Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Angka Kanker Kolorektal di Kalangan Gen Z Meningkat, Kenapa?

ilustrasi kanker kolorektal (pexels.com/Anna Tarazevich)
Intinya sih...
  • Secara statistik, orang yang berusia 20-an dan 30-an jauh lebih kecil kemungkinannya untuk terkena kanker kolorektal dibandingkan dengan orang yang berusia 50 tahun ke atas. Namun, kasus pada kelompok usia ini terus meningkat.
  • Mengonsumsi makanan ultra proses dalam jumlah besar meningkatkan risiko beberapa jenis kanker, termasuk kanker kolorektal.

Kanker kolorektal menjadi kanker terbanyak nomor tiga di Indonesia. Pada tahun 2022, tercatat ada 25.997 kasus. Dari ribuan kasus tersebut, 1.400 pasien merupakan dewasa usia di bawah 40 tahun, 968 di rentang usia 30 sampai 39 tahun dan 446 kasus memengaruhi usia 20 hingga 29 tahun.

Meskipun angka kematian pasien kanker kolorektal atau kanker usus besar yang berusia di atas 65 tahun menurun, tetapi angka kematian pasien yang berusia lebih muda justru meningkat. Para ilmuwan mengatakan bahwa kanker stadium awal ini bisa lebih mematikan karena sering kali tidak terdeteksi sehingga terlambat untuk diobati.

Meskipun dokter tidak dapat menentukan satu penyebab spesifik, tetapi ada banyak faktor yang dapat meningkatkan kemungkinan diagnosis kanker kolorektal.

Pola makan mungkin berperan

Secara statistik, orang yang berusia 20-an dan 30-an jauh lebih kecil kemungkinannya untuk terkena kanker kolorektal dibandingkan dengan orang yang berusia 50 tahun ke atas. Namun, kasus pada kelompok usia ini terus meningkat. Diperkirakan pasien kanker kolorektal akan meningkat hingga 90 persen pada tahun 2030.

Para peneliti telah menemukan bahwa mengonsumsi makanan ultra proses/ultra-processed food (UPF) dalam jumlah besar meningkatkan risiko beberapa jenis kanker, termasuk kanker kolorektal, payudara, dan pankreas. Beberapa produk yang dipasarkan sebagai “sehat” yang banyak diproses dan mengandung bahan buatan, seperti protein bar, granola, dan “daging vegan", termasuk dalam kategori UPF.

Kurangnya buah dan sayuran, ketergantungan pada biji-bijian olahan, konsumsi sumber protein berlemak seperti gorengan dan daging asap, minuman manis, dan UPF yang tinggi gula, lemak, dan natrium telah menjadi tren di kalangan anak muda.

Mengubah pola makan

ilustrasi makanan berserat (pexels.com/Anna Tarazevich)

Minim makan buah dan sayuran, banyak mengonsumsi biji-bijian olahan, protein berlemak, minuman manis, dan UPF yang tinggi gula, lemak, dan natrium cenderung meningkatkan risiko obesitas dan masalah metabolisme.

Ada beberapa hal yang berubah ketika seseorang mengalami obesitas atau sindrom metabolik. Kondisi ini dapat mengubah lingkungan di dalam tubuh dan menyebabkan hal-hal seperti peradangan atau inflamasi kronis, perkembangan dan pertumbuhan kanker, dengan memengaruhi sel-sel tertentu dan meningkatkan kadar hormon seperti leptin dan adiponektin.

Kandungan lemak tinggi dapat mengaktifkan jalur tertentu dalam tubuh yang merangsang jenis sel dasar (sel punca) yang melapisi usus besar dan memicunya menjadi kanker.

Kenapa makanan kaya serat?

Makanan kaya akan serat seperti buah-buahan, sayuran, biji-bijian, polong-polongan dan lemak sehat yang ditemukan dalam kacang-kacangan dan ikan berminyak dapat memberi perlindungan dari kanker kolorektal.

Serat tidak hanya membantu pencernaan, tetapi juga mengatur pergerakan usus dan mengurangi waktu zat-zat berbahaya bersentuhan dengan usus besar. Hal ini sangat penting, karena apa pun yang dapat mengurangi kemungkinan penumpukan racun di usus akan membantu mengurangi risiko kanker. Anggap saja serat sebagai semacam tim pembersih untuk usus besar.

Serat adalah bahan bakar utama bagi mikroba usus, membantu mereka menghasilkan bahan kimia bermanfaat yang mendukung kesehatan secara keseluruhan dan sangat penting untuk menjaga usus yang sehat dan komunikasi sistem kekebalan tubuh.

Makanan fermentasi bermanfaat bagi kesehatan usus karena mengandung probiotik—bakteri hidup yang membantu menyeimbangkan mikrobioma usus. Makanan ini termasuk yoghurt, tempe atau kimchi.

