Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Telaga Pink!

https://zenithtaciaibanez.files.wordpress.com/2012/10/pink-2.jpg
https://zenithtaciaibanez.files.wordpress.com/2012/10/pink-2.jpg

Telaga PINK! Seketika jidatku berkerut-kerut. Siapa yang mau habiskan waktunya mengecat telaga, apalagi pink? Setidaknya tak adakah warna lain. Aku tak alergi pink, aku suka Alecia Beth Moore. Kamu tau dia 'kan? Bagiku dia keren sekali. Banyak sekali lagu yang dinyanyikannya dan kudengarkan setiap hari. Kamu tahu lagunya pasti? Get party started, God is DJ, I don't believe you, Love song, Give me a reason, sudah ingatkah? Dialah pink yang benar. Tapi, untuk warna pink aku terganggu!

Aku menguap berkali-kali, mataku masih berusaha membaca novel di pangkuanku meski otakku sudah tak bisa mengingat kata yang kubaca sedetik sebelumnya. Tapi Linda benar-benar tak peduli. Sahabatku itu masih kekeuh memohon agar aku menemaninya weekend ini. Aku sudah bilang kepadanya, “Tak adakah tempat lain?” Malah dia semakin meracau, dijelaskannya berkali-kali telaga pink adalah telaga cinta, barang siapa menemukan cintanya divsana itulah jodohnya.

Aku tertawa keras sekali, bahkan tawaku membangunkanku dari kantuk. Aku tak peduli cerita temanku itu. Aku memang memuja cinta tapi aku tak percaya cinta begitu saja. Aku anggap cinta sudah langka. Kalaupun ada mungkin sejuta banding satu. Karena saat ini setiap kata cinta memiliki tendensi. Bukannya Linda tidak tau apa isi hatiku. Tapi Linda tetaplah Linda. Yang  keinginannya selalu terwujud. 

Dia tidak egois karena memang begitulah dia. Dengan empat kakak laki-laki dan menjadi bungsu wajar tentunya. Akhirnya aku mengangguk bukan karena cerita Linda tentang cerita "cinta sejati", tapi karena aku sudah mengantuk lagi. Linda sahabatku. Mungkin, dia sahabatku satu-satunya dan begitu pula sebaliknya. Tak sedikit orang yang kami kenal, tapi kami sama-sama malas memahami semua orang. Setiap orang memiliki sifat masing-masing dan sebagai seorang teman haruslah saling mengerti, tak boleh iri dan memaki. Satu kesamaan kami, selain tak mau diganggu dan menganggu, kami juga tak mau kepo urusan orang. Menjadi diri sendiri, lebih menyenangkan. Dan menjadi seorang teman itu tak mudah. 

Aku yakin azan subuh belum berkumandang. Linda sudah sibuk membangunkanku dengan dering telpon tiada henti. Tak kuingat kapan dia meninggalkan kamarku. Baru satu sepatu kupakai, sebuah pajero hitam berhenti perlahan dihalaman rumah. Aku lihat dari balkon kamar. Ada degup kecil di hatiku. Linda menjadikan Alvin abangnya nomor dua menjadi supirnya kali ini. Aku tak punya kakak dan adik tapi aku bersyukur orang tuaku menyayangiku dengan cukup sehingga aku tak pernah merasa kesepian. 

Meski mungkin semua orang melihat dengan kacamata berbeda. Kucium pipi ayah bundaku sebelum kususul Linda ke mobil, kulihat sekilas tampak Alvin manggut-manggut di depan ayah, mungkin dia disuruh hati-hati dijalan. Tak kuperhatikan lebih lanjut, karena beberapa menit kemudian Alvin sudah terlihat berjalan kearah mobil. Lima menit kemudian kami melaju di jalanan. Kuminta Alvin menyetir perlahan, karena ada titipan dari Bunda. Alvin mengerti dan mungkin sudah menebak apa yang akan kulakukan, tanpa bicara dia memperhatikan kanan dan kiri jalan. 

Akhirnya kulihat petugas penyapu jalan yang hampir menyelesaikan pekerjaannya, aku kenal tukang sapu tua itu sejak masih kecil. Tiap hari dia lewat depan rumahku. Sering Bunda meminta bantuan membersihkan kebun belakang. Orangnya rajin sekali, aku pernah mengobrol dengannya. Istrinya lumpuh bertahun lalu, ketika itu istrinyalah yang bertugas sebagai penyapu jalan. Dia bukan suami yang baik. Pekerjaannya hanya berjudi dan minum-minuman keras. Tidak bekerja membuatnya selalu minta nafkah dari istrinya. Tak jarang dipakainya uang yang harusnya dipakai makan atau membayar biaya sekolah anak semata wayang mereka. Hingga akhirnya istri yang baik itu menjadi korban tabrak lari dan suami yang brengsek itu kini menjadi baik.

Tak ada yang mengerti bagaimana dia bisa berubah. Jam tiga pagi dia memulai pekerjaannya, jam tujuh dia pulang memandikan dan membuat sarapan untuk istrinya. Setelah dia membereskan rumah, barulah kembali dia bekerja. Anak semata wayang mereka kini sudah bekerja, tapi suami tua itu tetap memaksa bekerja. Mungkin ingin menebus dosa. Alvin terdiam mendengar ceritaku karena pernah aku bercerita padanya dan Linda kulihat mengelap air matanya dengan tissue. 

Kuminta Alvin berhenti sebentar. Beberapa paket sembako kuberikan kepada tukang sapu beruntung itu untuk dibagi dengan teman-temannya. Aku yakin dia beruntung, jika tidak karena cinta istrinya tidak mungkin dulu dia bisa bersenang-senang. Dan tidak mungkin tanpa doa penuh cinta dari istrinya dia menjadi baik seperti ini. Cinta memang susah dimengerti. Tak kupedulikan ucapan terima kasih dan doa-doa itu, aku juga tak bicara. Hanya mulutku yang tersenyum. Linda juga tersenyum.

Alvin mengawasi aku dan Linda dari balik setir. Tak dimatikannya mesin mobil karena aku yang memintanya begitu. Setelah kulambaikan tanganku ke tukang sapu beruntung dan teman-temannya. Alvin kembali melajukan kendaraan perlahan. Belum ada setengah jam kami melanjutkan perjalanan, kulihat Linda sudah memeluk boneka lumba-lumbanya. Aku dan Alvin menghela nafas dan tertawa. Seakan ada seseorang yang baru meniupkan "mantra sirep" Linda kini sudah tertidur dengan nyamannya. 

Alvin mengenggam jemariku perlahan. Tak kutolak dan tak kuterima. 

"Kamu masih marah?", Alvin melihatku sebentar sebelum kembali fokus ke jalan. 

"Mana pernah aku marah Vin, kita memang tak jodoh", kataku enteng dan diam. 

Alvin tak memaksaku dengan terus bertanya, digenggamnya jemariku erat-erat tak peduli mungkin jika Linda melihatnya. Aku merasa Alvin agak aneh hari ini. Tapi jika kuingat-ingat dia memang begitu. Selalu ingin melindungi, hingga tak akan disia-siakannya setiap wanita yang mendekat padanya. Kudenguskan nafasku kesal, aku ingat hari itu. Baru sebulan setelah Alvin bilang "sayang". Aku masih berseragam putih abu. Alvin tak datang menjemputku. Tak ada kabar dan berita. Tak ada telpon, text dan BBM, WA, LINE. seminggu berlalu. Dan begitulah, menguap tak berbekas. 

Terakhir kudengar Alvin sudah menyelesaikan kuliahnya di London. Dan sekian lama baru kali ini kulihat lagi. Mungkin dia sudah belajar banyak di sana tapi aku berusaha tak peduli. Kupejamkan mataku. Aku rasa ada yang menyentuh bibirku, kubuka mataku. Kulirik Alvin, dia hanya memandangku sekilas. Kudengar dia bergumam “Tak suka ditinggal nyetir sendirian.”

