Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

6 Mitos Tentang Trauma yang Sering Misleading, Kamu Wajib Tahu!

ilustrasi perempuan yang mengalami trauma (freepik.com/freepik)

Sepanjang hidup kita, tentu ada banyak kejadian kurang menyenangkan yang pernah terjadi dan pernah kita alami. Kejadian-kejadian tersebut bila gak diproses dengan baik oleh diri kita tentu akan menjadi trauma yang berbahaya bagi kesehatan mental.

Sayangnya, masih banyak mitos tentang trauma itu sendiri yang sering menyesatkan bahkan menghambat proses penyembuhan trauma. Nah, daripada salah kaprah, yuk simak mitos-mitos berikut!

1. Orang yang mengalami trauma sudah pasti PTSD

ilustrasi perempuan yang mengalami trauma (freepik.com/freepik)

Seringkali orang sulit membedakan antara trauma dan PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder). Bahkan, gak sedikit yang menganggap orang yang memiliki trauma sudah pasti mengidap PTSD. Padahal, trauma gak selalu mengarah pada PTSD meskipun mereka yang memiliki PTSD memang mengalami beberapa bentuk trauma.

Mengutip pekerja klinis sosial berlisensi bernama Michael Vallejo di laman Mental Health Center Kids, trauma adalah respon emosional yang muncul saat seseorang mengalami kejadian yang mengancam jiwa, menakutkan, atau menyebabkan tekanan emosional. Sementara itu, PTSD adalah gangguan yang berkembang setelah seseorang mengalami trauma. Jadi, yang membedakan keduanya adalah seberapa parah trauma itu berdampak dan seberapa lama gejala trauma itu terjadi.

Ada beberapa reaksi normal ketika seseorang baru saja mengalami peristiwa yang traumatis, tetapi biasanya reaksi tersebut lama-kelamaan akan berhenti dan gak lagi mengganggu. Namun, orang dengan PTSD akan terus dihantui trauma dan semakin memburuk sehingga mengganggu kehidupan sehari-hari.

2. Trauma adalah kejadian mengerikan yang mengubahmu secara permanen dan gak bisa disembuhkan

ilustrasi seorang anak kecil melihat orang tuanya bertengkar (pexels.com/cottonbro studio)

Melansir laman Psychology Today, trauma gak harus berupa peristiwa yang sangat mengerikan, tetapi juga bisa bersifat kronis seperti tumbuh di lingkungan yang kacau, mengalami kekerasan dalam rumah tangga, diintimidasi secara rasis, atau bahkan mengalami pengabaian emosional sewaktu kecil. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa trauma dapat diturunkan dari orangtua kepada anaknya.

Jadi, trauma bukanlah peristiwa tunggal yang akan mengubah seseorang secara permanen karena hasil dan efeknya akan berbeda tergantung bagaimana individu tersebut memandangnya. Memang trauma membuat seseorang menjadi lebih waspada terhadap bahaya. Namun, bukan berarti trauma dapat mengubah seseorang selamanya. Sebab, penelitian menunjukkan bahwa otak kita tetap bisa berubah bila kita melakukan intervensi melalui terapi. Alhasil, perubahan aktivitas saraf hingga perubahan emosi dan perilaku yang positif dapat terjadi bila seseorang pulih dari gangguan trauma.

3. Trauma hanya dapat terjadi bila kamu mengalaminya secara langsung

ilustrasi seorang laki-laki yang sedang melamun (freepik.com/fxquadro)

Masih banyak orang yang mengira seseorang yang memiliki trauma harus menjadi korban dan mengalami peristiwa traumatis tersebut secara langsung. Padahal, seseorang bisa terpengaruh secara negatif oleh peristiwa mengerikan yang terjadi pada orang lain. Hal ini disebut trauma sekunder.

Trauma sekunder terjadi saat adanya perubahan mendalam pada cara pandang seseorang terhadap dunia dan rasa aman akibat terpapar trauma orang lain berulang kali. Trauma ini bisa dimiliki orang-orang yang menyaksikan akibat dari bencana atau mendengar peristiwa traumatis yang dialami orang lain secara detail.

