[NOVEL] Kisah untuk Dinda - BAB 1

Penulis: Erisca Febriani

1. Kecupan Selamat Malam

 

Kalau orang lain bertanya siapa seseorang yang menjadi panutan dalam hidup Dinda, dia bisa menjawabnya bahwa seseorang itu adalah Iren. Banyak hal dapat dipelajari dalam sosok Iren. Di rumah dia bisa menjelma menjadi ibu yang hangat sekaligus perhatian untuk Lucy, tapi dalam pekerjaannya, dia seperti Anna Wintour, yang menginspirasi karakter Meryl Streep dalam film Devil Wears Prada: dingin sekaligus mengintimidasi.

Sama sekali tidak pernah terpikir di benak Dinda bahwa dia memiliki kesempatan bekerja di salon Lucy, bahkan hingga diangkat menjadi wakil direktur. Sebuah kehormatan besar untuk bisa mendapatkan kepercayaan dari Iren, well, meskipun dia adalah calon kakak ipar Dinda. Iren adalah sosok yang sangat profesional, baginya mencampuradukkan hubungan pribadi dan pekerjaan adalah pantangan absolut. Tidak hanya memiliki salon terkenal dengan banyak cabang di Jakarta, Lucy juga memiliki brand perawatan rambut-dengan pangsa pasar tersendiri dan mampu ludes dalam waktu beberapa jam setelah perilisannya. Dia bahkan berani mengangkat salah satu penyanyi terkenal di Indonesia sebagai brand ambassador-nya.

Dinda berdiri di hadapan para karyawan salon Lucy-yang jumlahnya ratusan-dengan jantung berdebar dan tubuh dingin. Hari ini merupakan hari spesialnya. Hari paling bersejarah karena dia berani mengangkat dagunya untuk menghadapi dunia dan bilang, "aku sudah berhasil.".

"Rasanya berdiri di depan ini, seperti mimpi. Mimpi yang terlalu indah, ya?" Mengenakan kemeja putih berbalut jas abu-abu, Dinda merasa kepercayaan dirinya seolah meningkat, adrenalin sekaligus endorfin mengalir deras, saling beradu untuk mendominasi. "Orang bilang, don't judge someone by the cover, tapi menurutku itu adalah kalimat bohong, karena hal pertama yang akan manusia nilai adalah penampilan. Seperti halnya membaca, seseorang tidak akan tertarik membaca buku yang kovernya kotor dan tidak menarik, kan?" Dinda menatap orang di hadapannya satu per satu.

"Maka dari itu, cita-cita saya adalah membuat orang terlihat cantik dan menarik, seperti halnya Estee Lauder pernah mengutip bahwa seseorang akan mudah dipercaya jika kamu terlihat bagus, ketika dunia sudah menyetujui, maka akan timbul rasa untuk menghargai. Bukankah begitu? Dan satu hal yang harus dibanggakan oleh para wanita adalah ini," Dinda menyentuh rambutnya, "setiap wanita dianugerahi mahkota untuk membuatnya percaya diri, tugas kita untuk merawat mahkotanya dengan baik dan salah satu makeup yang paling mahal adalah senyum di wajah. Semoga dengan adanya saya di sini, bisa memberikan kesempatan untuk memajukan salon Lucy. Terima kasih."

Ruangan gedung dengan ornamen lampu mewah menggantung di tengah ruangan itu terlihat ramai akan tepuk tangan. Dinda tersenyum, mengangguk penuh hormat, dia segera berbalik ke belakang panggung dan menemukan seorang lelaki tegap berbalut jas abu-abu berdiri sembari membawa bunga matahari. Jarak yang cukup dekat hingga Dinda bisa melihat bentuk wajah simetrisnya yang seperti pahatan dengan tulang pipi tajam serta hidung aristokrat. "Katanya nggak mau ke sini?!" Dinda menatap Geri jengkel.

"Rapatnya udah selesai," katanya singkat.