Aku tersenyum mendengarnya merajuk, bayangan dulu kembali berkelebat. Meski Alvin sudah kuliah waktu itu, dia manja sekali. Tak pernah bisa aku marah padanya, karena wajahnya bisa memelas seperti Lody, kucing persiaku dirumah. Aku pikir dulu Alvin akan jadi cinta pertama dan terakhirku tapi jodoh memang ditangan Tuhan. Tak akan tahu kemana cinta akan berlari.

Jalan beraspal licin mulai menyempit. Beberapa kilo berlalu banyak pohon tusam kulihat dikanan dan kiri jalan. Begonia dengan bunga merah cerah tampak  tumbuh menempel dipinggir aspal seakan terusir dari rapatnya hutan dan ingin melintas keseberang jalan aspal dan turun ke lembah. Tentu saja jalan berkelok-kelok. Kadang naik dan kadang turun. Tak lama semak pakis tampak berjubel menggantikan begonia, morning glory ungu tampak cantik berhimpitan  di antaranya. 

Ketika jalanan menanjak jurang batu yang curam menampakkan bibirnya, seberapa dalam aku tak tahu karena tak terlihat dasarnya dari dalam mobil. Meski kutempelkan mukaku lekat-lekat kekaca mobil tapi tak berhasil menembus kedalaman jurang itu. Masih kulihat banyak pohon-pohon tusam dikanan-kiri jalan, sedikit kubayangkan kebakaran di musim kemarau pasti tak akan habis api dalam seminggu menikmati tiap bagian pohon tusam itu. 

Kulihat kembali kebelakang Linda masih tidur. Bahkan ketika Alvin bilang tanjakan telah berakhir dan mobil mulai menuruni bukit. Tak kulihat Linda ingin membuka mata. Jauh di bawah terhampar danau hijau, pepohonan hijau dan pita-pita pink menyedihkan terbuai angin. Semakin dekat semakin jelas terlihat. Di mana pita-pita itu terlilit, di pepohonan sekitar danau, di pagar-pagar kayu, di tiang-tiang listrik dan itu banyak sekali. 

Tak habis pikir bagaimana mereka mengikat pita itu diujung-ujung pohon. Di akar-akar yang menjuntai ketelaga bahkan dipulau kecil tengah telaga. Kulihat memang ada sampan kecil tapi sebegitukah perjuangan mereka hanya untuk mengikat pita-pita pink itu. Bukankah cinta itu cukup dua hati dan sebuah cinta. Bukan sekadar pita yang melilit. Tak peduli seberapa sulit cara mereka melilitkannya. 

Alvin menghentikan mobilnya dipinggir telaga, ada banyak bangku taman berjajar cantik dan semua menghadap telaga. Entah kapan Linda terbangun, kulihat dia sudah melompat kegirangan dengan kameranya. Aku tak berminat mengikutinya. Kusandarkan tubuhku ke bangku taman cantik ditepian telaga. Percayakah kamu banyak pita pink setengah basah melilit-lilit di bangku ini. Kuangkat kakiku dan kuletakkan di pagar pengaman tepi telaga yang sekali lagi penuh pita pink. Kutarik nafas dalam-dalam, kupenuhi paru-paruku dengan oksigen bersih pegunungan. Aku berharap tetap waras di tengah ribuan pita-pita pink telaga ini. 

Alvin duduk disebelahku, setelah melayani beberapa foto bahagia versi Linda kurebahkan kepalaku kebahu Alvin. Entahlah aku sedikit rindu padanya. Tangannya melingkar dibahuku, aku tak keberatan, kami terdiam. Aku tak yakin kemana mata Alvin memandang, mata dan otakku terlalu sibuk merekam rombongan burung sriti yang bermain-main diatas telaga. Sekali-kali mereka terbang menjauhi air, beberapa detik kemudian mereka menukik cepat diatas air. Tak begitu jelas mereka hanya minum atau mandi karena kabut tiba-tiba memenuhi telaga. Sama tak yakinnya dengan yang dilakukan burung-burung hitam itu, aku juga tak yakin darimana kabut berasal. Dari air telaga yang menguap entah dari bukit dan turun ke telaga.

"Telaganya tidak pink", seru Linda tiba-tiba membangunkanku dari kebisuan. 

Mungkin dia sudah lelah berkeliling, dihempaskan tubuh langsingnya disebelahku. 

"Syukurlah" jawabku enteng. Linda mendengus kesal. Sesaat dilihatnya aku, Alvin dan aku lagi. 

"Kalian pacaran ya? Bawa pita pink ndak? Ayo buruan ikat", aku dan Alvin hanya tertawa dan kini kulihat Linda terdiam.

"Kalian kayak pacaran," kalimatnya pelan dan perlahan disandarkan kepalanya di bahuku. Alvin mengacak rambutnya lembut dan Linda tak menolaknya. Sebentar kami terdiam bersama, menikmati kesunyian telaga hijau yang tercemar pita pink!

Matahari seharusnya sudah tinggi, tapi tak kami rasakan panasnya. Malah kabut membuat badan sedikit menjadi dingin. Alvin mengajak kami ke mobil. Di sisi lain telaga kami temui sebuah kedai kecil dan penginapan. Ada beberapa mobil bagus terparkir rapi dihalamannya. Dari luar yang tampak hanya sebuah kedai kayu kecil yang manis dan penuh lumut diatapnya. Otakku langsung melayang ke film-film penyihir ditengah hutan. Belum selesai aku melamun Linda menarik tanganku untuk segera melewati pintu. Tangannya terasa dingin.

Bagian dalam kedai kayu itu sangat memukau. Yang pertama tidak ada warna pink, melegakan sekali. Tiga puluh langkah lurus setelah kita membuka pintu akan terlihat meja bar, meja kasir atau semacam itu. Meja itu terbuat dari kayu yang dipernis hitam mengkilat. Kulihat seorang Oma tua tersenyum disana. Di kanan dan kiri akan kita temui meja-meja kayu dipernis hitam mengkilat juga, setiap meja memiliki empat kursi rotan yang antik. Tepat ditengah ruangan ada sofa setengah lingkaran twin menghadap perapian yang hangat. Beberapa meja telah terisi beberapa pasangan remaja bahkan ada juga yang separuh baya. Tak semua memancarkan rona pink bahagia, disudut terlihat jelas ada yang menangis, aku tebak dia patah hati.

Meja sebelah kiri nomor tiga dipilih Linda. Ada jendela kaca membingkai sebagian dari telaga, pohon besar penuh ranting yang dililit pita pink dan jalan setapak yang entah kemana. Pilihan yang menarik. Sejenak kami bahkan lupa dimana, pemandangan diluar seperti menyuruh kami untuk diam dan melihat saja. 

“Hallo, selamat siang”, tiba-tiba seorang wanita cantik menyapa kami. Kulihat sekilas ada binar nakal dimata Alvin. Aku mencibir dengan nyata, tak kupedulikan Alvin melihatku atau tidak. Wanita cantik itu bernama Laura, dia anak pemilik kedai ini. Tak kusangka dia menawarkan coklat dan teh dalam teapot bukanya wedang jahe dan semacamnya. Lebih aneh lagi tak ada mie di sini karena dia hanya menawarkan pai dan steak daging kijang. Sejenak aku terdiam sambil melihat punggung Laura yang berjalan menjauh, di belantara mana sebenarnya kami saat ini. Apakah ini masih di bumi pertiwi ataukah belahan dunia yang lain.

“Hanya ada tiga kedai dan dua penginapan ditempat ini”, Linda berbicara tanpa melihat aku maupun Alvin. Di tangannya terlihat semacam brosur panduan wisata. Begitu aku ingin merebutnya, seketika itu pula Linda menariknya menjauhkan dari jangkauanku. Tangan kirinya menunjuk sebuah rak di kiri pintu masuk. Aku melihat memang ada setumpuk brosur di sana bersama buku-buku tebal yang tertata rapi. Tak hendak aku berdiri, akhirnya hanya diam mendengarkan Linda melanjutkan membaca. 

