7 Film dan Series Antikerja Terbaik, Ada Mickey 17

Bekerja adalah bagian tak terpisahkan dari hidup manusia. Tujuan utamanya adalah mendapat penghasilan untuk membiayai kebutuhan sehari-hari. Namun, terkadang yang terjadi bukan seperti yang kita harapkan. Alih-alih mengambil sepertiga waktu kita dalam sehari, pekerjaan lama-lama jadi sesuatu yang menyita kehidupan kita sepenuhnya.
Ini bahkan tak diimbangi dengan kompensasi yang sesuai alias dieksploitasi. Ini yang kemudian menciptakan sebuah gerakan antikerja, macam quiet quitting sampai work-life balance. Memang tak sedrastis keluar dari pekerjaan dan gak bekerja sama sekali, tetapi bisa jadi bentuk pemberontakan kecil-kecilan terhadap ketidakadilan dan kerakusan pemberi kerja.
Isu antikerja juga sering menginspirasi sineas. Sepanjang sejarah ada setidaknya beberapa film yang sindir esensi bekerja dengan cara menarik. Berikut daftarnya.
1. La Cocina (2024)

La Cocina adalah film hitam putih yang berkutat di sebuah restoran elite nan sibuk di New York, Amerika Serikat bernama The Grill. Tempat itu memperkerjakan puluhan pegawai dari berbagai latar belakang, termasuk imigran dari berbagai negara. Intinya ia seperti miniatur New York yang sering dapat julukan melting pot.
Tampak fokus pada kisah cinta dua pegawainya, Pedro (Raúl Briones) dan Julia (Rooney Mara), sebenarnya ada banyak isu dan karakter lain yang dapat sorotan. Kritiknya terhadap kapitalisme cukup menohok. Tak lupa adegan klimaks yang bikin kita ikut merenung dan mempertanyakan sebenarnya apa sih yang kita cari di dunia ini?
2. Mickey 17 (2025)

Meski berlatar masa depan, Mickey 17 gak kalah relevan dengan film sebelumnya. Seperti biasa Bong Joon Ho selalu menyelipkan pesan sosial dalam karyanya. Kali ini lewat karakter Mickey (Robert Pattinson), pria yang bangkrut dan akhirnya memilih bekerja untuk sebuah perusahaan ekspedisi luar angkasa. Tugasnya adalah menjelajahi sebuah planet yang dipercaya bisa jadi bumi kedua untuk manusia.
Ia diminta untuk mendarat dan menguji seberapa aman planet itu untuk dihuni manusia. Tentunya, ia harus berkorban nyawa untuk tugas itu. Menariknya, setiap kali ia tewas, perusahaan yang memperkerjakannya bisa mencetak kloningnya berkali-kali dan memintanya melakukan hal yang sama dengan sampel uji yang berbeda-beda.
3. Working Girls (1986)

Working Girls tak kalah menohok. Dibuat pada 1980-an, film mengikuti Molly (Louise Smith), perempuan kelas menengah lulusan universitas ternama yang menceburkan diri dalam industri seks demi bisa membeli rumah. Ia menjalankan profesinya secara profesional dan tertib, tetapi ketekunannya justru dimanfaatkan sang muncikari yang rakus dan kapitalis.
Lewat interaksi Molly dengan pelanggan dan beberapa rekan kerjanya, kritik terhadap kapitalisme seperti celah eksploitasi dan ketiadaan jaminan keselamatan dilontarkan cukup gamblang. Ini tipe film yang bikin kamu tersadar kalau ketekunan dan konsistensi tidak selamanya berbanding lurus dengan kesejahteraan. Ada pihak-pihak tertentu yang menghalangi itu terjadi.
4. The Menu (2022)

Penampilan Ralph Fiennes memang gak pernah gagal. Dalam The Menu, ia berhasil memerankan sosok koki sukses yang mengundang pelanggan setianya menikmati sajian makan malam spesial di sebuah pulau pribadi. Tanpa disadari, makan malam itu ternyata adalah bentuk balas dendam dan kemuakannya terhadap ketamakan dan sikap perfeksionis orang-orang kelas atas yang mirisnya mendominasi target pasarnya.
Menariknya, misi sang koki dipotret dari sudut pandang Margot (Anya Taylor-Joy), perempuan kelas pekerja yang diundang jadi plus one salah satu tamu di acara tersebut. Usahanya untuk keluar dari jebakan sang koki jadi sebuah misi seru yang sarat komentar sosial. Gak heran kalau The Menu banjir pujian.
5. Severance (2022-2025)

Severance adalah sebuah series yang dikembangkan Apple TV+ dengan tema antikerja. Inti dari serial yang tayang perdana pada 2022 ini adalah kehidupan para pegawai di sebuah perusahaan bioteknologi. Beda dengan pekerja pada umumnya, setiap masuk dan pulang kantor, mereka akan melalui prosedur penghilangan ingatan.
Tujuannya memisahkan kehidupan profesional dengan kehidupan pribadi secara mutlak agar mereka bisa fokus bekerja saja saat berada di kantor. Namun, bukannya mempermudah hidup mereka, para pegawai ternyata jadi punya dua kepribadian berbeda. Satu yang identik dengan kepribadian mereka di kantor, dan satu lagi saat mereka berada di luar kantor.
6. The Delinquents (2023)

Bertema heist, tetapi ternyata juga menguarkan pesan antikerja, The Delinquents gak kalah seru. Lajunya boleh lambat dan agak dreamy, tetapi kritiknya terhadap esensi bekerja cukup nampol. Film berkutat pada dua pegawai bank bernama Moran (Daniel Elías) dan Roman (Esteban Bigliardi) yang sepakat bersekongkol setelah mencuri sejumlah uang dari brankas kantor.
Mereka sepakat kalau Moran akan masuk penjara selama beberapa tahun dan Roman akan menyimpan uang itu sampai sang kawan bebas, kemudian membaginya sama rata. Moran, sang pencetus ide berharap uang itu akan membebaskannya dari kewajiban bekerja sampai akhir hayatnya. Ia juga beberapa kali mengkritik esensi pekerjaan dan pengabdian terhadap kantor. Pertanyaannya, apakah rencana mereka semudah yang dibayangkan?
7. 9 to 5 (1980)

Film antikerja berikutnya berjudul 9 to 5. Dibintangi Dolly Parton, Jessica Fonda, Lily Tomlin, ketiganya memerankan tiga perempuan yang bekerja di sebuah kantor. Sebagai perempuan, motif bekerja dan posisi mereka di kantor cukup beragam dan dinamis. Ada yang kembali bekerja karena baru bercerai; ada yang sudah lama mengabdi di kantor, tetapi tak kunjung naik jabatan karena kalah dari rekan kerja prianya; serta satu lagi ditaksir si bos dan diobjektifikasi.
Semua situasi itu bikin mereka mulai muak dan termotivasi untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih baik. Gol utamanya jelas segera keluar dari tempat toksik itu dan menjalani kehidupan yang mereka impikan. Meski dirilis pada 1980, isunya masih relevan sampai sekarang. Ini salah satu film Hollywood berlatar kantor terbaik yang pernah dibuat.
Bekerja memang bisa jadi ajang aktualisasi diri, tetapi tetap saja kita sering terjebak dalam situasi yang gak menguntungkan. Regulasi memang ada, tetapi benarkah pekerja sudah dijamin betul haknya? Relasi kuasa dan opresi kelas nyatanya masih jadi hambatan untuk meraih hak-hak itu.