Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Film Animasi Non-Disney yang Pantas Dapat Remake Live Action

adegan dalam film How to Train Your Dragon. (dok. DreamWorks Animation/How to Train Your Dragon)
Intinya sih...
  • The Iron Giant (1999) memiliki potensi besar sebagai live action dengan teknologi CGI modern untuk menggambarkan robot raksasa secara realistis.
  • Coraline (2009) dapat menjelajahi sisi gelap cerita lebih dalam lewat versi live action yang menyeramkan.
  • Anastasia (1997) memiliki kekuatan cerita musikal, sejarah, dan fantasi yang dapat diangkat ke layar lebar sebagai live action.

Bicara soal tren remake live action, Disney masih menjadi nama paling dominan dalam beberapa tahun terakhir. Studio ini sudah mengadaptasi berbagai film animasi klasiknya ke versi live action, mulai dari Snow White hingga Lilo & Stitch. Meskipun tak semuanya berhasil menuai pujian, Disney tetap jadi pelopor dalam membentuk pasar remake yang kini semakin luas.

Namun, dominasi itu mulai digoyang oleh DreamWorks lewat adaptasi live action How to Train Your Dragon yang tayang di Indonesia sejak Rabu (11/6/2025). Kembali disutradarai Dean DeBlois, film ini disebut-sebut sebagai salah satu remake yang paling setia terhadap versi animasinya. Kritikus memuji efek visual yang spektakuler serta performa aktor yang berhasil menghidupkan dunia Berk dengan lebih emosional dan dramatis.

Keberhasilan ini seolah membuka gerbang bagi studio lain untuk ikut bereksperimen menghidupkan animasi mereka lewat format live action. Apalagi, banyak film animasi dari luar Disney yang memiliki kekuatan cerita dan visual tak kalah menarik untuk dikembangkan lebih jauh. Nah, berikut lima film animasi non-Disney yang pantas diangkat ke versi live action setelah kesuksesan How to Train Your Dragon!

1. The Iron Giant (1999)

adegan dalam film The Iron Giant. (dok. Warner Bros. Pictures/The Iron Giant)

Walau pada saat dirilis tak mendapat sambutan besar di box office, film animasi buatan Warner Bros. ini mampu mencetak status cult classic berkat ceritanya yang menyentuh dan pesan moralnya yang kuat. The Iron Giant mengambil latar 1957 di sebuah kota kecil saat ketegangan Perang Dingin membuat warga Amerika hidup dalam paranoia. Di tengah ketakutan itu, seorang bocah bernama Hogarth Hughes bertemu dengan robot raksasa dari luar angkasa yang justru menunjukkan sifat lebih manusiawi dibanding banyak orang dewasa di sekitarnya.

Dengan eksekusi yang tepat, The Iron Giant versi live action berkesempatan menjadi salah satu adaptasi terbaik dari film animasi non-Disney setelah How to Train Your Dragon. Teknologi CGI modern bisa menggambarkan skala dan kekuatan sang robot secara lebih realistis, sambil tetap mempertahankan nuansa 1950-an yang kental. Jalan cerita pun bisa dikembangkan lebih dalam, terutama pada konflik batin sang robot dan kritik sosial terhadap perang dan politik yang masih relevan hingga kini.

2. Coraline (2009)

adegan dalam film Coraline. (dok. Laika/Coraline)

Laika, studio animasi asal Oregon, AS, juga mempunyai sederet film animasi yang cocok diangkat dalam bentuk live action. Kalau boleh memilih satu, penulis dengan mantap menunjuk Coraline. Punya dunia yang surealis dan atmosfer mencekam, film adaptasi novel karya Neil Gaiman ini menyimpan kapasitas besar untuk tampil lebih menyeramkan lewat versi live action.

Coraline mengisahkan Coraline Jones, gadis kecil yang pindah ke apartemen tua dan merasa diabaikan oleh orangtuanya. Suatu hari, ia menemukan pintu rahasia ke dunia paralel. Di sana, segalanya terasa lebih baik, termasuk versi lain dari orangtuanya. Namun, semua berubah jadi mimpi buruk saat sang "Other Mother" memintanya untuk menjahit kancing ke matanya agar bisa tinggal di sana selamanya.

Live action Coraline bisa menjelajahi sisi gelap cerita yang selama ini hanya disiratkan dalam versi animasi. Bayangkan betapa menyeramkannya Other Mother dalam bentuk manusia sungguhan, dengan senyum palsu dan tatapan kosong dari mata kancingnya. Dan kalau suatu saat Henry Selick, sutradara aslinya, berhalangan terlibat, Guillermo del Toro atau Jordan Peele bisa jadi pilihan menarik untuk mengarahkan versi live action-nya.