“Dahulu kala ditempat inilah anak seorang jendral Belanda melarikan diri bersama seorang gadis pribumi. Mereka bertahan hidup di belantara karena cinta mereka tidak direstui. Mereka dinikahkan oleh seorang pelayan sang anak Jendral dan akhirnya memutuskan tinggal disini dengan mengandalkan hewan buruan, bercocok tanam serta memancing”, begitulah cerita singkatnya, akhirnya Linda menyerahkan brosur itu padaku. Aku membaca ulang semua dan terjawab sudah bagaimana pai, teh putih dan steak itu ada disini. Aku menebak Laura mungkin keturunan sang anak jendral karena dia memiliki mata biru dan rambut coklat yang Indah. 

Tepat setelah aku membaca, Laura datang dengan pesanan kami. Tak lupa Alvin langsung menanyakan penginapan. Laura berkata hanya tinggal satu kamar tersisa di penginapan yang dia kelola. Dia berjanji tempatnya sangat indah. Ada dua tempat tidur di dalam ruangan, satu kamar mandi dan teras belakang yang memukau. Aku dan Linda langsung mengangguk mendengar penjelasan Laura. Namun Alvin terlihat enggan sekali mengangguk barang sebentar. Dengan terang-terangan dia menatap Laura dengan penuh kekaguman. Akhirnya sekali lagi Laura meninggalkan kami. 

Tanpa menunggu lama, pai berry hutan berukuran sedang dihadapan kami berpindah keperut. Painya gurih sekali, tidak terasa sama sekali tepungnya yang kering. Berry hutan itu terasa manis seakan menari-nari dilidah. Jika aku juri master cheft, pai ini layak mendapat angka sembilan dari sepuluh. 

Selesai menikmati pai dan teh, Alvin melangkah ke meja kasir. Tak berselang lama Alvin kembali kemeja. Ditunjukkannya kunci kuno yang berwarna tembaga. Penginapan berada di belakang kedai. Sebenarnya ada pintu kecil dibelakang meja kasir, tapi Alvin bilang kalau Laura menyarankan untuk berjalan memutar menuju penginapan. Kami keluar dari pintu depan kedai. Alvin berjalan kearah kiri kedai. Aku dan Linda mengikuti dibelakangnya. Tepat di samping kedai ternyata ada jalan berbatu kira-kira selebar dua meter. Puluhan pohon cemara berjajar rapi kebelakang. Tanpa membuang waktu Linda memaksa kami berpose sesuai arahannya. Bak photographer professional, hitungan satu, dua dan tiga slalu di ucapkannya. 

Ketika kabut mulai turun lagi, Linda menghentikan polahnya. Dalam hati aku berucap syukur, kekaguman yang diperlihatkan Alvin secara terang-terangan kepada Laura membuat hatiku gerah, aku menjadi agak tak nyaman bermanis-manis di sebelah Alvin meski untuk menyenangkan Linda. Linda meneriakkan kata “wow”, lumayan kencang. Matanya terbelalak seakan lupa dengan kamera ditangannya. Biasanya Linda tak pernah lupa mengarahkan kamera pada apapun yang menurutnya bagus. Bahkan, dia bisa menemukan keindahan dari dedaunan yang luruh dipinggir jalan. 

Dia seperti tersihir kali ini. Binar matanya terlihat indah menatap sebuah taman dipinggir lembah. Taman itu hampir tak terlihat. Pintu besinya tersembunyi di antara pohon cemara. Setelah saling bertatap tanpa ragu kami melangkah. Pintu besi hitam itu terbuka lebar seakan telah lama menunggu kedatangan kami. Jalan setapak kecil menyambut kami, lantainya yang dihiasi batu-batu putih siap menghantar kami berkeliling.

Di kanan dan kiri lebolia putih tampak mekar dengan indahnya. Di depan pintu besi sempat terlihat sebuah patung pualam malaikat besar yang tampak takzim menunduk menatap lantai, nyatanya bukan lantai yang kami temui namun kolam bening berdinding bebatuan putih dan entah nyata atau tidak banyak ikan berwarna putih dikolam itu. Hanya ada beberapa bangku ditaman putih ini, semua menghadap lembah yang dipenuhi pohon tusam. Tampak gelap di sana, dan sangat putih di sini. Belum sempat kami duduk dibangku putih itu, kabut mulai turun, kali ini agak lebih pekat memaksa kami untuk segera meninggalkan taman.

Kami berlari-lari kecil menyusuri setapak putih dan terus berlari ketika kembali di jalan berbatu dua meter. Kami bertiga tak berhenti berlari sampai diteras penginapan. Tak sempat kuperhatikan dari jauh penginapan kami seperti apa. Yang aku lihat saat ini, penginapan ini berdinding batu, kamarnya berjajar rapi menghadap ke telaga. Letaknya beberapa ratus meter dibelakang kedai. Sebuah bangunan rumah kaca terletak di antaranya. 

Aku menebak mungkin di sanalah Laura menanam sayur dan bunga yang dipakai menghias setiap meja di kedai. Namun aku menjadi sedikit tidak yakin karena di taman putih tadi kulihat banyak juga mawar putih yang masih kuncup ataupun sudah mekar sempurna. Tak berapa lama kami temukan kamar nomer tujuh. Di setiap kamar memiliki teras dengan sepasang kursi kayu dan meja kayu yang lagi-lagi berwarna hitam.

Sebagai satu-satunya cowok, Alvin membukakan pintu untuk kami. Tepat selangkah setelah pintu, sebuah lemari besar siap menampung semua barang bawaan kami. Tempat tidur besar tampak mendominasi ruangan, sebuah tempat tidur kecil tepat disampingnya, merapat memeluk tembok. Tempat tidur itu lagi-lagi berwarna hitam, bantalnya memakai sarung putih, seprainya juga putih hanya bed covernya berwarna abu-abu lembut. Korden hitam menutup dinding bagian belakang. 

Betapa terkejutnya kami begitu Alvin menariknya yang kami temui adalah dinding kaca dengan pintu besar geser di tengahnya. Linda melompat kegirangan kami memiliki teras belakang yang cantik. Tak sampai di situ teras belakang kami juga dihiasi air terjun kecil yang merapat di dinding tebing batu yang tak terlalu tinggi. Airnya mengalir jernih dari ketinggian tak sampai sepuluh meter. Di bawahnya air menggenang di kolam yang sengaja dibangun dengan bebatuan alam yang hasilnya sangat luar biasa, tak seperti buatan manusia. 

Ada beberapa orang yang sedang bermain-main di bawah air terjun. Meski teras belakang kami tak terhubung, terpagar rapat dengan pagar kayu yang tinggi. Namun, kami memiliki kolam dan air terjun yang sama. Tanpa menunggu lama Alvin dan Linda menceburkan diri kekolam, mereka bergabung dengan beberapa orang yang sudah ada disana. 

“ Airnya hangat, ayo sini”, Linda meneriakiku keras sekali. Aku mengernyit, tempat ini memiliki banyak sekali hal menarik.

Tapi kemudian aku menggeleng ketika Linda berteriak lagi. Kuganti celana panjangku dengan celana pendek yang tak sampai lutut. Meski aku tak mau bergabung dengan mereka tak berarti aku tak suka air. Begitu aku duduk di tepian kolam yang berlantai kayu, baru kusadari ada sebuah botol dan beberapa gelas dimeja bulan di pojok teras. Letaknya rapat, agak sedikit tersembunyi di seberang dua kursi malas yang menghadap kekolam. 

Aneh bin ajaib ada beberapa botol red wine disitu. Kubuka satu botol tak langsung kutuang tapi kubawa ketepian kolam. Kubawa tiga gelas, sembari kucelupkan kakiku ke air kuangkat gelasku tinggi-tinggi dan memanggil Linda. Terlihat Linda penasaran, dengan segera dia merapat menghampiriku. Bibirku tersenyum ke Linda tapi sudut mataku melihat Alvin di seberang dengan cemburu. Kali ini Alvin sibuk mengobrol dengan seorang gadis berbikini merah.

Linda mengecap lembut wine dimulutnya. Dia duduk tepat disebelahku. Kakinya menggantung di pinggiran kolam. Dia tak bicara, terdiam sama sepertiku, matanya lurus kedepan. Mungkin otaknya ingin mencerna tempat ini, sama sepertiku tadi. Bedanya otakku tak bisa jauh-jauh dari Alvin. Sinar matahari mulai menghilang. Tak ada senja merah. Mungkin karena koordinat kami yang berada dibalik bukit. Beberapa kali suara guntur bersahutan dilangit. Beberapa kilat tampak menyambar bergantian. Kuminta Linda meninggalkan kolam begitu angin kencang mulai terasa mengganggu. Linda mengangguk dan berteriak memanggil Alvin.