Sama seperti trauma yang dialami seseorang secara langsung, trauma sekunder ini juga gak boleh dianggap remeh. Bila trauma sekunder diabaikan dan gak diproses dengan baik, tentu dapat membahayakan kesehatan mental orang tersebut.

4. Trauma akan hilang begitu saja seiring berjalannya waktu

ilustrasi seorang wanita tua sedang menangis (freepik.com/freepik)

Memang ada kasus di mana trauma berkurang atau bahkan menghilang seiring berjalannya waktu. Namun tentu saja hal itu bergantung pada jenis trauma yang dialami, riwayat trauma, kondisi mental, kepribadian, support system, dan aspek lainnya di kehidupan seseorang saat itu.

Sayangnya, kerap kali orang-orang justru mengira trauma yang sudah terjadi bertahun-tahun lalu gak akan mempengaruhi kehidupan mereka sekarang. Padahal, gak sedikit orang yang sebenarnya hanya memendam, mengabaikan, atau menyangkal trauma yang ada.

Jadi, sebelum trauma itu berkembang lebih jauh dan gak diproses dengan baik, gak ada salahnya menerima segala perasaan negatif akibat peristiwa buruk yang pernah terjadi. Dan kalau merasa kesulitan untuk menceritakan, mengungkapkan apa yang dirasakan atau dipikirkan tentang peristiwa tersebut, sebaiknya segera menghubungi ahli agar trauma gak sampai mengganggu kehidupan sehari-hari.

5. Anak kecil lebih kuat dan gak akan ingat peristiwa traumatis yang pernah dialaminya

ilustrasi anak laki-laki yang mengalami trauma (pexels.com/Mikhail Nilov)

Anak kecil yang pernah mengalami peristiwa mengerikan dianggap lebih tangguh dan dengan cepat melupakan kejadian tersebut karena gak membahasnya lagi. Padahal yang terjadi justru sebaliknya, seringkali anak kecil memilih diam saja dan gak menceritakan apa yang mereka rasakan karena mereka bingung dan memilih lari dari masalah yang terjadi.

Jeff LaPonsie, pekerja sosial klinis melalui laman Kalamazoo Child and Family Counseling menjelaskan bahwa anak-anak memang memiliki kemampuan untuk tumbuh dan beradaptasi dengan luar biasa. Hal ini karena otak mereka masih berkembang dengan cepat dari waktu ke waktu. 

Sayangnya, trauma dapat mengganggu kemampuan dan perkembangan otak anak secara normal. Akibatnya, anak-anak dengan trauma yang gak diproses berisiko lebih tinggi mengalami masalah kesehatan mental, seperti depresi, kecemasan, hingga PTSD.

6. Peristiwa traumatis gak boleh diungkit atau dibahas lagi

ilustrasi seorang ibu sedang menghibur anaknya (pexels.com/Kindel Media)

Biasanya, jika seseorang pernah mengalami peristiwa traumatis, orang-orang terdekatnya akan memilih enggan untuk membicarakan hal tersebut. Bahkan, gak jarang orang itu diminta melupakan kejadian buruk yang pernah terjadi.

Padahal justru lebih berbahaya bila seseorang yang mengalami trauma menyangkal untuk mengingat peristiwa traumatis tersebut. Terlebih bila mereka sebenarnya ingin bercerita, tetapi orang lain menolak, mengabaikan, dan gak memvalidasi perasaannya.

Membicarakan apa yang telah terjadi sebenarnya adalah bagian dari proses untuk memaknai kejadian tersebut. Hal ini dapat membuat seseorang berhenti fokus pada ingatannya terhadap trauma dan menentang keyakinan yang telah mereka bentuk mengenai apa yang terjadi.

Nah, itu dia beberapa mitos tentang trauma yang dinilai cukup misleading bagi sebagian orang. Kalau kita merasa gak bisa menjadi pendengar yang baik atau sebaliknya, gak menemukan orang yang tepat untuk menceritakan peristiwa traumatis kita, jangan ragu menemui ahli. Semoga dengan begitu kita bisa membantu diri sendiri maupun orang lain untuk pulih dari trauma.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Hella Pristiwa
EditorHella Pristiwa
Follow Us