3. Anastasia (1997)

adegan dalam film Anastasia. (dok. 20th Century Studios/Anastasia)

Meskipun secara tampilan Disney banget, Anastasia sejatinya adalah produksi Fox Animation Studios, bagian dari 20th Century Studios. Film ini mengisahkan Anastasia, putri bungsu keluarga Romanov, yang terpisah dari neneknya saat berusaha kabur dari revolusi Rusia. Dalam pelariannya, ia mengalami amnesia dan tinggal di panti asuhan dengan identitas baru sebagai Anya.

Sepuluh tahun kemudian, Anya yang ingin mencari asal-usulnya bertemu Dimitri dan Vladimir, dua penipu yang sedang mencari gadis mirip Anastasia untuk mengelabui sang nenek demi hadiah besar. Tanpa mereka sadari, Anya sebenarnya adalah putri yang mereka cari. Namun, ancaman datang dari Rasputin, penyihir jahat yang bangkit dari kematian untuk menyelesaikan kutukannya terhadap keluarga Romanov.

Dengan kekuatan cerita yang menggabungkan musikal, sejarah, dan fantasi, Anastasia punya potensi besar untuk diangkat ke layar lebar sebagai live action. Lagu-lagu ikoniknya, seperti “Once Upon a December” dan “Journey to the Past”, pasti akan terdengar makin magis jika dibawakan dengan aransemen orkestra modern. Kira-kira, siapa, ya, aktris yang cocok memerankan sang putri tangguh dengan masa lalu misterius ini?

4. The Last Unicorn (1982)

adegan dalam film The Last Unicorn. (dok. Topcraft/The Last Unicorn)

Mundur empat dekade, ada The Last Unicorn yang dibuat oleh Topcraft, studio animasi asal Jepang yang disebut sebagai pendahulu Studio Ghibli. Film ini mengisahkan seekor unicorn yang menyadari bahwa mungkin ia adalah yang terakhir dari jenisnya setelah mendengar kabar dari seekor kupu-kupu tua. Bertekad mencari kebenaran, ia memulai perjalanan panjang yang membawanya bertemu dengan penyihir kikuk, seorang wanita pencuri, dan makhluk mitos bernama Red Bull.

Yang membuat film ini istimewa adalah nuansa gelap yang menyelimuti cerita dongengnya. Di balik dunia sihir dan keajaiban, terselip tema-tema dewasa, seperti kehilangan, keabadian, dan pengorbanan. Bukan sekadar petualangan fantasi, kisahnya juga mengandung refleksi emosional tentang identitas dan kerinduan akan rumah. Format CGI-live action hybrid ala The Jungle Book (2016) atau The Lion King (2019) bisa jadi solusi menarik untuk membangkitkan kembali pesona The Last Unicorn di layar lebar.

5. Song of the Sea (2014)

adegan dalam film Song of the Sea. (dok. Cartoon Saloon/Song of the Sea)

Terakhir, tetapi juga sangat layak untuk dipertimbangkan jadi film live action adalah Song of the Sea. Film animasi buatan Cartoon Saloon yang masuk nominasi Oscar 2015 ini menyulap dongeng rakyat Irlandia menjadi kisah petualangan yang magis sekaligus menyentuh hati. Gaya animasi 2D yang khas dan nuansa melankolisnya menjadikan Song of the Sea salah satu animasi non-Disney paling berkesan dalam satu dekade terakhir.

Film ini mengikuti Ben, bocah yang sulit menerima adik perempuannya, Saoirse, sejak ibunya menghilang tepat setelah kelahiran sang adik. Ketika mereka dipisahkan dari sang ayah dan dibawa ke kota oleh nenek mereka, Ben dan Saoirse melarikan diri untuk kembali ke rumah mereka. Dalam perjalanan itu, Ben menyadari bahwa Saoirse bukan anak biasa, melainkan selkie, makhluk mitologi yang bisa berubah menjadi anjing laut.

Adaptasi live action-nya tentu akan menjadi tantangan tersendiri, terutama dalam menjaga atmosfer magis dan keindahan visual khas versi animasi. Apalagi, mencari aktor cilik yang mampu menggambarkan kompleksitas dinamika hubungan kakak-adik seperti Ben dan Saoirse bukan perkara mudah. Namun, dengan arahan yang tepat dan perhatian besar terhadap detail budaya, remake ini bisa jadi karya yang tak kalah epik dari versi aslinya!

Kelima film animasi non-Disney tadi membuktikan bahwa dunia live action tak harus selalu berkiblat ke Disney untuk menghadirkan kisah yang magis dan emosional. Dari petualangan robot raksasa sampai dongeng rakyat Irlandia, semuanya punya potensi besar untuk tampil sama memukaunya. Nah, menurutmu, animasi non-Disney apa lagi, nih, yang layak banget di-remake jadi live-action?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Naufal Al Rahman
EditorNaufal Al Rahman
Follow Us