"Nggak mau peluk aku, nih?" Dinda membuka tangannya lebar-lebar, sembari tersenyum menyengirkan giginya.

Bukannya memeluk, Geri malah mengantarkan sebuket bunga matahari ke pelukan Dinda.

"Iiiih, hon-hon! Aku kan maunya dipeluk kamu, gimana tadi aku keren, kan? Keren dong! Ayo bilang aku keren." Dia masih berusaha agar Geri-si cowok dingin yang paling enggan memujinya itu-mau mengungkapkan sepatah-dua patah kata menyenangkan. "Hon-hh-" Geri segera membekap mulut Dinda dan menggeleng, memberi isyarat supaya dia tidak menyebutkan kata itu. Asli, Geri paling kesal kalau Dinda sudah memanggilnya 'hon-hon' meskipun sudah seharusnya Geri terbiasa dengan sebutan itu, setidaknya, jangan di depan umum. Bisa rusak reputasinya sebagai cowok keren dan bisa dianggap si bucin sejati.

Geri menurunkan tangan sewaktu dilihatnya Dinda mulai diam dan berhenti bersikap seperti anak yang tantrum. Padahal aksi Dinda tadi keren, terlihat berwibawa, tapi kok bisa-bisanya dia langsung menjelma menjadi cewek manja kalau sudah di hadapan Geri. "Hon-Hon, iiih," Geri berjalan, Dinda mengikutinya masih dengan bibir mengomel. "Aku tuh ngapalin pidatonya sebulan, bayangin Ger, untungnya aja nggak salah ya. Tadi grogi nggak, sih? Aku jelek, ya? Aduh, ngomong dong! Kalau bagus kasih selamat."

Mendengar Dinda masih terus mengoceh, Geri berhenti melangkah sampai kening Dinda menabrak punggungnya yang keras. "Aw, kebiasaan banget sih berhenti mendadak!" Geri menunduk tiba-tiba, menyejajarkan wajahnya dengan wajah Dinda. Lalu dia mengecup singkat bibir Dinda dan membisikkan sesuatu. "Tanpa aku bilang, harusnya kamu tahu, aku selalu bangga sama kamu."

****

Sejak satu jam lalu, Dinda melirik jalanan kota Jakarta yang terlihat padat dengan latar belakang kanvas hitam di belakangnya sembari tidak berhenti tersenyum. Tubuhnya seolah diselubungi gelembung kehangatan dan membuat hatinya terasa penuh. Ucapan Geri masih terngiang di kepalanya. Geri bukan tipe pria romantis, bukan seperti mantan-mantannya yang suka mengajaknya dinner di kafe mahal diiringi alunan biola dan sebuah lilin berpendar menerangi mereka berdua. Itulah yang membuatnya sulit ditebak, seperti teka-teki dengan tingkat kesusahan tinggi. "Kamu tahu kenapa orang gila suka senyum dan tertawa sendiri? Karena mereka suka berhalusinasi." Dinda menoleh, mengerucutkan bibirnya sewaktu mendengar itu.

"Masa pacar sendiri dibilang gila?"

"Terus apa kalau senyum-senyum sendiri?"

"Emang nggak boleh?"

"Nggak, senyum tuh harusnya bagi-bagi, nggak boleh sendiri gitu. Udah sampe, nih." Dinda menoleh ke jendela dan melihat kendaraan sudah berhenti tepat di depan pagar rumahnya.

"Keran di toiletku rusak, benerin dong? Dari kemarin tuh, udah dua hari aku susah mandi."

Geri mendelik. "Kan minggu kemarin udah aku bagusin? Kamu pakai tenaga apa, sih, sampe sering rusak gitu." Dia geleng-geleng kepala. "Jangan-jangan kamu jelmaan manusia super, ya?" Pengalaman akan mengubah sikap manusia, Dinda yang manja berubah menjadi seorang gadis tangguh. Saking tangguhnya sampai enggan meminta pertolongan ke orang lain-suatu hal yang terkadang Geri tidak suka-setiap pria pasti senang jika dirinya merasa dibutuhkan meskipun sesederhana memperbaiki keran. Kodratnya, hereditas yang diturunkan ke laki-laki adalah memiliki sikap memimpin, senantiasa berpikir dirinya lebih berguna dan insting untuk melindungi seolah terpacu keluar.