Aku sudah tak melihat Alvin lagi, aku malas meredam amarah. Kubawa gelas wine dan botolnya kekamar. Linda membilas badannya dikamar mandi. Nyaring suaranya memanggilku dan bersamaan dengan Alvin yang masuk kamar akupun menghampiri Linda di kamar mandi. Luar biasa sebuah bathtub pualam besar mendominasi kamar mandi putih itu. 

“Airnya juga hangat”, tiba-tiba suara Alvin terdengar hanya beberapa senti dari telingaku. 

Sebelum aku beringsut mundur kusuruh Linda untuk segera mandi biar tidak masuk angin. Kuletakkan botol wine di meja kecil disebelah ranjang hitamku. Tentunya setelah kutuang sedikit di gelasku. Kunyalakan TV besar yang menempel di dinding kamar. Dengan sudut mataku kuperhatikan Alvin sudah berganti pakaian. Dengan santai dia juga menuang sedikit wine digelas. Sesaat selanjutnya dia berjalan kearah pintu geser kaca yang belum tertutup sempurna.

“Anginnya kencang sekali, seperti badai”, Alvin seperti ingin berbicara kepadaku. Aku melihat sekilas meski lampu  di belakang tidak terlalu terang dapat kami lihat angin kencang sudah membalik kursi malas diteras belakang. Begitu Linda selesai mandi, terdengar sebuah ketukan dipintu depan. Dengan lincah Linda membuka pintu. Terasa hembusan angin berusaha menerobos keseluruh ruangan. Terdengar Linda berbicara dengan seseorang dan kemudian buru-buru menutup pintu. 

“Ayo siap-siap makan malam, ada Pak Deki diluar siap mengantar ke kedai”, Linda meraih jaketnya di kursi. 

“Kan diluar hujan dan angin”, tanyaku bingung tapi tetap berdiri dan mengambil jaket. Linda tidak menjawab malah berjalan mengikuti Alvin ke depan. Seorang tua dan beberapa orang yang kulihat tadi di kolam belakang sudah tampak berkumpul di depan kamar. Orang tua itu terlihat melihat wajah kami satu persatu, sesaat kulupakan udara dingin yang menusuk. Kuamati sekelilingku, dalam redupnya cahaya tampak betapa garangnya angin malam ini. Pepohonan di luar tampak meliuk kekanan dan kekiri terhempas oleh kuatnya angin. 

“Ikuti saya”, begitulah kira-kira yang di ucapkan Pak Tua yang memiliki nama Deki itu. Sebuah genggaman hangat menenangkan hatiku yang sedih melihat polah tingkah angin. Alvin menggengam jemariku kuat sekali, entah apa yang ada dalam pikirannya. Kami kira-kira berdua belas mengikuti Pak Deki, ke kamar yang paling ujung. Menjauh dari jalan berbatu. Tampak beberapa orang sudah menanti disana. Di belakang mereka sebuah pintu kayu besar tampak kokoh meski terlihat tua dan usang. Pak Deki mengeluarkan sebuah kunci berwarna perak dari kantung jaketnya. 

Dibukanya pintu kayu itu. Beberapa orang tampak membuka mulutnya. Di balik pintu kayu kuno itu kami melihat sebuah lorong dengan karpet merah dilantainya. Masih dengan dinding batu dan lampu-lampu dinding kuno dikanan-kirinya. Pak Deki melangkah masuk duluan dan cepat-cepat menyuruh kami mengikutinya. Bak robot yang sudah terprogram kami mengikuti beliau. Alvin masih mengenggam jemariku. Tangannya terasa sangat dingin, sekilas dapat kulihat wajahnya agak pucat. Dia sempat tersenyum melihatku memperhatikannya.

Akhirnya kami berhenti di depan pintu kayu lagi, kali ini Pak Deki langsung memutar handlenya. Sebuah ruangan hangat dengan buku-buku tersusun rapi di tiap rak ada di belakangnya. Pak Deki tak membiarkan kami mengagumi ruangan itu. Setelah berdehem dia menyuruh kami mengikutinya lagi. Sebuah lorong masih dengan karpet berwarna merah membawa kami ke sebuah ruangan lainnya. Sebuah pintu kayu lagi dan ruangan itu kami kenali, ruangan ini adalah kedai di mana tadi kami bertemu Laura. 

Beberapa orang langsung memilih tempat duduk masing-masing tanpa menunggu perintah Pak Deki lagi. Sebagian memilih duduk di sofa tengah ruangan, karena ada api unggun di tengahnya. Jika kebetulan duduk di sofa itu dan mendongak keatas dapat kami lihat, sebuah cerobong tua yang aneh. Tak seperti kebanyakan cerobong asap atau perapian yang menempel di dinding, kali ini perapian tepat berada di tengah ruangan.

Tak menunggu lama, keluarlah beberapa orang membawa salad dan steak serta kentang tumbuk. Masing-masing meja mendapatkan porsi yang cukup. Salad di mangkuk saji hampir semua aku yang menghabiskan, ada tomat ceri, paprika merah,paprika hijau, batang seledri dan beberapa daun-daunan yang tak kukenali. Mungkin karena seharian aku cuma makan pai, perutku terasa lapar sekali. 

Begitu makanan di meja makan mulai habis, kali ini seorang tua bernama Elien yang akhirnya kutau adalah mama dari Laura menawarkan hidangan penutup. Ada dua hidangan penutup yang ditawarkan ke kami kali ini, pudding coklat atau pudding vanilla orange. Karena kami bingung memilih akhirnya Oma Elien mengantar dua hidangan penutup kepada aku, Linda dan Alvin. Dan karena enak sekali tak ada sisa sedikitpun di piring kecil kami. Luar biasa.

Setelah piring-piring kecil makanan penutup diangkat dari meja, sesaat kuperhatikan keluar jendela. Dalam gelap liukan pepohonan besar bagaikan monster terantai hanya sanggup meronta tak sanggup berjalan. Ditambah pita-pita pink yang kini berwarna hitam gelap, menjelma bagai rambut-rambut panjang terurai mengerikan.  Tiba-tiba dibalik semak di bawah salah satu monster terlihat dua cahaya merah berdekatan. Aku sempat terkejut dan terdiam. Namun, kemudian kudengar bisikan ditelingaku yang aku yakin punya siapa. “ Itu hanya mata kijang yang tersesat karena badai”. Kuputar kepalaku begitu tak kurasakan nafas Alvin di telingaku. Dan seperti biasa dia hanya tersenyum. Wajahnya masih sedikit pucat. 

Tepat setelah jam dinding di atas pintu masuk berdentang sepuluh kali, Pak Deki mengantarkan kami semua kembali ke kamar. Masih melewati lorong dan ruangan yang sama. Masih dengan karpet merah yang sama. Satu hal yang menarik perhatianku, di ruangan penuh buku yang mungkin adalah sebuah perpustakaan yang tadi tak terlalu ku perhatikan. Kulihat sebuah lukisan besar disalah satu dinding gelapnya. Seperti lukisan sebuah keluarga, dengan gaun kunonya. Mungkin foto keluarga besar Laura, hanya kufikirkan sebentar karena tak ingin tidurku tak nyaman karena mimpi seram nanti.   

Begitu keluar dari ruangan penuh buku, Pak Deki membuka pintu lain. Awalnya tak ada yang menyadari itu adalah pintu. Karena terletak dibalik gorden. Setelah Pak Deki menarik kain gorden maka terlihatlah sebuah pintu geser kaca yang lumayan besar. Mirip pintu geser yang ada dikamar kami. Begitu pintu terbuka, aroma wangi langsung tercium. Dan mata kami dimanjakan dengan macam-macam bunga yang memenuhi rumah kaca itu. Tanpa mendengarkan Pak Deki, dapat kulihat bunga widjaya kusuma merah dan putih yang tengah mekar sempurna sungguh sangat langka, bermacam-macam angrek, mawar merah, mawar kuning, zinnia, daisy, gazania,gloriosa dan entah bunga apalagi aku tak ingat namanya. Kudengar sekilas disebelah rumah kaca ini ada rumah kaca lain untuk menanam bermacam sayuran.

