5 Cara Mengkritik Kesalahan Anak dengan Bijak, Arahkan!

Dalam proses membesarkan anak, pasti akan ada saat-saat di mana anak melakukan kesalahan, baik itu karena ketidaktahuan, rasa ingin tahu yang tinggi, atau karena sedang menguji batas. Di momen-momen seperti inilah, kita seringkali merasa perlu menegur, menasihati, atau bahkan mengkritik mereka.
Namun, yang perlu kita sadari adalah cara kita mengkritik akan sangat mempengaruhi bagaimana anak menerima dan memaknainya. Kritik yang disampaikan dengan nada tinggi atau penuh emosi bisa membuat anak merasa diserang, malu, atau bahkan takut. Akibatnya? Mereka bisa jadi defensif, tertutup, atau malah mengabaikan kritik itu sama sekali.
Sebaliknya, kritik yang disampaikan dengan bijak dapat membantu anak belajar dari kesalahan tanpa merusak harga diri mereka. Anak akan lebih terbuka, merasa didukung, dan tumbuh menjadi pribadi yang mampu menerima masukan dengan lapang dada. Maka dari itu, yuk kita pelajari cara mengkritik kesalahan anak dengan bijak yang bisa kamu terapkan.
1. Hindari sarkasme dan ejekan

Mungkin terdengar sepele, tapi sarkasme bisa menyakitkan hati anak jauh lebih dalam daripada yang kita bayangkan. Kalimat seperti, “Wah, pintar banget ya kamu bikin rumah berantakan,” atau “Hebat, nilainya merah lagi,” mungkin diucapkan dengan nada bercanda, tapi anak tidak selalu bisa memprosesnya seperti orang dewasa.
Menurut psikolog anak, Dr. Haim Ginott, “Tidak ada tempat untuk komentar pedas dalam percakapan antara orangtua dan anak.” Komunikasi yang sinis atau mengejek justru membuat anak merasa tidak dihargai, bahkan bisa menumbuhkan perasaan dendam atau minder.
Alih-alih menggunakan sarkasme, kita bisa mengatakan dengan tegas namun tetap lembut, “Ibu sedih lihat nilai ulanganmu seperti ini. Ayo kita cari tahu, bagian mana yang masih kamu bingung.”
2. Berikan arahan yang jelas dan spesifik

Saat anak melakukan kesalahan, orangtua sering terjebak dalam kemarahan dan mengeluarkan kalimat seperti, “Kenapa sih kamu nggak pernah dengar!” atau “Kamu tuh selalu bikin masalah!” Kalimat seperti ini tidak memberikan solusi, dan hanya menambah beban emosional anak.
Bandingkan dengan kalimat, “Sekarang ambil handuk dan lap air yang tumpah, ya. Setelah itu, kita bicara.” Kalimat ini memberikan arahan yang jelas, tenang, dan berfokus pada solusi.
Psikolog klinis, Dr. Laura Markham, penulis buku Peaceful Parent, Happy Kids, mengatakan bahwa anak akan lebih responsif jika mereka tahu apa yang diharapkan dari mereka. Arahan yang jelas juga membantu anak belajar bertanggung jawab tanpa merasa dihukum secara emosional.
3. Fokus pada perilaku, bukan pribadi anak

Salah satu kesalahan terbesar orangtua saat mengkritik adalah menyerang kepribadian anak, bukan tindakan mereka. Misalnya, “Kamu pemalas!” atau “Dasar ceroboh!” Kalimat seperti ini bisa membentuk identitas negatif dalam diri anak. Mereka bisa tumbuh dengan keyakinan bahwa memang itulah mereka, dan merasa tidak mampu berubah.
Sebaliknya, katakan, “Kamu lupa mengerjakan PR ya? Coba kita atur jadwal belajar yang lebih konsisten, yuk.” Dengan begitu, anak tahu bahwa kesalahan itu bukan karena mereka buruk, tapi karena ada hal yang bisa diperbaiki.
Menurut studi dari Harvard University, anak-anak yang diberi umpan balik berdasarkan tindakan, bukan karakter, cenderung memiliki self-esteem yang lebih sehat dan motivasi yang lebih tinggi untuk berubah.
4. Libatkan anak dalam pemecahan masalah

Daripada hanya memberi hukuman, coba ajak anak berdiskusi dan mencari solusi bersama. Misalnya, jika anak terlalu lama bermain gadget, katakan, “Kita sering berdebat soal waktu main HP. Menurut kamu, gimana solusinya supaya kita nggak bertengkar lagi?”
Dengan cara ini, anak merasa dilibatkan, dihargai, dan lebih bertanggung jawab. Anak-anak yang dilatih menyelesaikan masalah sejak dini, menurut American Psychological Association (APA), memiliki kemampuan regulasi emosi dan pengambilan keputusan yang lebih baik saat dewasa.
Diskusi seperti ini juga memperkuat hubungan emosional antara orangtua dan anak. Anak merasa aman untuk bicara, sekaligus belajar memahami batasan dengan cara yang sehat.
5. Jangan ungkit masa lalu atau khawatir dengan masa depan

Kalimat seperti, “Kamu memang selalu begitu dari dulu,” atau “Kalau terus begini, kamu nggak akan sukses di masa depan,” bukan hanya menyakitkan, tapi juga melemahkan semangat anak. Anak akan merasa masa depannya sudah ditentukan oleh kesalahan saat ini, dan itu bisa menurunkan motivasi mereka untuk berubah.
Sebaliknya, fokuslah pada situasi saat ini dan solusi konkret. Katakan, “Sekarang Ibu butuh kamu lebih fokus belajar. Ayo kita coba tanpa distraksi selama 30 menit, bisa?” Kalimat ini mengajak anak untuk memperbaiki diri sekarang, tanpa beban masa lalu atau ketakutan masa depan.
Psikolog parenting Adele Faber dan Elaine Mazlish dalam bukunya How to Talk So Kids Will Listen & Listen So Kids Will Talk menekankan pentingnya komunikasi yang membangun dan berfokus pada momen sekarang untuk menumbuhkan rasa percaya diri anak.
Mengkritik anak tidak harus identik dengan marah-marah, bentakan, atau hukuman. Justru, kritik yang bijak adalah bentuk kasih sayang. Saat dilakukan dengan benar, kritik bisa jadi alat untuk membentuk karakter, tanggung jawab, dan empati dalam diri anak.