"Iya, kelebihanku, kok bisa-bisanya jatuh cinta sama cowok kayak kamu."

"Idih?" cowok itu mengernyit, menunjukkan ekspresi bertanya-tanya, "cowok kayak kamu tuh maksudnya gimana? Yang ganteng, keren, pinter, tajir, karismatik, gitu kan maksudnya?" Geri dengan tingkat percaya diri di atas rata-rata.

"Udah buruan turun, bantuin aku bagusin keran." Dinda segera melangkah keluar mobil dan masuk ke rumah. Mengambil kunci rumah dengan gantungan pisang dalam tasnya. "Assalamualaikum!" Kalau ada yang menyahut tentunya adalah sebuah keajaiban karena Dinda tinggal sendirian. Dia menghidupkan lampu.

"Perkakasnya ada di tempat biasa, ya. Sini aku bantuin." Dinda membantu melepaskan jas milik Geri, meletakkannya di sofa. Cowok itu menggulung lengan kemejanya hingga ke siku, menonjolkan lekuk otot bisepnya yang sudah terbentuk sempurna. Sementara Geri masuk ke kamar Dinda, cewek itu membaringkan tubuhnya di ranjang sembari menghidupkan lagu. Alunan lagu happy milik The Kooks memenuhi ruangan.

Mereka berdua adalah anomali, seperti yin dan yang, langit dan bumi, hitam dan putih, Geri dengan kehidupannya yang serba minimalis, bersih, dan teratur. Setiap orang pasti akan memiliki titik balik kehidupan yang membuatnya berpikir untuk berubah. Sama halnya dengan Geri, kuliah selama tiga tahun di Prancis berhasil membentuk kehidupannya menjadi lebih disiplin. Tinggal bersama ayahnya, berarti dia harus mandiri dalam segala hal, menyelaraskan ritme kehidupan dengan ayahnya yang super-sibuk sekaligus otoriter, meskipun sebetulnya berhati hangat dan perhatian. Tidak ada hal sia-sia jika seseorang ingin berubah, kini Geri bukan lagi Geri, si bocah SMA yang suka bikin onar di sekolah bahkan pernah tidak naik kelas atau Geri yang suka bolos karena pelajarannya tidak sesuai dengan minatnya. Melainkan Geri, pendiri sebuah perusahaan pengembang game yang telah mendunia, memiliki cabang di tiga negara di usianya yang masih 25 tahun. Sosoknya adalah idaman wanita, dan untungnya ruang kosong dalam hatinya sudah diisi oleh seorang gadis penyuka pisang dan bunga matahari bernama Dinda.

Sedangkan Dinda, baginya bersikap teratur adalah hal paling membosankan. Kalau seseorang menyatakan sukses adalah ketika seseorang merasa bahagia dan cukup atas dirinya, berarti Dinda sudah melampaui itu. Tapi standar sosial membentuk kesuksesan adalah ketika seseorang kaya raya dan berdaulat atas mimpinya, dan Dinda masih sedang berjuang mendapatkan itu. Dia juga ceroboh dan tidak menyukai keheningan, rasanya seperti hidup dalam sebuah kotak sunyi, betul-betul tidak cocok untuk karakternya.

Dinda melepaskan seragamnya, mengganti pakaian kerjanya dengan kaus kebesaran yang panjangnya selutut lalu mencepol rambut pirang panjangnya. "Hon-hon, kamu mau makan apa? Aku ada spaghetti, mi goreng, nasi goreng, sand-"

"Spaghetti aja."