Dan akhirnya kami keluar dari rumah kaca paling keren yang pernah kulihat. Angin kencang menyambut kami dengan dahsyat. Koridor dari rumah kaca dan teras kamar kami sebenarnya tidak terlalu jauh. Namun, karena hempasan angin bercampur air membuat kami sedikit terhuyung. Dan begitu Linda berhasil membuka pintu kamar, langsung kami berlomba memasuki ruangan. Suara angin di luar menderu-nderu, tapi begitu tenang didalam. Mungkin karena dinding batu kamar kami begitu tebal.  Kulihat Alvin dan Linda langsung menghangatkan diri dalam selimut. Kupilih mengisi bathup dan merendam diri dalam air hangat.

Entah siapa yang terbangun duluan, Alvin atau Linda. Yang pasti begitu kubuka mata, pintu geser telah terbuka. Ada teko teh dan roti bakar di meja. Suara Linda terdengar nyaring dari arah teras belakang. Entah dia mengobrol dengan siapa. Tak banyak yang kami lakukan pagi itu, hanya sarapan, packing dan pamit ke Laura dan Oma Elien. Agak berat sebenarnya tapi Alvin harus ke Singapura untuk sebuah pekerjaan, aku dan Linda juga harus kuliah. 

Seminggu berlalu bahkan sebulan tak ada kabar lagi dari Alvin. Dalam diam sungguh aku masih mengingatnya. Aku merindu lagi karena bertemu lagi dengannya. Seperti ada alasan baru untuk kembali menantinya. Mulutku kelu jika mungkin aku harus bertanya pada Linda. Dan parahnya Linda tak menjadi teman baikku kali ini. Sedikitpun dia tak peka kalau aku sangat rindu pada kakaknya itu. Beberapa hari setelah liburan itu, Linda hanya sempat datang sekali kerumah mengantar foto-foto liburan kami. Dan setelah itu dia juga menghilang. Aku dan Linda memang berteman, tapi kami kuliah di kampus yang berbeda dan kali ini kami sedang serius menghadapi skripsi yang sudah kami lewatkan setahun lalu karena sibuk dengan acara jalan-jalan kami. 

Belum hilang gelisahku kembali kehilangan Alvin. Rencana pernikahan sepupuku benar-benar menggangguku. Aku anak tunggal tapi tidak dengan Ayah dan Bunda. Mereka memiliki beberapa kakak dan adik. Kali ini sepupuku anak dari adik Bunda akan menikah. Dia anak tunggal sepertiku. Usianya beberapa tahun dibawahku. Dia belum selesai kuliah dan akan menikah bulan depan. Entah apa yang ada difikirannya, tapi itulah yang terjadi.

Sangat tidak menyenangkan menjadi seorang single di tengah keluarga besarku. Mereka sangat suka mengatur segalanya. Sekolah kami, teman-teman kami bahkan pacar-pacar kami. Disisi lain memang bagus memiliki banyak orang tua yang selalu memperhatikan dan mengarahkan ke jalan yang benar. Tapi sering kali aku bilang ke orang tuaku, aku bukan bunga yang tumbuh di pot. 

Aku ingin seperti pohon yang tumbuh di hutan, bebas dan lepas, tumbuh bersama angin dan air hujan. Dan syukurlah mereka cukup mengerti. Tapi sesebal apapun, mereka tetap keluarga besarku. Mereka akan selalu memasang mata dan telinga untukku. Tak segan mereka menjodoh-jodohkanku dengan putra dari teman Om, teman Tante dan lain sebagainya. 

Tapi entahlah aku merasa puas jika berhasil menggagalkan setiap perjodohan mereka. Banyak kulewatkan acara-acara yang melibatkan keluarga besarku. Bukan karena aku tak menghormati dan menyayangi mereka tapi aku lelah sekali menghadapi mereka. Apalagi sejak aku SMA, tak ada yang ditanyakan selain nanti aku kuliah dimana, punya pacar atau belum? Dan untuk pertanyaan kedua ini apapun jawabanku pasti akan salah.

Aku merasa hanya seperti aset bagi keluarga besarku. Namun, kali ini tak mungkin aku akan melewatkan pernikahan sepupuku. Betapa tak sopannya aku jika hal tersebut benar kulakukan. Betapa marahnya tante Lani ku, dan dapat dipastikan mereka bisa-bisa akan memusuhi aku selama sisa hidup mereka. Aku bukan anak SMA lagi, aku sudah kuliah dan bahkan kulewatkan setahun skripsiku. 

Kubayangkan sebuah gedung paling besar di kotaku, yang biasanya memang dipakai untuk acara-acara besar dipenuhi keluarga besarku. Dapat dipastikan dari ujung ke ujung mereka akan bertanya hal yang sama dan berulang-ulang. Mendadak semua seperti berubah menjadi alien-alien buruk rupa berwarna hijau dengan mata besarnya. Dapat dipastikan nanti, aku hanya akan mampu tersenyum dan menjawab dengan basa-basi sampe mulut berbusa-busa. 

Kalau sudah begitu hal yang paling kuharapkan tentunya munculnya seekor kucing Jepang dari masa depan siapa lagi kalau bukan “Doraemon”, dengan harapan dia akan meminjamkan pintu kemana saja padaku. Kalaupun pintu kemana saja hanya bisa mengantarku ke zaman dinosaurus aku akan memilih opsi itu. Berkejaran bersama tyrex dibelantara akan membuat jantung lebih sehat daripada terus menerus menjawab pertanyaan yang sumpah semua juga tau bahwa itu rahasia Tuhan. 

Lahir, jodoh, rizki dan mati itu urusan Gusti Allah ingkang murbeng dumadi. Iya kalau jodohku itu memang masih didunia ini, iya kalau mungkin jodohku saat ini ternyata adalah seorang pria yang sudah menjadi suami orang lain karena telah dijodohkan oleh keluarganya agar menikah dengan wanita tersebut. Apa yang bisa kulakukan?, apa yang bisa kuperbuat?

“Kapan nikah?” Pertanyaan ini memang terdengar simple. Tapi terasa seperti siraman air cuka diwajahku. Mengejutkan dan tak akan ada manis-manisnya. Belum lagi wajahku pasti akan berubah aneh karena kaget mesti jawab apa lagi. Apakah mereka yang bertanya itu berfikir sebelum menanyakan hal itu. Apa mereka itu tak berfikir jika berada diposisiku. Siapa yang mau berada diposisiku ini coba. Semua wanita ya maunya sekali jatuh cinta, sekali menikah dan bahagia seumur hidup sampai maut memisahkan. Tak perlu bekerja karena tiap bulan ada duit masuk rekening, melahirkan anak lucu-lucu, disayang suami, tapi toh setiap orang mempunyai jalan masing-masing dan suka ndak suka harus dijalani. 

Kuamati baju pestaku yang memamerkan sedikit kemewahan dengan taburan swarozki dibagian dada. Wajahku terlihat cantik dengan riasan sempurna. Tubuhkupun terlihat ramping meski tak diet ya aku akui mungkin karena kebanyakan pikiran aku jadi malas makan, lumayan beruntung aku tak punya masalah berat badan. Hobby naik gunungkupun tak membuat betisku seperti talas Bogor. Heels senada dengan warna clutch telah mengkoreksi kakiku yang tak panjang seperti belalang.

Banyak yang menganggapku beruntung dengan keadaanku saat ini. Kuakui hal itu, aku cukup mandiri dan memang terbiasa mandiri dari kuliah semester pertama. Tak pernah aku meminta duit lagi keorang tua. Cuma satu hal yang aku benar-benar tak ku mengerti, aku merasa tak beruntung untuk urusan jodoh bahkan aku merasa seperti menerima kutukan  seribu kali patah hati “Ci pat kay”. Alvin membuatku tak bisa terbuka dengan setiap cowok yang mencoba mendekatiku. 

