Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

7 Sebab Suka Menyontek, Terbebani Tuntutan Orangtua akan Nilai

ilustrasi menyontek (pexels.com/RDNE Stock project)

Menyontek tidak hanya kerap dilakukan murid di sekolah, melainkan juga mahasiswa ketika menghadapi ujian. Beragam cara dilakukan mulai dari menyiapkan kertas sontekan dari rumah, nekat membuka buku, sampai meminta jawaban dari teman. Bahkan terkadang kertas sontekan beredar dari satu meja ke meja yang lain.

Sekalipun hal ini begitu sering terjadi, jangan ditiru, ya! Terbaik adalah tetap mengerjakan soal-soal sendiri apa pun hasilnya nanti. Membiasakan diri untuk bersikap jujur termasuk ketika mengikuti ujian amatlah penting.

Perbuatan menyontek sudah bentuk ketidakjujuran, tetapi jika diteruskan bakal membuat pelakunya makin suka berdusta dalam hal apa saja. Mengapa sebagian siswa sampai mahasiswa seperti tak berpikir dua kali dalam menyontek? Berikut tujuh jawaban serta penjelasannya yang semoga dapat membuat pengajar maupun orangtua lebih mampu mencegahnya dan peserta didik sendiri terdorong buat menghentikan kebiasaan buruknya.

1. Malas belajar

ilustrasi menyontek (pexels.com/RDNE Stock project)

Mau tidak mau setiap murid atau mahasiswa memang mesti giat belajar. Kalau gak begitu, mereka bakal kesulitan sendiri ketika tiba waktunya mengikuti ujian. Meski ada istilah sistem kebut semalam untuk proses belajar yang baru dilakukan H-1 dari pelaksanaan ujian, cara ini gak efektif.

Materi yang banyak sekali tidak mungkin dijejalkan ke ingatan dalam waktu beberapa jam saja. Bukannya kita akan mampu mengingatnya dengan baik hingga tiba saatnya mengerjakan soal-soal, malah semua materi tak ada yang terekam dalam kepala. Banyak yang hilang dari ingatan atau bercampur dengan materi lain sehingga membingungkan.

Malas belajar bakal berakhir dengan keputusan menyontek saja setiap ujian tiba. Proses belajar hampir tidak terjadi karena seseorang cuma mementingkan hasil ujian. Kalaupun dia berhasil lulus dengan selalu menerapkan kecurangan begini, dari segi ilmu bakal tampak sekali tak menguasai.

2. Teman-teman juga melakukannya

ilustrasi menyontek (pexels.com/RDNE Stock project)

Kita mudah terpengaruh oleh apa yang dilakukan oleh orang-orang di sekitar. Kalau teman-teman juga suka menyontek bahkan saling membantu untuk melancarkan aksi itu, kita lebih mungkin berbuat sama. Rasanya justru aneh dan seakan-akan kita mengucilkan diri apabila tidak ikut melakukannya.

Kita tahu bahwa perbuatan menyontek buruk. Akan tetapi, banyaknya orang di sekitar yang melakukannya membuat perbuatan tersebut tampak wajar. Kita tidak hanya belajar menoleransi tindakan tercela itu, melainkan juga mengikutinya.

Orang yang berprinsip sekuat apa pun akan kesulitan mempertahankannya apabila pengaruh lingkungan lebih besar. Ia bakal ikut-ikutan juga. Pembenaran diri biasanya berbunyi, "Kalau gak ikut menyontek nanti nilaiku malah paling rendah. Toh, aku cuma mau menyontek sedikit, tak separah yang lain."

3. Lemahnya pengawasan di kelas

ilustrasi menyontek (pexels.com/RDNE Stock project)

Seharusnya, tanpa pengawasan yang ketat pun kejujuran selalu diutamakan. Akan tetapi, dalam praktiknya gak semudah itu. Lemahnya pengawasan di kelas selama ujian berlangsung sama dengan memberi lampu hijau untuk para peserta didik menyontek.

Lihat saja kalau pengawas ujian keluar sebentar dari ruangan. Sebagian siswa langsung sibuk menengok ke kiri, kanan, dan belakang plus mencolek teman di depannya. Mereka saling bertanya dan berbagi jawaban dengan berbisik atau inilah waktunya mengeluarkan kertas sontekan.

Maka tak peduli pada jenjang pendidikan apa pun, pengawasan yang ketat oleh guru atau dosen selama ujian berlangsung amat dibutuhkan. Kalau sikap jujur belum berakar kuat dalam diri peserta didik, pengawasan oleh orang yang disegani menjadi kuncinya. Apalagi bila pengawas terus berjalan ke seluruh penjuru ruangan yang membuat mereka tidak berkutik.

4. Tuntutan nilai yang tinggi dari orangtua

ilustrasi menyontek (pexels.com/RDNE Stock project)

Pendidikan kita masih lekat sekali dengan berapa nilai yang diperoleh di setiap mata pelajaran atau mata kuliah. Peraih nilai tinggi dipandang pintar, sebaliknya murid atau mahasiswa yang nilainya rendah dianggap bodoh. Mengusahakan hasil ujian yang baik tentu tidak salah.