Disarankan untuk menciptakan pola makan yang antiinflamasi, ramah mikrobioma dan tinggi serat, sambil menghindari UPF yang berkontribusi terhadap peradangan kronis.

Namun, makanan bukan satu-satunya penyebab. Ada faktor lain yang turut memengaruhi penyakit ini, seperti riwayat keluarga, merokok sampai penggunaan alkohol berat dan lingkungan.

Paparan polutan

ilustrasi memakai masker (pexels.com/ketut-subiyanto)

Paparan faktor lingkungan seperti bahan kimia alami atau buatan manusia dapat meniru, memblokir, atau mengganggu hormon tubuh, yang disebut bahan kimia pengganggu endokrin.

Partikel kecil di udara dan polutan kimiawi dianggap sebagai kontributor yang signifikan. Polutan ini dapat mengganggu keseimbangan bakteri yang sehat dalam usus, menyebabkan peradangan dan stres yang bisa menjadi pertumbuhan kanker.

Faktor lainnya adalah apa yang dikenal sebagai "efek kelompok kelahiran”, di mana orang yang lahir setelah tahun 1950 lebih berisiko, karena mereka telah terpapar lebih banyak perubahan lingkungan dan polutan sepanjang hidup.

Lakukan skrining

Meskipun baru berusia 20-an atau 30-an, lakukan skrining jika mengalami pendarahan dubur, perubahan kebiasaan buang air besar, perubahan selera makan (seperti cepat merasa kenyang), serta penurunan berat badan atau sakit perut yang tidak dapat dijelaskan.

Skining kanker kolorektal bisa berupa kolonoskopi. Kolonoskopi dilakukan dengan pasien dibius secara sadar. Dokter memasukkan tabung fleksibel dengan lampu dan kamera di ujungnya melalui rektum untuk memeriksa usus besar. Tabung ini juga memungkinkan dokter mengangkat polip (benjolan kecil di permukaan usus besar atau rektum) yang mungkin bersifat prakanker, sehingga dapat mencegah kanker sebelum berkembang.

Jika memiliki riwayat keluarga dengan kanker ini, dokter mungkin akan merekomendasikan skrining kolonoskopi pada usia 40 tahun atau 10 tahun sebelum usia anggota keluarga didiagnosis. Orang dewasa berusia 76 hingga 85 tahun harus bertanya kepada dokter apakah mereka  harus menjalani pemeriksaan.

Selain kolonoskopi, pemeriksaan rektum fisik seharusnya dijalani bagi siapa saja yang melaporkan perubahan yang mencurigakan dalam buang air besar. Pemeriksaan rektum sederhana sering kali dapat menemukan massa yang mencurigakan di dalam rektum. Jika dalam pemeriksaan ditemukan adanya darah dalam tinja, dokter dapat merekomendasikan kolonoskopi.

Mencegah kanker kolorektal

Ilustrasi kanker usus besar dan rektum (wikimedia/Blausen Medical Communications)

Untuk menghindari kanker kolorektal, pertimbangkan untuk melakukan perubahan berikut pada gaya hidup kamu:

  • Jika merokok, berhentilah, termasuk rokok elektrik. Jika merokok, risiko kamu tidak hanya lebih tinggi terkena kanker paru-paru, tetapi juga kanker kolorektal dan kanker lainnya.
  • Tidak minum alkohol.
  • Rutin berolahraga. Kamu memiliki risiko lebih besar terkena kanker kolorektal jika tidak banyak bergerak. Menjadi lebih aktif dapat menurunkan risiko.
  • Turunkan berat badan. Jika kelebihan berat badan atau obesitas, kamu berisiko lebih tinggi terkena kanker kolorektal dan meninggal karenanya. Hal ini terutama berlaku untuk kanker usus besar.
  • Konsumsi serat yang cukup. Konsumsi 25 gram serat sehari untuk menjaga kesehatan usus besar. Ini berarti makan lebih banyak buah segar, sayuran, biji-bijian utuh, kacang-kacangan, dan polong-polongan.

Referensi

"New Study Reveals the Hidden Danger of Red Meat: Cancer-Causing Iron". SciTechDaily. Diakses April 2025.
"Why Doctors Think Colon Cancer Is on the Rise in Gen Z and Millennials". NewsWeek. Diakses April 2025.
"Colorectal cancer is rising among Gen X, Y & Z. Here are 5 ways to protect yourself". Shots. Diakses April 2025.
"Clinicians Struggle to Understand Dramatic Rise in Early Onset Colorectal Cancer". American College of Surgeons. Diakses April 2025
"Colorectal Cancer: What Millennials and Gen Zers Need to Know". Yale Medicine. Diakses April 2025.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Nurulia R F
Misrohatun H
Nurulia R F
EditorNurulia R F
Follow Us