Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

WHO: Kenya Resmi Bebas dari Penyakit Tidur Mematikan

Lalat tsetse. (commons.wikimedia.org/International Atomic Energy Agency)
Lalat tsetse. (commons.wikimedia.org/International Atomic Energy Agency)
Intinya sih...
  • WHO menyatakan Kenya bebas dari penyakit tidur, menjadi negara ke-10 di dunia yang mencapai pencapaian penting ini.
  • Penyakit tidur disebabkan oleh parasit yang dibawa oleh lalat tsetse dan bisa menyebabkan pembengkakan otak jika tidak ditangani.
  • Pemerintah Kenya melakukan berbagai upaya pengendalian penyakit secara konsisten, termasuk pemantauan HAT di fasilitas kesehatan dan pemantauan lalat tsetse serta penyakit trypanosomiasis pada hewan.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara resmi menyatakan bahwa Kenya berhasil mengeliminasi penyakit tidur atau sleeping sickness (human African trypanosomiasis/HAT) sebagai masalah kesehatan masyarakat. Kenya menjadi negara ke-10 di dunia yang mencapai pencapaian penting ini. Sebelumnya, Kenya juga telah terbebas dari penyakit cacing Guinea pada tahun 2018.

"Saya ucapkan selamat kepada pemerintah dan masyarakat Kenya atas pencapaian bersejarah ini," kata Direktur Jenderal WHO, Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam sebuah rilis. “Ini menandai kemajuan menuju Afrika yang bebas dari penyakit tropis terabaikan.”

Apa itu penyakit tidur?

Lesi kulit (chancre) pada African trypanosomiasis pada manusia. (commons.wikimedia.org/https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5373517/)
Lesi kulit (chancre) pada African trypanosomiasis pada manusia. (commons.wikimedia.org/https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5373517/)

Penyakit tidur adalah infeksi yang disebabkan oleh parasit kecil yang dibawa oleh lalat tsetse. Infeksi ini bisa menyebabkan pembengkakan otak jika tidak ditangani.

Penyakit ini disebabkan oleh dua jenis parasit, yaitu Trypanosoma brucei rhodesiense dan Trypanosoma brucei gambiense. Jenis T. b. rhodesiense biasanya menyebabkan penyakit yang lebih berat. Di Kenya, hanya jenis rhodesiense (r-HAT) yang ditemukan, terutama di bagian timur dan selatan Afrika. Jenis ini berkembang dengan cepat dan bisa menyerang organ vital, termasuk otak. Tanpa pengobatan, penyakit ini bisa berakibat fatal hanya dalam hitungan minggu.

Lalat tsetse menyebarkan parasit ini. Ketika lalat yang terinfeksi menggigit manusia, parasit masuk ke dalam aliran darah dan menyebar ke seluruh tubuh.

Risiko tertinggi terjadi pada orang yang tinggal di wilayah Afrika di mana penyakit ini masih ada, terutama jika mereka sering berada di luar ruangan dan terkena gigitan lalat tsetse. Penyakit ini tidak ditemukan di Amerika Serikat, tetapi wisatawan atau orang yang pernah tinggal di Afrika bisa tertular. Mereka yang tinggal di pedesaan dan bekerja sebagai petani, nelayan, peternak, atau pemburu berisiko tinggi terkena penyakit ini.

Gejala umum meliputi:

  • Perubahan suasana hati, cemas.

  • Demam dan berkeringat.

  • Sakit kepala.

  • Lemas.

  • Sulit tidur pada malam hari.

  • Mengantuk berlebihan pada siang hari (bisa tidak terkendali).

  • Pembengkakan kelenjar getah bening di seluruh tubuh.

  • Benjolan merah dan nyeri di lokasi gigitan lalat.

Pengobatan tergantung jenis parasit penyebab infeksi. Obat yang umum digunakan meliputi:

  • Eflornithine (untuk T. b. gambiense).

  • Melarsoprol.

  • Pentamidine (untuk T. b. gambiense).

  • Suramin (Antrypol).