Nilai yang tinggi diharapkan betul-betul mencerminkan penguasaan akan materi yang sudah dipelajari dan diujikan. Namun, bagaimana bila nilai yang bagus ternyata tak lebih dari hasil menyontek? Mana yang lebih penting bagi orangtua, nilai palsu itu atau karakter anak?

Kalau orangtua hanya berfokus pada nilai tinggi, maka itulah yang akan dikejar mati-matian oleh anak. Benar atau salah caranya tak lagi penting asalkan bisa bikin orangtua bangga. Sementara itu, orangtua yang lebih santai soal nilai membuat anak berusaha mendapatkan nilai semampunya saja dan tidak mempertaruhkan prinsip-prinsip moral.

5. Kurangnya penekanan mengenai kejujuran

ilustrasi menyontek (pexels.com/Andy Barbour)

Kejujuran semestinya menjadi hal paling utama yang ditanamkan dalam diri setiap anak. Tidak hanya dengan mengandalkan pendidikan di sekolah atau perguruan tinggi, melainkan sejak dalam keluarga. Jujur mesti lebih diapresiasi ketimbang nilai tinggi yang diraih dengan cara-cara negatif.

Apabila penanaman nilai kejujuran gak sungguh-sungguh, kita tumbuh dengan sifat jujur yang lemah. Lebih gampang buat kita memutuskan berbohong serta melakukan berbagai kecurangan. Menyontek bahkan hanya ketidakjujuran kecil yang belum ada apa-apanya dari tindakan yang lebih hina dan berpotensi dilakukan selepas kita bekerja.

Misalnya, kita bakal menjadi pejabat atau karyawan yang korup, suka memutarbalikkan fakta, mengadu domba, dan sebagainya. Oleh sebab itu, penekanan pada kejujuran sangatlah utama. Orangtua serta pendidik mesti terus bersama-sama menanamkan nilai ini pada anak atau peserta didik.

6. Makin mudah dilakukan dengan gadget

ilustrasi menyontek (pexels.com/RDNE Stock project)

Perbuatan menyontek sudah ada sejak dahulu, tetapi caranya kini makin bervariasi. Sebelum ada gadget, kita menyontek hanya mengandalkan kertas sontekan yang dibuat sendiri, tanya teman kalau ada kesempatan, atau mengintip buku jika berani. Kertas sontekan pun cuma kecil sehingga gak terlalu banyak yang bisa ditulis.

Akan tetapi, kehadiran gadget khususnya smartphone dapat dengan mudah disalahgunakan beberapa murid atau mahasiswa untuk menyontek. Kita bisa mencari jawaban atas pertanyaan apa pun melalui internet. Jika kita di posisi pendidik, gadget ini perlu dikumpulkan dulu sebelum ujian dimulai untuk memperkecil kemungkinan peserta menyontek.

Bukan gadgetnya yang salah, tetapi adanya sarana yang memudahkan aksi menyontek bakal dimanfaatkan secara maksimal oleh murid atau mahasiswa yang telah berniat melakukannya. Bahkan siapa pun bisa tergoda berbuat curang kalau sudah berhadapan dengan soal-soal sulit, sedangkan gawai di saku dapat dengan mudah memecahkannya. Apalagi jika posisi duduknya jauh dari pengawas ujian.

7. Sanksi yang ringan

ilustrasi menyontek (pexels.com/RDNE Stock project)

Semua perbuatan yang tidak terpuji mesti dikenai sanksi agar jelas mana tindakan yang diapresiasi dan gak. Hanya saja, sanksi yang tak seberapa juga tidak efektif untuk menghentikan tindakan negatif apa pun, termasuk menyontek. Sebagai contoh, ketahuan menyontek berkali-kali pun cuma mendapat teguran.

Tidak ada pengaruhnya sama sekali terhadap nilai yang akan diperolehnya. Pelaku pasti bakal terus mengulanginya di ujian-ujian berikutnya. Bahkan kawan-kawannya yang semula jujur juga dapat menirunya sebab belajar keras serta menjawab soal-soal sendiri akhirnya sia-sia.

Orang yang menyontek malah bisa memperoleh nilai yang lebih bagus dari mereka. Ini sebabnya ketegasan pengawas ujian sangat dibutuhkan. Kalau begitu ada peserta ujian yang ketahuan menyontek akan dirampas kertas ujiannya dan mendapatkan nilai 0, tentu tidak ada yang berani coba-coba melakukannya.

Kebiasaan menyontek cukup sulit dihilangkan karena kepercayaan diri pelakunya cenderung terus menurun. Meski sebetulnya ia bisa belajar dan mengerjakannya sendiri, jika tidak menyontek rasanya takut salah. Pastikan diri sendiri, orangtua, maupun pengajar bahu-membahu untuk menumbuhkan rasa percaya diri ini. Benar atau salahnya jawaban dan bagus atau tidaknya nilai yang diperoleh menjadi nomor dua, terpenting tetap percaya diri serta jujur.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Marliana Kuswanti
EditorMarliana Kuswanti
Follow Us