kalau cicilan mobil, udah lunas kali."

"Cmon baby, cowok tuh banyak kali. Ada miliaran cowok di dunia ini, hilang satu tumbuh seribu. Jadi lo nggak usah takut-"

"Lo bisa ngomong begitu, karena lo nggak ngerasain rasanya sakit hati. Dan omongan lo tuh barusan termasuk toxic positivity."

"Memangnya putus kenapa? Apa perlu gue datengin Geri, hm? Gue labrak dia demi elo?"

"Kalau soal urusan bercerita dengan Jia, Dinda paling sulit untuk menjaga rahasia. Alhasil seluruh keluh kesahnya mengalir tanpa henti. Semuanya. Dari awal hingga akhir, tanpa ada yang ditambah atau dikurangi. Jia yang mendengar itu terlihat begitu ekspresif, dia menutup bibir, geleng-geleng kepala lantas menghela napas dan mengusap dada. Air mata Dinda kembali mengalir keluar. Gadis itu terisak-isak. "Gue kesal, karena semua yang dia omongin itu ada benarnya."

"Beb, dengar gue. Sesuatu yang didapatkan dengan mudah nggak akan bertahan lama, begitu pun sebaliknya. Sesuatu yang bertahan lama, itu nggak mungkin didapatkan dengan mudah."

"Menurut lo, siapa yang salah? Gue atau dia?"

"Gini ya, ini bukan masalah salah atau benar. Tapi masalah bertahan atau menyerah, kenyataannya lo justru nggak mau memperjuangin hubungan lo, kan? Iya udah," mendengar Jia berkomentar begitu, tangis Dinda kian pecah, "eh, kok malah nambah tangis, sih? Udah dong, Din. Lo pernah dengar nggak ada orang meninggal karena sakit hati? Ada istilahnya tuh namanya broken heart syndrome. Asli nggak keren banget kalau lo mati karena patah hati."

Melihat tangis Dinda yang tidak juga berhenti, Jia menarik gadis itu ke pelukannya. "Ya udah nggak apa nangis sekarang, puas-puasin, tapi habis ini lo janji buat bangkit. Terus-terusan berkubang sama kesedihan juga nggak bagus kali, Din." Dia mengusap bahu Dinda, berharap itu bisa menyalurkan ketenangan.

"Sakit banget rasanya, Jia ... dada gue sesak. Susah buat terima kenyataan." Dinda berusaha mendeskripsikan perasaannya, tapi tidak berhasil, bahkan kata-kata pun rasanya tidak akan mampu menjelaskan ada sesuatu tercerabut paksa dari dalam dadanya dan kini meninggalkan sebuah lubang yang menganga. Lubang yang membuatnya sakit sewaktu bernapas. "Kenapa semuanya harus kayak gini?"

"Beb, dalam hidup kita semua memang harus jadi kuat, tapi sayangnya, nggak ada yang ngasihtahu menjadi kuat itu harus gimana. Menjadi kuat bukan soal Matematika yang ada rumus dan waktu guru ngasihtahu kita bisa paham, harus kita sendiri yang mencari tahu cara dan jawabannya. Ini salah satunya, jalan yang bikin diri lo semakin kuat dan berdiri kokoh. Sekarang mungkin rasanya sakit, percaya sama gue ... setelah lo berhasil lewatin semuanya, hidup kasih kejutan buat bikin lo paham sesuatu." Dinda menarik dirinya dari pelukan Jia.

Jemari Jia menghapus air mata Dinda dengan jemarinya, lalu menarik ujung bibir hingga membentuk selekuk senyum. "Lo nggak sendirian, oke? Gue bakal bantuin lo lewatin semuanya. Sekarang ... kita harus beresin semua yang berantakan ini, sebelum malah makin runyam."

Dinda mengangguk.

"Btw, lo udah nggak mandi berapa hari? Plis jujur!"

Dinda meringis, mencium aroma tubuhnya sendiri, lalu dengan tanpa dosa dia menjawab. "Udah tiga hari." Jawaban yang membuat Jia bergidik jijik dan melempar Dinda dengan handuk, mendorongnya kasar untuk segera masuk ke kamar mandi, "sakit hati sih sakit hati, tapi jangan sampai nggak mandi juga kaliii, buruan mandi atau gue guyur nih pake air!" Jia yang sedang marah bisa melebihi enam ibu-ibu kompleks yang sedang berteriak meneriaki anaknya supaya pulang berhenti bermain.

****

"Helloww, I love you."

"Prove it you are not a bot."

"I love you, Hon-Hon!"