Tak pernah ada pria yang bertahan denganku lebih dari tiga bulan, dengan santainya mereka bilang “kamu pasti kuat tanpa aku”. Dan seenak udel mereka memamerkan wanita-wanita baru mereka didepanku. Kalau sudah begitu pingin banget rasanya nglempar sepatu gunungku ke wajah mereka, memaki atau bahkan menyewa preman untuk sekedar matahin kaki mereka trus buang mereka ke hutan Amazon. Biar tau rasanya sakit itu kayak apa, biar tau rasae sendirian itu kayak gimana.

Setelah sejam berdandan ditambah dua jam mendamaikan diri, akhirnya kulangkahkan kakiku keluar kamar. Perlahan aku menuruni anak tangga, dan dibawah hanya kutemukan Jiha pembantuku yang langsung memujiku berlebihan. Mulutnya memang bawel seperti si Yakob burung beo Ayah yang sekarang diungsikan kehalaman belakang karena sering menggoda orang-orang yang lalu lalang dijalanan depan. Dan parahnya belakangan dia pintar memaki-maki orang karena mungkin sering mendengar kalimat makian seperti itu juga. 

Aku tak bertanya dimana Bunda dan Ayah karena aku tau mereka sudah sedari siang berangkat ketempat acara. Hari ini mereka dinobatkan sebagai salah satu pasangan penerima tamu. Aku ingat mereka mengepas baju berwarna biru laut beberapa hari lalu. Baju itu memang disiapkan Tante Lani untuk seluruh keluarga besar. Hanya kain dan warna yang sama, untuk model kami semua diberi kebebasan mutlak. 

Jiha mengantarku sampai gerbang, dan setelah kuberi pesan agar hati-hati menjaga rumah akupun melangkah masuk kedalam taksi yang sudah kupesan sebelum keluar kamar tadi. Supir taksi terlihat tersenyum berlebihan ketika melihatku dan kupastikan dia sering mencuri pandang dengan bantuan kaca spion. Awalnya taksi berjalan mulus tanpa halangan tapi tak disangka-sangka ketika sampai ditikungan beberapa puluh meter sebelum Gedung tempat berlangsungnya acara, tampak mobil-mobil hanya mampu bersuara tanpa mampu bergerak. Akupun hanya mampu mendengus kesal beberapa kali karena Blackbery ditanganku tak berniat berhenti berdenting, belum lagi sms dan telpon yang bisa dipastikan hanya menanyakan aku datang atau tidak? Aku di mana? Dan omelan Bunda yang marah-marah karena difikir aku tak mau datang. 

Beberapa meter sebelum pintu masuk gedung aku keluar dari taksi setelah membayar tanpa meminta kembalian. Karena bosen duduk tak berdaya ditengah kemacetan yang entah karena memang pengelola parkir yang tak berpengalaman atau memang karena jumlah undangan yang selangit. Secara memang Om aku ini seorang berduit lebih, dan punya gawe mantu untuk yang pertama kali dan mungkin yang terakhir karena anaknya memang cuma satu.

Hembusan angin menyambutku mantab membuat aku harus berdiri sejenak dan menenangkan rok aku yang tak panjang dan berkibar seakan ingin terbang meninggalkanku. Begitu aku sudah mampu mengamankan rok aku, kulangkahkan kakiku dengan kepala tegak menuju gedung acara. Banyak mata melihatku dan sekali lagi aku biasa dengan hal tersebut. Kadang aku memang berfikir aku memang diciptakan hanya untuk menggoda. Karena memang akan banyak yang tergoda hanya dengan melihat penampilanku, dan meludahkannya kemudian. Tapi sayangnya aku sering terjatuh dalam pelukan lingkaran goda tergoda tersebut.

Sedikit peluh membanjir diwajahku begitu sampai didepan lobby hotel yang sudah dihiasi foto-foto preweding dalam berbagai pose membosankan yang membuatku sedikit jelous. Rangkaian bunga mawar putih juga tampak tertata apik dalam vas bunga besar dan kecil, di meja tamu, di dinding dan dimana saja.

“Mbak Sofie cantik sekali”, tiba-tiba kudengar suara lengking kencang yang kutau punya siapa, siapa lagi kalo bukan suara Sinta sepupuku dari Bunda juga. Terang saja banyak sekali mata memandangku gara-gara suara itu. Dan akupun hanya bisa tersenyum dan mencium pipi sepupu yang memang lama tak bertemu karena dia tinggal di Nabire. Om aku adek Bunda seorang tentara, beliau memang sudah beberapa lama bertugas disana dan tak kembali-kembali padahal teman-temannya sudah lama balik ke Jawa. Parahnya Om aku sudah merasa menjadi orang Nabire, meski istrinya sering complaint karena pingin kembali ke Jawa. 

Celingak-celinguk kucari Om dan Tanteku karena tak biasanya mereka membiarkan putri semata wayangnya itu keluyuran sendirian. Seperti bisa membaca pikiranku Sinta memandangku lucu. “Cari papa ya?”, gayanya menyelidik seperti polisi lalu lintas yang menanyakan SIM padaku kemarin pagi. Akupun tersenyum bodoh sambil mengangguk. “Mereka didalem, dipojok tempat keluarga berkumpul”, Sepupuku yang baru kelas dua SMP itu sedikit berbisik dikeramaian seolah memberiku informasi rahasia. 

Manggut-manggut akupun menerima informasi barusan yang berarti aku ada baiknya menjauhi lokasi itu. Dengan malas akhirnya aku masuk ketempat acara, beberapa saudara dekat yang menjadi gadis souvenir didepan juga heboh melihatku. Lagi-lagi menyapaku cantik, padahal aku juga tau kalau aku cantik meski tak habis pikir juga kenapa juga aku tak laku-laku malah lebih sering patah hati dan menangis berhari-hari karena ditinggal pacar-pacarku.

Memasuki ruangan yang sudah disulap menjadi taman mawar membuatku kagum sekaligus kembali merasakan jelous, jelous karena harusnya aku juga berhak merasakan kebahagiaan seperti ini. Bunda dan Ayah menyuruhku bergabung dengan keluarga besar disalah satu sudut ruangan yang luas itu tapi aku malas dan malah melangkah kesudut lain. Kulihat Bunda menggelengkan kepalanya manyun melihatku kearah berbeda dari yang ditunjuknya, namun beliau tak sanggup bertindak lebih lanjut karena harus terus menyalami tamu yang hadir. 

Ternyata tidak salah aku menuju sudut lain dari ruangan besar ini, karena beberapa meter aku melangkah mataku langsung menemukan bernampan-nampan strowbery merah menggoda dan coklat cair yang meleleh sempurna dipemanas-pemanas berbentuk air mancur cantik. Karena aku memang lapar dan doyan banget dengan buah imut yang satu ini langsung saja kupenuhi mulutku dengan satu strowbery besar yang manis. 

Terasa sempurna rasa strowbery berbalut coklat yang bercampur dimulutku. Baru kuhabiskan satu buah strowbery yang dikirim khusus dari Batu Malang itu dan berniat mengambil strowbery lain di nampan stainles yang ditata mewah dimeja ketika tiba-tiba ada yang mengambil strowbery sama yang akan kuambil. Sontak salah satu adegan yang biasa kita temui di film India terputar begitu saja, tangan itu menyentuh tanganku karena aku mengambil strowbery duluan dan karena aku kaget akupun memandang wajah pemilik tangan itu. Dan ya ampun ganteng banget sedikit mungkin aku meneteskan air liur. Buru-buru kutarik tanganku pura-pura tak menikmati sentuhan itu. 

“Maaf, kamu ambil duluan dech”, suara disebelahku itu tercium wangi mungkin baru saja menyemprotkan sesuatu dimulutnya. Tanpa malu akupun mengambil beberapa butir strowbery dan meletakkannya di piring kecil yang ada ditangan kiriku.

“Kamu sendirian?”, tanya suara wangi itu lagi yang sedikit mengagetkanku  dan hampir membuatku tersedak karena tak kusadari kalau dia masih disebelahku. 

“ Ndak”, jawabku kali ini pendek.

