Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Introspeksi bagi Orangtua yang Kerap Bertengkar sama Anak

ilustrasi orangtua dan anak (pexels.com/Nicola Barts)
Intinya sih...
  • Introspeksi dan evaluasi diri sebagai orangtua, menjadi kunci untuk memahami penyebab pertengkaran dengan anak
  • Orangtua perlu belajar menghargai sudut pandang anak, dan berusaha mencari jalan tengah dalam setiap perbedaan pendapat
  • Mengakrabkan diri dengan anak sebagai sosok mentor dan sahabat sejati, dapat meminimalisir terjadinya pertengkaran

Menjadi orangtua, bisa disebut sebagai pekerjaan seumur hidup yang tanpa dibayar sepeser pun. Bak pekerjaan sosial yang harus dilakukan dengan sepenuh hati, menjadi orangtua juga mengandalkan kasih dan sayang sebagai penguatnya. 

Ya, tak jarang menjadi orangtua yang justru mengeluarkan banyak biaya untuk anaknya ini masih terbebani saat sering terjadi pertengkaran dengan anaknya. Alih-alih selalu menyudutkan hingga menyalahkan anak. Maka, alangkah lebih baiknya untuk orangtua bisa introspeksi sekaligus evaluasi dirinya sendiri terlebih dahulu. Berikut sederet ulasan lengkapnya.

1. Anak adalah cerminan orangtua

ilustrasi orangtua dan anak (pexels.com/Anastasia Shuraeva)

Pada dasarnya, evaluasi sekaligus introspeksi diri yang terbaik ialah dengan bercermin. Bak buah yang jatuh tak jauh dari pohonnya. Maka, bisa jadi nakalnya sang anak itu ialah cerminan dari tingkah laku orangtuanya dulu. Mungkin juga mencontoh dari sikap dan tindakan orangtua di masa sekarang yang tanpa disadari, pun hanya secara tersirat. 

Intinya, tidak akan ada asap jika tak ada api. Temukan faktor penyebab pertengkaran dengan anak lewat evaluasi hal apa saja yang terjadi antara orangtua dengan anak. Dengan mengetahui hubungan sebab akibat yang ada, maka satu sama lain bisa saling memahami. Yakni, jika tak ingin akibat itu terjadi, maka semaksimal mungkin jauhi penyebabnya. 

2. Jangan memperlakukan anak yang sedangkan orangtua tak ingin diperlakukan seperti itu

ilustrasi orangtua dan anak (pexels.com/Annushka Ahuja)

Sebagai makhluk sosial yang punya rasa simpati dan empati, maka selayaknya bisa memakai kombinasi logika dan perasaan di setiap keputusan yang diambil. Sayangnya, tak semua orangtua bisa melakukan hal tersebut untuk anaknya. 

Masih banyak orangtua yang berdalih demi kebaikan anak, sampai-sampai tega memperlakukan anak dengan begitu kerasnya. Padahal, jika situasi dan kondisinya dibalikkan, orangtua belum tentu bahkan sudah jelas tak mampu menerimanya. 

Sederhananya, jika anak disuruh fokus belajar dengan mengurangi jam nontonnya. Maka, orangtua juga harus bisa memposisikan diri sebagai anak dengan tidak nonton di saat jam belajar anak. Orangtua yang bisa menghargai anak, tentu sang anak juga bisa lebih sopan, paham, dan patuh akan niat baik orangtua tanpa terjadi perdebatan pun membuat pertengkaran. 

3. Melarang anak yang timbulkan masalah, maka orangtua wajib bertanggung jawab cari solusinya

ilustrasi orangtua dan anak (pexels.com/Antoni Shkraba)

Introspeksi selanjutnya lagi-lagi terkait larangan yang diberikan orangtua dengan dalih demi kebaikan anak. Yang mana larangan itu jika dipatuhi tak jarang bisa melahirkan masalah bagi sang anak. 

Sayangnya, orangtua banyak yang tak mau tahu detailnya, maunya anak dilarang melakukan hal terkait. Urusan solusi dari masalah yang timbul usai patuh akan larangan orangtua seakan hanya jadi beban anak. Bahkan, orangtua tak pernah membayangkan risikonya, seolah tak pernah terjadi saja. 

Misalnya saja orangtua melarang anaknya untuk pacaran karena masih di bawah umur. Pernahkah orangtua sadar bahwa jatuh cinta itu tidak memandang umur lantaran hadirnya secara alamiah? Pun tanpa memandang target jatuhnya pada siapa, bahkan bisa jatuh cinta ke orang yang salah. 

Sangat teramat kasihan sang anak yang hanya dilarang orangtuanya untuk tidak pacaran. Urusan patah hatinya, bagaimana cara move on hingga sepenuhnya sembuh bisa melanjutkan hidup seolah orangtua langsung lepas tangan.

Oleh karena orangtua yang tak membantu mencari solusinya, jelas anak akan susah lepas dari sebuah larangan yang berisiko, apa pun itu. Nantinya, jika ketahuan orangtua jelas hanya akan tersisa perdebatan dan pertengkaran yang tak berujung.

4. Kurangi senioritas, belajar meihat sudut pandang anak

ilustrasi orangtua dan anak (pexels.com/Ann Bugaichuk)

Introspeksi lain yang tak kalah penting ialah belajar menjadi orangtua dengan pemikiran terbuka yang bisa melihat aneka sudut pandang. Kurangi pemikiran kolot yang terbentuk dari adanya senioritas orangtua.

Di era modern yang kompleks ini, orangtua tak selalu benar. Pun orangtua tak bisa memiliki hidup sang anak sepenuhnya dengan mengatur dan memerintahkan seenaknya hingga harus dipatuhi. Orangtua yang gila hormat seperti ini di tengah anak generasi sekarang tentu hanya akan menimbulkan perdebatan hingga pertengkaran. 

Pahami sudut pandang anak, diskusi dua arah untuk mencari jalan tengahnya saat terdapat perbedaan. Minta maaf jika memang salah, tak perlu gengsi, justru ini mengajarkan anak untuk bisa mencontoh orangtuanya. Hal seperti inilah yang mengajarkan anak untuk tumbuh dewasa dengan pemikiran yang terbuka. 

5. Jika ingin akrab dengan anak ya harus berusaha, baik kualitas maupun kuantitas waktu

ilustrasi orangtua dan anak (pexels.com/Kindel Media)

Puncaknya, evaluasi terbaik untuk bisa meminimalisir pertengkaran dengan anak ialah dengan mengakrabkan diri dengan sang anak. Bak pekerjaan full time, hadirlah secara penuh sebagai orangtua untuk anakmu, baik secara kualitas maupun kuantitasnya. 

Jadilah sosok yang bisa dipercaya anak sebagai rumah pulang terbaik, bukan malah musuh yang harus dihindari anak karena selalu ngajak bertengkar. Ingatlah, saat tanpa sadar jadi musuh yang selalu kontra dengan anak. Maka, jangankan bisa tahu update kehidupan anak, dekat saja anak merasa tak nyaman, padahal dengan orangtuanya sendiri, lho. 

Pada akhirnya, tugas orangtua memang tak mudah, tak sekadar mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan anak. Melainkan lebih daripada itu, seni memahami anak menjadi hal yang tak kalah penting. Berusaha untuk bisa menjadi sosok mentor anak yang bijak hingga sahabat sejati anak tentu akan mudah untuk saling akrab hingga meminimalisir terjadinya pertengkaran, ya. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Melinda Fujiana
EditorMelinda Fujiana
Follow Us