"Ok. Approved, tunggu 30 menit ya, Sayang. Nanti aku telepon, sekarang lagi nge-coding." Geri membaca deretan chat masuk yang ada di ponselnya dan tersenyum tipis. Dia baru saja pulang ke apartemennya. Sudah setahun, Geri tidak tinggal di rumah bersama Iren dan ayahnya, karena alasan jarak tentu saja. Dia membutuhkan tempat yang lebih dekat menuju ke kantor tanpa harus takut telat karena jalanan terlalu macet dan padat untuk ditembus. Dia melepaskan jas dan kemejanya, hanya berbalut kaus dalam tipis. Membuka kulkas, ingin mengambil minum.

"Ya ampuuuun, seriously, Hon, kamu tuh nggak sempat banget ya beli makanan apa pun sampai kulkasnya kosong melompong gini? Nggak mau nyemil apa, buah gitu? Kamu makan sama minum air mineral?"

"Kan bisa pesan."

"Boros! Ayuk, temenin aku ke supermarket, penuhin itu kulkas kamu, biar aku yang masak."

"Belajar jadi Nyonya Alfian, ya?"

"Hon-tanpa belajar, aku pun udah lolos seleksi, right?"

Suara dan bayangan Dinda tanpa permisi lewat di hadapannya. Geri mendengus frustrasi, dia mengambil segelas air putih, mengisinya dengan air dan menelan sebanyak-banyaknya. Barangkali dia sedikit dehidrasi dan menyebabkan kepalanya kerap berhalusinasi. Geri menuju ke ruangan kerjanya-yang terlihat ramai dengan berbagai peralatan canggih dan banyak rumus tertempel di dinding, serta berbagai macam penghargaan tersusun rapi di lemari. Dia duduk di balik kursi, berhadapan dengan komputer besarnya yang berukuran 65 inci dengan resolusi tinggi hingga menampilkan grafis gim nyaris seperti film sungguhan.

"Hon-hon, aku ke sini, bukan mau pacaran sama tembok atau sama tv yang nyala. Sengaja nih aku samperin biar malam Minggu kamu nggak cuma berhadapan sama komputer!"

"Iya nanggung, dikit lagi. Sabar."

"Sabar melulu, udah habis kesabaranku. Kamu ngapaaaaiiiin, oooh, jadi gim ini lebih menarik dari aku?" Dinda berkacak pinggang, menatap gim yang dimainkan Geri dengan bibir mengerucut, "aku udah siapin film buat kita tonton." Belum juga menyerah ingin menarik perhatian, Dinda duduk di pangkuannya, memainkan telinga Geri. Memuntir bagian daun telinga-nya, bagian yang paling sensitif bagi Geri. Dinda seperti membangunkan seekor singa yang tertidur. Geri segera menangkap tangan Dinda.

"Please stop it, jangan sembarangan pegang kuping cowok. Aku udah pernah bilang, kan?"

"Masa? Emang kenapa? Kan nggak semua cowok, cuma kamu aja, cowokku doang." Dinda memegang wajah Geri, menangkup rahangnya.

Geri tetap tidak tersentuh. Jemari Dinda menelusuri alisnya yang tebal, turun ke hidung, mengelilingi rahangnya dan berakhir mengecup pelan bibir cowok itu. Geri mengesah, konsentrasinya terpecah. Geri menatap Dinda jengkel. "Kamu tuh ya, nggak bisa diomongin."

Bukannya menurut, Dinda justru tersenyum, menampilkan sederetan giginya yang bersih, dan melemparkan tatapan memohon seperti anak kucing yang ingin bermanja ria dengan majikannya. "Nonton yuk, Hon-Hon? Pleaaseee, aku udah buatin popcorn, lho. Rasa jagung bakar, kesukaan kamu!" Geri langsung mengangkat tubuh Dinda menuju ke sofa, tidak ada pilihan selain menemani gadisnya itu menonton film horor. Bukan film romansa atau komedi, selera Dinda adalah film mendebarkan dengan banyak adegan berdarah-darah dan laga, yang kadang membuat Geri meringis dan memilih menutup mata saking seramnya.

"Damn!" Geri mengerang, lagi dan lagi, kini seluruh ruangan di rumahnya dipenuhi bayangan Dinda yang berhilir-mudik tanpa ampun seakan tidak memberinya kesempatan untuk bernapas lega. Terus menghantamnya, bertubi-tubi, tanpa spasi. Seluruh ruangan bahkan terasa pengap karena serangan kenangan yang tak kunjung reda. Dolly menghampirinya, seolah ikut merasakan isi hati majikannya, dia menyusrukkan kepala ke kaki Geri.

Geri mengambil anjing mungil itu ke dalam dekapannya, dan berbisik. "Kamu pasti kangen sama Mama, ya? Sama, aku juga."

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook : Storial
Instagram : storialco
Twitter : StorialCo
Youtube : Storial co

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Yudha
EditorYudha
Follow Us