“Oh, sama siapa? Suami?” aku mendelik tajam dan sedikit terbatuk karena tersedak stowbery manis berbalut coklat yang baru saja kumasukkan dimulutku.

“Sama kamu”, jawabku usil sambil sedikit memberi tatapan manja membuat si suara wangi tergelak sempurna memamerkan giginya yang putih dan rapi. Membuat diriku sedikit berkhayal, melayang beberapa centimeter diatas ubin dan pastilah aku akan rela dan ikhlas untuk menjadi mangsa jika sesosok cakep didepanku ini adalah seorang vampir he he, ngarep abis rasanya.

“Aku Indra”, uluran tangan si suara wangi kusambut dengan senyum yang mungkin berlebihan tapi masa bodoh dan entahlah si suara wangi seakan menghipnotisku. Selama satu jam selanjutnya bisa dipastikan seakan aku hanya berdua bersama Indra diruangan mewah dan megah itu. Hingga ketika mama menyapaku baru kusadari aku belum mengucapkan selamat kepada kedua mempelai, dan Indrapun menawariku untuk menemani ke pelaminan. Kulihat Bunda tersenyum senang melihatku bergandeng tangan dengan sesosok cakep yang baru kukenal sejam sebelumnya dan ketika banyak saudara dan teman menyapa dan menggodaku siapa Indra aku hanya tersenyum dan Indrapun terlihat santai.

Sampai dipelaminan Tante Yeni mama dari mempelai wanita langsung menyambut antusias dan langsung bertanya kapan aku nyusul sambil melirik penuh arti ke Indra, dan sepupuku Linda malah tak kalah histeris ketika melihatku bersama Indra. 

“Oalah kalian ternyata”, seru linda terputus sambil menutup mulutnya.

“ Beib, mereka ternyata jadian”, Linda kali ini memberi tahu suami barunya itu yang jelas-jelas ketawa dan melihat kami. 

"Ndra, kapan mulai jalan sama Mbak Yu cantikku ini?”, Bagus suami Linda menarik Indra mendekat padanya. Dan belum sempat mulut Indra terbuka kamipun didaulat untuk berfoto bersama dan bahkan sempat-sempatnya si Linda mengambil melati yang menghiasi keris yang disisipkan di pinggang belakang suaminya sebagai salah satu perlengkapan resmi baju pernikahan adat Jawa. 

“Biar cepet nyusul”, Linda berbisik padaku sambil memaksakan aku menerima melati itu.

Ketika menuruni pelaminan entah sengaja atau tidak Indra tak lagi menggandeng tanganku tapi meletakkan tangannya dipinggangku, otomatis semua yang mengenalku berbisik-bisik heboh. Aku sendiri masa bodoh dan menikmatinya karena dengan adanya Indra disisiku aku merasa aman saat ini. 

Tidak menunggu acara selesai dan menyapa seluruh keluarga besar aku bilang ke Bunda akan pulang duluan karena sakit perut dan beliau hanya mengangguk. Indra menawariku untuk mengantar sampai depan dan bahkan menyetop taksi untukku. Begitu sudah duduk didalam taksi baru aku sadar, aku tak tau siapa Indra, berapa nomor telponnya pin BB apalagi dimana rumahnya. Akupun hanya bisa ngomel-ngomel tak jelas tanpa memperdulikan sopir taksi yang bingung mendengar omelanku. 

Hujan deras menyambutku ketika sampai di depan rumah. Kulepas Heels ku dan berlari secepatnya menuju pintu. Ada seseorang yang mungkin akan kukenali meski hanya melihat jemarinya. Meski terlihat agak pucat, sebuah senyum hangat disunggingkan untukku. Belum sempat aku menyapa Jiha sudah membuka pintu. Jiha senang sekali melihat siapa yang datang. Dipersilahkannya Linda masuk kerumah dan hampir melupakanku. Kutekuk wajahku tapi kelihatannya dia tak peduli. 

“Tumben?”, sebuah kata akhirnya terlontar dari mulutkku begitu Jiha pamit kebelakang dan menyiapkan minum. 

Kulihat Linda hanya tersenyum dan menaruh sebuah kotak diatas meja. “Bukalah”, Linda menyuruhku dengan kata yang hanya satu suku kata lebih panjang dari apa yang keluar dari mulutku tadi. Tapi entahlah kubuka juga kotak kayu didepanku. Sebuah kotak musik dengan patung kaca ditengahnya menari berputar-putar. Suaranya rendah dan halus mendamaikan siapa saja yang mendengarnya.Untuk sesaat aku hanya terdiam. Sebuah catatan kecil terselip diantara kaki patung kaca. Diantara rinai hujan kudengar suaramu Dalam harumnya tanah basah terbayang wajahmu Kamu bidadari hatiku, kemarin, sekarang, nanti dan selamanya. 

Sesaat aku hanya terdiam tak mengerti. Semakin tak mengerti ketika air mata Linda meleleh deras dipipinya yang putih. Aku terdiam gelisah, menanti sebuah penjelasan atas tangisan Linda. Penjelasan kotak musik dengan catatannya. 

“Alvin, ingin bertemu denganmu?”, akhirnya Linda membuka percakapan lebih panjang.

“Kapan?”, jawabku singkat karena lidahku kelu begitu Linda menyebut nama Alvin. 

“Sekarang”, Linda menjawab gelisah.

Jiha terlihat bingung tapi tetap mencoba tersenyum sambil menaruh teh panas dalam cangkir di hadapan Linda. Aku meninggalkan Linda dan Jiha untuk berganti pakaian. Begitu aku kembali keruang tamu kulihat Jiha sedang memperhatikan kotak musik dimeja tamu dengan takjub. 

“Mau pergi lagi?”, Jiha bertanya padaku bingung.

“Aku udah izin Om sama Tante kok”, kata Linda ketika melihatku mengambil handphone dari dalam tas. Aku mengernyitkan jidatku, tapi aku tak bertanya. Begitu keluar ke halaman sebuah camry  hitam yang tentunya tadi tak kuperhatikan ketika datang sudah terparkir rapi didepan teras. Hujan sudah reda diluar, seorang pria paruh baya buru-buru keluar mobil membuka pintu untuk Linda. Sedikit aneh Linda membawa sopir ketika membawa mobilnya sendiri. Tapi aku tak bertanya banyak, begitu kami sudah didalam mobil Linda memberikan padaku sebuah album foto besar berwarna pink!. Dan Pak Alex sopir keluarga Linda langsung membawa mobil keluar halaman dan melaju di jalan raya. 

Sampul depan tertulis “BIDADARIKU” dengan berhiaskan kupu-kupu berwarna-warni. Begitu halaman pertama terbuka, sebuah simpul senyum langsung menghias bibirku. Ada fotoku disitu, bajuku masih putih biru. Rambutku pendek, sebuah tas besar menggantung di bahuku. Aku dihalaman sekolah, ada beberapa foto lain disitu, termasuk ketika ada beberapa teman menyapa dan menemaniku menunggu jemputan. Di halaman-halaman selanjutnya masih kutemui foto-fotoku semasa aku smp. 

Waktu aku di karnaval, di taman saat jogging  pagi, saat aku kehujanan entah dimana. Begitu halaman terakhir, Linda memberikan aku satu album foto lagi. Kali ini aku SMA, rambutku masih pendek. Ada fotoku ketika main basket, ada fotoku ketika tidur di RS karena ditabrak motor di depan sekolah, ada fotoku ketika memegang sebatang bunga mawar merah. Aku terdiam melihat foto itu. Aku ingat hari itu, Alvin memberiku sebatang mawar merah ketika menjemputku pagi-pagi dan mengantarku ke sekolah. 

Sebuah album foto diberikan Linda padaku lagi, masih semua tentang aku dan aku. Hanya foto-fotoku lagi. Bahkan ada fotoku dengan mata bengkak di halaman sekolah karena tak ada kabar dari Alvin. Tiba-tiba aku menangis kencang dalam mobil, hatiku sakit sekali. Seakan ada sesuatu yang meremas hatiku. Aku tak mengerti dan merasa sangat bodoh. Aku yakin kini ada banyak hal ditutupi dari aku. Linda memelukku erat. Dia menangis juga. Dalam tangisnya berkali-kali dia memohon maaf. Memohon maaf karena pura-pura tak mengerti dan tau yang terjadi antara aku dan Alvin.