"Spaghetti apa? Bolognaise, carbonara-"

"Terserah kamu, oke? Sekarang bisa beri aku ketenangan biar cepat selesainya?" teriak Geri.

Dinda nyengir, tertawa geli mendengar nada kesal dalam suara Geri. "Oke, siap 86!"

Sementara Geri sedang memperbaiki keran, Dinda menari-nari di dapurnya sembari mencincang bawang putih, bawang merah, dan paprika. "I wanna make you happy, I wanna make you feel alive ... Let me make you happy ... I wanna make you feel alive at night ..."

Dinda lalu merebus spaghetti dan mulai membuat racikan bumbunya. Geri melangkah keluar dengan rambut dan kemeja yang basah kuyup. "Udah selesai tuh kerannya."

Gadis itu memekik terkejut. "Ya ampuuun, hon-honku, kamu mandi aja gih udah basah gitu. Pakai baju Papa aja, ya?"

"Nggak usah, nanti juga kering."

"Nanti kamu sakit, kena paru-paru basah baru tahu rasa! Udah gih, nurut kenapa, sih?" Dinda berkacak pinggang, bertingkah seperti istri sedang memarahi suaminya yang bebal. Sebelum Dinda berceloteh lebih panjang, Geri akhirnya menurut. "Kamu mandi, aku taruh bajunya di kasur ya." Dia meletakkan sebuah sweter cokelat di kasur. "Spaghetti-nya juga belum matang, lama-lamain mandinya, oke, Hon-Hon?"

"Iya, Bawel!" Geri menyahut dari dalam. Dia mulai membuka bajunya yang basah, berniat menggantung ke belakang pintu dan terkejut melihat ada celana dalam berwarna pink dengan lambang Hello Kitty yang mencolok tergantung dengan pede-nya di sana. Dia meringis sembari geleng-geleng kepala. Setengah jam Geri mandi, dia mengeringkan tubuh, dan menggunakan sweter yang dipinjamkan Dinda. Entah kenapa justru pas sekali di tubuhnya. Dia segera keluar dan menemukan Dinda sedang menirukan gerakan moonwalk-nya Michael Jackson. Geri segera mengeluarkan ponsel, mengabadikan adegan itu dalam sebuah video. Dinda mengacungkan sepatu ke atas seolah dia adalah penyanyi andal yang sedang mengakhiri konser teranyar-nya. Tawa yang sejak tadi Geri tahan akhirnya meledak juga.

Melihat dirinya sedang direkam, Dinda justru memberi kecupan ke udara dan melambaikan tangan bergaya ala Miss Universe. "Sekian pertunjukan dari Lady Dinda, semoga Yang Mulia terhibur."

"Mana spaghetti-nya belum jadi juga? Udah laper nih, jadi kuli dadakan. Malah nggak dibayar lagi."

Dinda segera memindahkan spaghetti dari wajan ke piring dan segera menyediakannya di atas meja. Aroma pasta menguar ke udara membuat cacing dalam perut Geri bergerak ekspresif. "Ooh jadi minta dibayar, nih?" Dinda mendekatkan piring ke hadapan Geri, "nggak ikhlas, ah, pamrih banget."

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Iya dong," Geri menarik wajahnya dekat, sesuatu dalam intensitas membakar di mata Geri seakan menembus pertahanan yang dibangun Dinda. "Aku minta bayaran," nada suaranya seolah menggoda dan membuat berbagai kata kunci seakan menari selayaknya sekawanan kumbang di kepala Dinda. Wajah dan telinga Dinda memerah, Geri langsung meniup wajahnya. "Kamu mikir apa, sih? Yah ini bayarannya, sepiring spaghetti."

Tersadar bahwa dia telah dikelabui, Dinda segera menguasai diri. "Pikiranku udah ke mana-mana, tauk!"

"Emang mikirin apa?" Geri setia menggodanya, "mikirin apa hayo? Nggak mikir aneh-aneh, kan?"

"Udah ah, bahas yang lain aja."

