Gangguan Makan Pica: Penyebab, Gejala, dan Pengobatan

Mereka suka makan makanan yang tidak wajar!

Pernahkah kamu melihat orang yang suka makan benda-benda yang bukan makanan, seperti kotoran, tanah liat, cat yang mengelupas, lem, rambut, puntung rokok, hingga feses? Itu adalah tanda dari gangguan makan pika (pica eating disorder).

Menurut buku panduan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5) yang dikeluarkan oleh American Psychiatric Association, pica adalah gangguan makan langka yang ditandai dengan keinginan makan terus-menerus terhadap substansi tidak wajar dan tidak bernutrisi, seperti yang disebutkan di atas.

Istilah "pica" sendiri diambil dari nama ilmiah burung magpie erasia, yaitu Pica pica, dengan korelasi perilaku buruk yang suka mengumpulkan dan memakan berbagai benda tanpa pandang bulu demi memuaskan rasa ingin tahu.

Bikin heran, yuk, kenali fakta-fakta seputar gangguan makan yang langka ini!

1. Sering terjadi pada anak-anak, perempuan hamil, maupun individu dengan retardasi mental

Gangguan Makan Pica: Penyebab, Gejala, dan Pengobatanilustrasi anak makan es krim (unsplash.com/Ross Sokolovski)

Gangguan makan pica sering terjadi pada anak-anak (sejak usia 2 tahun) dan wanita hamil yang biasa sifatnya sementara. Namun, bila dialami individu berkebutuhan khusus (dalam hal ini adalah orang-orang yang mengalami retardasi mental atau cacat mental), gangguan makan pica akan bertahan lebih lama dan lebih parah.

Prevalensi gangguan makan ini di berbagai negara masih menjadi tanda tanya. Namun, sudah ada beberapa penelitian dalam bentuk studi epidemiologi.

Berdasarkan buku Handbook of Clinical Child Psychology, diperkirakan tingkat prevalensi gangguan makan pica berkisar antara 4-26 persen di antara populasi yang terlembaga. Sementara itu, penelitian di antara populasi yang tidak terlembaga mengacu pada studi kasus individu, membuat prevalensinya sulit diperkirakan.

Studi di Jerman yang terbit dalam International Journal of Eating Disorders tahun 2018 menemukan bahwa 99 dari 804 anak (12,3 persen) mengembangkan pica di beberapa titik kehidupan mereka.

Sementara itu, berdasarkan studi dalam International Journal of Gynecology & Obstetrics tahun 2016, prevalensi pica yang berkembang selama masa kehamilan diperkirakan sebesar 27,8 persen, dengan sampel heterogen di seluruh dunia, yang mana benua Afrika menempati posisi teratas.

Data studi lain dalam Journal of Mental Deficiency Research tahun 1986 mengemukakan, prevalensi tinggi dalam kasus pica memengaruhi pasien retardasi mental sekitar 10 persen, dan berhubungan dengan tingkat keterbelakangan mental.

2. Gejala gangguan makan pica

Gangguan Makan Pica: Penyebab, Gejala, dan Pengobatanilustrasi makan (unsplash.com/Helena Lopes)

Dilansir Medical News Today, gejala utama pica adalah keinginan terus-menerus untuk makan benda-benda yang bukan makanan, dan kondisi ini tidak berhubungan dengan perilaku bayi yang suka memasukkan benda ke mulut.

Benda yang dimaksud umumnya tanah liat (geophagia), es (pagophagia), pati (mylophagia), arang, abu, kertas, kapur tulis, kain, kulit telur, bubuk kopi, bedak bayi, abu rokok, lem, sabun mandi, koin, dan sebagainya.

Mereka dengan gangguan makan ini juga dapat mengembangkan berbagai gejala fisik seperti sakit perut, gigi patah atau rusak, keracunan timbal, hingga tinja berdarah. Beberapa penderitanya dilaporkan terdiagnosis mengalami kekurangan nutrisi, mungkin memiliki kadar zat besi atau hemoglobin yang rendah.

Baca Juga: 7 Fakta Bulimia Nervosa, Gangguan Makan yang Bisa Menyebabkan Kematian

3. Apa penyebabnya?

Gangguan Makan Pica: Penyebab, Gejala, dan Pengobatanunsplash.com/Teo Zac

Dilansir Healthline, penyebab pasti pica hingga kini belum diketahui. Namun, orang-orang dengan skizofrenia (gangguan kejiwaan kronis yang membuat pengidapnya mengalami halusinasi, delusi, dan perubahan sikap), trikotolomania (gangguan psikis yang membuat penderitanya memiliki dorongan yang tidak tertahankan untuk mencabuti rambut sendiri), dan gangguan obsesif kompulsif (OCD) dapat mengembangkan pica sebagai coping mechanism untuk menyelesaikan masalah.