Mungkin karena capek menangis aku akhirnya tertidur. Linda membangunkanku perlahan. Aku tak tau kami berada dimana. Pak Alex membukakan pintu untuk aku. Begitu turun dari mobil kuperhatikan sejenak sekitar. Dan betapa terkejutnya aku kami berada didepan taman putih di area Telaga PINK!

Linda menggandengku menyusuri setapak putih, banyak lampu dikanan dan kirinya. Sebelum kami bertemu patung malaikat Linda mengajakku kearah kiri. Ada setapak baru disitu. Dan di ujungnya sebuah rumah pondok cantik berdiri anggun menatap lembah tusam. Begitu Linda membuka pintu papa dan mama Linda menyambutku, kakak-kakak Linda yang lainpun juga menyalamiku. Mama Linda membuka sebuah pintu lain dan menyuruhku masuk. Sebuah ruangan kaca besar menghadap lembah, tak ada gorden yang ditutup. 

Tampak seseorang terbaring ditempat tidur besar ditengah ruangan. Ada seorang dokter disebelahnya. Mama Linda menuntunku perlahan agar mendekat ke tempat tidur. Kulihat Alvin terbaring disitu, matanya terpejam, tulang pipinya terlihat sedikit, wajahnya lebih pucat dari biasanya. Aku duduk ditepian tempat tidur, kugenggam jemari Alvin lembut. Matanya tiba-tiba terbuka, tersenyum melihatku tapi terlihat marah ketika melihat mama dan papanya yang ternyata juga ikut masuk. 

“Sudahlah, aku sudah disini”, kataku lembut ketika kulihat tatapan marah itu. Mama Linda terisak dibelakangku. Dan Papa Linda berusaha menenangkannya. Tak kulepas genggaman tanganku, bahkan kian ku eratkan ketika Alvin tak kunjung membuang tatapan marah itu. Akhirnya Alvin menatapku lembut. Linda dan kakak laki-lakinya yang lain masuk membawa setumpuk album foto yang tadi kulihat sebagian di mobil. Kemudian mereka semua meninggalkanku berdua hanya bersama Alvin.

Berdua kami melihat foto-foto itu, kadang aku tertawa dan kadang aku cemberut. Dan baru kusadar didalam ruangan besar ini ternyata banyak foto-foto ku juga. Hanya satu yang berdua itupun diambil dari belakang. Ketika kami duduk berdua di pinggiran telaga. Kurebahkan kepalaku dibahu Alvin, dihadapan kami terhampar telaga yang berkabut dan tercemar pita PINK!.

Pagi ini aku terbangun dalam depakan Alvin. Beda dari semalam, pagi ini wajah Alvin terlihat tak terlalu pucat bahkan sedikit merona. Dbantu dengan seorang suster dan aku Alvin mandi, dan berganti pakaian. Bunda dan Ayah ternyata juga ikut datang ketika hari sudah mulai sore. Tapi tak ada yang berniat bergabung dengan aku dan Alvin di kamar. Sore menjelang cuaca sangat cerah luar biasa, aku dan Alvin memutuskan duduk di beranda kamar sambil menikmati Red Wine milik Oma Elien. Sebuah kamera dipegang Alvin, beberapa kali dia mengambil foto namun kemudian kami hanya duduk dalam peluk berdua melihat belantara Tusam.

Ketika matahari merah tampak di ufuk barat, Linda menyusul ke beranda. Dibawanya sebuah kotak kayu agak besar dengan sebuah kunci kuno diatasnya. Alvin membukanya, ada bertumpuk kertas bersegel didalamnya. Sebuah kotak kecil diraihnya, dibukanya dihadapanku. Sebuah cincin cantik ada didalamnya, aku terdiam ketika Alvin berusaha berbicara.

"Sofie, jauh sebelum aku berani menyapamu aku telah merindumu. Aku ingin bersamamu selamanya tapi aku takut membuatmu kecewa. Maaf aku pergi meninggalkanmu, aku hanya tak ingin kamu merindukanku. Tapi maafkan aku, aku tak mampu untuk tak menemui. Ini cincin untuk kamu, agar kamu ingat ada seseorang yang mencintaimu tulus apa adanya dirimu. Kamu boleh memiliki tempat ini meski tak tiap hari kamu disini setidaknya ketika kamu sendiri dan sedih kamu bisa kesini. Kamu bisa mengingatku kembali bahwa aku mencintaimu”. 

Aku terdiam menatap Alvin menyematkan cincin ke jemariku, menciumnya dengan lembut. Tak mampu mulutku mengucapkan sepatah katapun. Kupeluk tubuh kurusnya erat, aku bersumpah pada Tuhan tak akan membiarkannya pergi lagi dari hidupku. Kurasakan tubuh Alvin tiba-tiba berat, tak kurasakan lagi nafas dan detak jantungnya. Kupererat pelukanku, aku tak peduli Linda berteriak menangis dan memanggil keluarganya. Aku hanya menangis dan menangis. Begitu dokter datang dan meraih salah satu tangan Alvin yang masih dalam pelukanku, semua tiba-tiba ikut menangis.

 Akhirnya aku luluh, Alvin dibawa masuk kembali kekamar. Direbahkan tubuhnya yang kurus kembali kekasur. Tapi kali ini sebuah selendang brukat menutupi wajahnya yang tersenyum. Air mataku tak sedikitpun mengering, terus luruh dalam diamku. Semua prosesi ku ikuti dalam diam dan air mata. Namun, akhirnya aku pingsan ketika peti jenazah Alvin ditutup dihadapanku. 

Di depan patung malaikat besar, Alvin dikebumikan. Dalam bertumpuk buku hariannya kutemukan banyak catatan akan kesehariannya, berhari-hari aku tenggelam dalam kebisuan. Berkali-kali menangis ketika Alvin meratapi kanker yang menggerogoti tulang nya. Orang tuanya lebih percaya pengobatan diluar negri sehingga memaksanya untuk meninggalkanku.

Alvin tak mau membuatku sedih karena penyakitnya. Dia ingin sehat saat bersamaku. Tapi dia sadar kankernya terlalu ganas, tak akan dia hidup selamanya. Entah berapa kali kata maaf tertulis di buku hariannya. Membuatku terus menangis dan menangis. 

Note: Jika aku boleh memohon.. Jika itu pasti terkabul.. Aku hanya ingin memohon.. Duduk berdua denganmu dihangatnya pasir pantai… Melihat indahnya langit senja... Dalam hangat pelukmu…. Dalam belai manja sepoi angin pantai.. Jika satu hal yang bisa kukatakan…… Dan itu pasti kamu dengar…. Aku ingin kamu tau… Aku cinta kamu… Kemarin, sekarang, nanti dan selamanya…. Miss you so so much…   

Suatu senja di hari ini,  2 Mei 20

Share
Topics
Editorial Team
Unique Nishi
EditorUnique Nishi
Follow Us

Latest in Fiction

See More

[PUISI] Delusional

02 Okt 2025, 20:48 WIBFiction
ilustrasi langit

[PUISI] Cekung

02 Okt 2025, 20:16 WIBFiction
ilustrasi guru dan siswa-siswa SD sedang hormat.

[PUISI] Guru Seribu Kiasan

02 Okt 2025, 05:02 WIBFiction
ilustrasi perempuan (unsplash.com/@elsatkw)

[PUISI] Setara Itu Ilusi

01 Okt 2025, 12:59 WIBFiction
ilustrasi perempuan (unsplash.com/@priscilladupreez)

[CERPEN] Dua Kali Lipat

30 Sep 2025, 22:32 WIBFiction
ilustrasi puisi

[PUISI] Puisi Terkutuk

30 Sep 2025, 07:02 WIBFiction
ilustrasi orang berdiri di pinggir jalan

[PUISI] Melipat Jarak

29 Sep 2025, 05:15 WIBFiction
dua bolpen kembar

[CERPEN] Pulpen Kembar

28 Sep 2025, 22:15 WIBFiction