Kadang, dokter juga memberikan kombinasi dari beberapa obat di atas.

Jika tidak diobati, infeksi T. b. rhodesiense bisa menyebabkan kematian dalam waktu enam bulan, biasanya karena gagal jantung atau komplikasi dari infeksinya sendiri. Sementara itu, T. b. gambiense juga dapat memburuk dengan cepat dalam hitungan minggu dan perlu segera diobati.

Komplikasi yang mungkin terjadi antara lain:

  • Cedera akibat tertidur saat berkendara atau saat beraktivitas.

  • Kerusakan bertahap pada sistem saraf.

  • Tidur tidak terkendali.

  • Koma.

Perjalanan Kenya hingga dinyatakan bebas penyakit tidur

“Pencapaian ini menjadi tonggak penting dalam sejarah kesehatan masyarakat Kenya. Tidak hanya melindungi warga kami, tetapi juga membuka jalan bagi pertumbuhan ekonomi yang lebih baik,” ujar Dr. Aden Duale, Menteri Kesehatan Kenya. Ia menambahkan, ini adalah hasil dari kerja keras bertahun-tahun dan kolaborasi berbagai pihak.

Kasus HAT pertama di Kenya ditemukan pada awal abad ke-20. Sejak itu, pemerintah melakukan berbagai upaya pengendalian penyakit secara konsisten. Tidak ada lagi kasus lokal baru yang dilaporkan selama lebih dari 10 tahun. Kasus terakhir yang berasal dari dalam negeri ditemukan pada 2009, dan dua kasus terakhir yang tertular di Kenya (di Cagar Alam Nasional Masai Mara) terjadi pada tahun 2012.

Belakangan ini, Kenya memperkuat sistem pemantauan HAT di 12 fasilitas kesehatan di 6 wilayah yang pernah terjangkit penyakit ini. Fasilitas ini dilengkapi dengan alat diagnosis dan staf medisnya dilatih menggunakan metode paling akurat dan efisien untuk mendeteksi r-HAT.

Selain itu, pemantauan lalat tsetse dan penyakit trypanosomiasis pada hewan juga dilakukan secara aktif, bahkan di luar area yang sebelumnya endemik. Pemantauan ini didukung oleh otoritas kesehatan hewan nasional dan Dewan Pemberantasan Tsetse dan Trypanosomiasis Kenya (KENTTEC).

“Keberhasilan ini adalah hasil kerja sama antara pemerintah pusat dan daerah, lembaga riset nasional, mitra pembangunan, dan masyarakat setempat,” kata Dr. Patrick Amoth, Direktur Jenderal Kesehatan Kenya. Ia juga menegaskan bahwa Kenya akan terus mempertahankan kualitas pelayanan dan pemantauan sesuai standar WHO.

Dengan dukungan dari WHO dan mitra seperti FIND, program eliminasi HAT di Kenya akan menjalankan pemantauan pasca validasi untuk mendeteksi kemungkinan kemunculan kembali penyakit. WHO juga akan terus membantu pemantauan di wilayah yang pernah terdampak, dan menjaga stok obat donasi dari Bayer AG dan Sanofi, untuk memastikan penanganan cepat jika ada kasus baru.

Secara global, sudah ada 57 negara yang berhasil mengeliminasi setidaknya satu penyakit tropis terabaikan. Dari jumlah itu, 10 negara, termasuk Kenya, telah berhasil menghapus HAT sebagai masalah kesehatan publik. Negara lainnya termasuk Benin, Chad, Pantai Gading, Guinea Khatulistiwa, Ghana, Guinea, Rwanda, Togo, dan Uganda.

Referensi

"Sleeping sickness." MedlinePlus. Diakses Agustus 2025.

"Trypanosomiasis, human African (sleeping sickness)." World Health Organization. Diakses Agustus 2025.

"Kenya achieves elimination of human African trypanosomiasis or sleeping sickness as a public health problem." World Health Organization. Diakses Agustus 2025.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Nuruliar F
EditorNuruliar F
Follow Us