"Ada yang mau aku omongin serius sama kamu." Suara Geri berubah. Dinda menengadah, kembali menatapnya. Ekspresinya juga berganti, yang semula cengengesan jadi berubah penasaran. Dia paling kesal kalau seseorang mengawali percakapan dengan kalimat seperti itu.

"Apa?"

"Kalau nanti kita nikah, plis, tolong hilangin kebiasaan kamu gantung celana dalam di belakang pintu!"

"Ya ampun!" Dinda refleks menutup mulut, "iya, aku lupa. Aduh kamu liat, ya? Ya ampun, malu banget." Wajahnya kembali memerah untuk kedua kali-bisa-bisanya dia lupa. "Kebiasaan dari dulu, susah tauk buat hilang. Tapi tunggu, berarti kamu udah nggak sabar ya nikah sama aku? Gemesin deh." Dinda mencubit pipi Geri gemas, dia lalu mengusapnya lembut. Perhatiannya tertuju ke wajah Geri yang terlihat lesu. Meskipun begitu tetap terlihat menawan, apalagi dengan rambut basah dan berantakan membuatnya terkesan seksi. "Mata kamu tuh udah cekung banget," jemari Dinda beralih ke bagian bawah mata Geri, "lingkaran hitamnya keliatan, jelek, kayak panda. Emang nggak bisa ya sehari aja kamu istirahat? Jangan kerja melulu gitu."

"Ada kewajiban yang harus aku lakuin."

"Terus mengorbankan kesehatan diri sendiri gitu?"

"Aku fine-fine aja, kok."

"Mau nunggu sampai kamu drop lagi?" Dua bulan yang lalu Geri pernah drop karena aktivitasnya terlalu padat, waktunya tidur sehari hanya tiga jam, sampai Dinda kesal sendiri mendengarnya dan entah sudah berapa ribu kali mengingatkan Geri supaya memperhatikan jam istirahatnya. "Aku jadi inget, waktu aku kecil Papa pernah ceritain aku bahwa manusia itu terlahir dengan kutukan karena seorang Raja bernama Sisyphus. Dia sering membangkang dewa dan akhirnya dilemparkan ke neraka, dia dikutuk untuk mendorong bongkahan batu besar ke sebuah bukit. Waktu batu itu berhasil di puncak, dia menggelinding kembali ke kaki bukit, karena dikutuk sama obsesinya untuk mendorong batu, pekerjaan itu jadi nggak pernah berhenti untuk selamanya."

"Menarik," komentar Geri singkat.

"Kita tuh hidup menanggung kutukan itu, bangun, makan, bekerja, istirahat terus menerus ulangi siklusnya tanpa henti. Upaya seseorang mendorong biar sampai di puncak itu cuma ilusi sesaat, udah di atas, lihat seseorang ada yang lebih lagi, terus muncul sikap nggak mau puas, kita akhirnya mendorong batu itu lagi. Kutukan yang bikin manusia nggak pernah puas dan terobsesi mendapatkan sesuatu."

"Oh ya? Coba kalau analoginya dibalik, gimana kalau mendorong batu itu justru hobi dan kesenangannya, bukan sebuah kutukan? Kalau tumbuhan sama hewan, dia nggak bisa melakukan apa-apa, tapi manusia kan dianugerahi kebebasan. Kutukan itu memang ada, tapi tergantung gimana manusia nyikapinnya. Aku senang-senang aja ngelakuin kebiasaanku, karena aku memang cinta sama pekerjaanku."

"Iya deh, nggak bisa menang kalau adu argumen gini sama kamu," Dinda menyerah, dia menyandarkan punggungnya di kursi. "Tapi hari ini aku senang banget, rasanya masih kayak mimpi. Nanti malam aku mau telepon Mama kasih kabar baik ini, oh ya, minggu ini kamu ada waktu free? Temenin aku ketemu Papa, yuk?"

"Lusa aku bisa, hari Kamis berarti, ya?"