Selain itu, ibu hamil yang mengalami malnutrisi atau kekurangan zat besi juga mungkin mengembangkan gangguan makan ini.

Menurut keterangan dari National Center for Biotechnology Information, faktor risiko yang dapat meningkatkan risiko gangguan makan pica antara lain:

  • Tekanan
  • Faktor budaya
  • Kehamilan
  • Epilepsi
  • Kekurangan nutrisi
  • Gangguan kesehatan mental
  • Perilaku salah yang dipelajari
  • Status sosial ekonomi rendah
  • Penelantaran anak
  • Psikopatologi keluarga

4. Pengobatan gangguan makan pica

Gangguan Makan Pica: Penyebab, Gejala, dan Pengobatanilustrasi orang dengan gangguan makan pica (unsplash.com/Kelly Sikkema)

Evaluasi medis adalah langkah penting untuk mengetahui kondisi pasien secara menyeluruh, seperti kemungkinan mengalami anemia, penyumbatan usus, atau potensi mengalami keracunan dari kandungan benda-benda yang dimakan.

Dilansir WebMD, dokter akan melakukan evaluasi medis dan pemeriksaan fisik, terutama pada pasien yang menunjukkan gejala signifikan. Tes darah, sinar-X, evaluasi kebiasaan makan, serta pengujian kemungkinan infeksi dari makanan yang terkontaminasi dapat dilakukan.

Selain itu, dokter juga akan mengevaluasi apakah ada gangguan lain yang dialami pasien, seperti gangguan perkembangan, OCD, dan gangguan intelektual.

Mengutip MSD Manual, disebutkan bahwa modifikasi perilaku dan pengobatan defisiensi nutrisi serta komplikasi lain dapat dilakukan untuk mengobati gangguan makan pica.

Sebuah studi dalam Journal of Applied Behavior Analysis tahun 2000 menyarankan konsumsi suplemen multivitamin sederhana. Namun, belum ada penelitian yang fokus pada penggunaan obat-obatan untuk pasien gangguan makan pica.

5. Komplikasi yang dapat terjadi

Gangguan Makan Pica: Penyebab, Gejala, dan Pengobatanilustrasi pasien gangguan makan pica dirawat di rumah sakit (unsplash.com/Olga Kononenko)

Karena makan benda-benda tak lazim, beberapa kemungkinan komplikasi yang bisa terjadi meliputi:

  • Pada geophagia, bisa terjadi konstipasi, hipokalemia (kekurangan kalium) dengan miopati (kelainan otot), dan defisiensi nutrisi. Keracunan timbal bisa menjadi komplikasi serius.
  • Pada pagophagia, kekurangan zat besi bisa terjadi pada ibu hamil. Komplikasi lain yang bisa dialami adalah gigi sensitif dan rusak.
  • Pada mylophagia, komplikasinya dikaitkan dengan peningkatan gula darah obesitas karena asupan karbohidrat tinggi.
  • Benda lain khususnya yang mengandung kontaminan beracun seperti timbal, merkuri, arsenik, dan fluorida dapat membuat pemakannya mengalami efek toksik seperti keracunan timbal hingga berdampak pada kejang. Pada wanita hamil, kondisi ini dapat memengaruhi pertumbuhan janin seperti keterlambatan fungsi motorik.

Ngeri, ya!

Pada anak-anak dan ibu hamil, pica biasanya akan hilang sendiri tanpa perawatan. Namun, gangguan ini bisa berlangsung selama bertahun-tahun, khususnya pada orang-orang dengan retardasi mental. Untuk mengatasinya, dibutuhkan penanganan yang melibatkan tenaga kesehatan profesional.

Kalau kamu atau seseorang yang kamu kenal dicurigai mengalami pica, jangan dibiarkan. Memeriksakan diri sedini mungkin dapat mencegah komplikasi fatal.

Baca Juga: Ini 7 Fakta Eating Disorder, Laki-laki Juga Bisa Mengalaminya

Indriyani Photo Verified Writer Indriyani

Full-time learner, part-time writer and reader. (Insta @ani412_)

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Nurulia
  • Bayu Aditya Suryanto

Berita Terkini Lainnya