"Oke, kamu bisa jam berapa? Pagi gimana? Sebelum aku berangkat kerja?"

"Boleh."

"Oke, kamu memang pacarku yang paling baik."

"Dasar. Emang kamu punya pacar selain aku, hm?"

****

Pandangan Geri sejak sejam lalu tidak terdistraksi dari tablet canggih berukuran setipis kartu ATM dalam genggamannya, sibuk menggulir layar membaca e-mail masuk dari rekan kantor. Lalu membalas satu per satu. Bahkan meskipun dia sudah meluangkan waktu untuk membalas, kotak itu tidak akan pernah kosong dan selalu ramai setiap harinya. Ada yang menawarkan untuk membeli lisensi gim buatan anak negeri, menawarkan kerja sama produk dalam bentuk merchandise, hingga membuat versi komik dari sebuah gim. Geri baru sadar, suara Dinda sudah tidak lagi terdengar padahal beberapa menit lalu dia masih bernyanyi dan menelepon ibunya. Geri menoleh.

Ternyata dia tertidur. Geri memiringkan wajah, menggoyangkan tangan di depan wajah Dinda. Geri menyingkirkan tabletnya ke atas meja, lalu meletakkan lengannya di leher Dinda, sementara satu tangannya di bawah lutut cewek itu, berniat memindahkannya ke kamar.

Dia membaringkan tubuh Dinda di ranjang, menyelimutinya dengan selimut bergambar Hello Kitty hingga menutupi leher. Geri tersenyum kecil, mengambil ponselnya, berniat mengabadikan sebuah foto. Dinda dalam keadaan tertidur adalah pemandangan terindah di matanya. Saat di mana gadis itu tenang, tanpa meneriakinya dengan panggilan 'Hon-Hon' atau berceloteh panjang lebar tentang kejadian seru dalam kesehariannya.

"Makanya, cepat nikahin aku, biar kamu bisa liat aku waktu tidur .. nggak perlu lewat foto." Dinda ternyata bangun. "Buat apaan fotonya?"

 "Nakut-nakutin kecoa."

"Ih, tega banget. Kamu tidur di sini dong, sehari aja."

"Nggak bisa, bahaya."

"Bahaya kenapa?" Ekspresi Dinda jahil dan memancing, "kamu tuh lurus juga ya orangnya? Aku kira dulu waktu SMA, kamu playboy, suka bawa cewek ke rumah tuh ngapain coba?"

"Nggak, kata siapa aku bawa cewek ke kamar? Ngarang!" Geri segera berdalih. "Mana pernah."

"Nggak pernah, ya? Kata Kak Iren."

"Nggak! Bohong banget. Nggak pernah ke kamar, paling ke ruang tengah, main gim bareng. Udah. Kamar tuh privacy dan terlalu sensitif."

"Terus kita ... apa?"

"Apaan? Ya kamu pacarku, tunanganku. Kok pake nanya?"

"Nggak tauk, ah!"

Dinda tidak mood untuk melanjutkan pembicaraan. Geri tersenyum tipis, mengusap kepala Dinda lembut, mendekatkan wajah dan berkata dengan nada yang lembut. "Aku pulang dulu, belum kasih makan Dolly." Dolly adalah nama anjing chihuahua miliknya yang diadopsi berdua dengan Dinda. "Dia pasti nyariin papanya."

Gadis itu tertawa geli dan mendorong Geri menjauh. "Ya udah sana."

"Nggak ada good night kiss?" telunjuk Geri terarah ke bibirnya, melihat Dinda yang menggeleng, cowok itu mengecupkan jemarinya dan menempelkan di bibir tipis Dinda. "Dari aku aja kalau gitu, aku balik ya. Dah. Jangan lupa kunci pintu dan periksa jendela. Good night."

----

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook : Storial
Instagram : storialco
Twitter : StorialCo
Youtube : Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Kisah untuk Dinda - BAB 2

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yudha

Berita Terkini Lainnya