Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Kebiasaan Orangtua yang Membuat Anak Jadi Pemberontak, Hindari!

ilustrasi ayah dan anak (pexels.com/@julia m cameron)

Pernahkah kamu merasa hubungan dengan anak semakin renggang, meskipun sudah berusaha keras untuk jadi orangtua yang terbaik? Kadang, niat baik orangtua malah bisa disalahartikan oleh anak. Hal-hal kecil yang tampak sepele ternyata menyimpan dampak besar terhadap psikologis anak, lho.

Di balik kebiasaan atau pola asuh yang terlihat biasa saja, ada kemungkinan itu menjadi alasan mengapa anak menjadi lebih pemberontak. Tanpa disadari, pola komunikasi dan respons orangtua bisa memengaruhi pola pikir dan perilaku anak. Yuk, simak apa saja hal yang sering terlewatkan ini agar hubungan dengan anak tetap harmonis!

1. Mengkritik terlalu sering, meskipun dengan niat baik

ilustrasi ibu dan anak (pexels.com/@mikhail nilov)

Sebagai orangtua, memberikan kritik memang bagian dari mendidik anak. Namun, kritik yang terlalu sering justru bisa membuat anak merasa dirinya selalu salah. Mereka cenderung kehilangan rasa percaya diri dan merasa tidak pernah cukup baik.

Anak yang merasa terus-menerus dikritik bisa mulai menutup diri atau malah melawan. Alih-alih mengkritik, coba fokus pada hal-hal baik yang mereka lakukan. Dengan apresiasi kecil, anak akan lebih percaya diri dan semangat untuk belajar.

2. Terlalu mengatur semua hal hingga anak kehilangan ruang

ilustrasi ayah menasehati anak (pexels.com/@august de richelieu)

Orangtua sering kali merasa perlu mengontrol setiap aspek kehidupan anak. Namun, tanpa disadari, terlalu banyak mengatur bisa membuat anak merasa terkekang. Mereka jadi tidak punya kesempatan untuk mengeksplorasi dan belajar mandiri.

Anak yang merasa tidak punya ruang sering kali berontak untuk mencari kebebasan. Sebaiknya, berikan mereka kesempatan untuk membuat keputusan kecil sesuai usia. Ini akan membantu mereka merasa dihargai dan belajar bertanggung jawab.

3. Mengabaikan perasaan anak dengan dalih 'masih kecil'

ilustrasi anak sedang marah (pexels.com/@rdne)

Kalimat seperti “Kamu kan masih kecil, nggak usah dipikirin” sering kali terdengar sepele. Namun, nyatanya, ini bisa membuat anak merasa perasaannya tidak penting. Anak yang terbiasa diabaikan bisa tumbuh dengan kesulitan mengekspresikan emosinya.

Padahal, mendengarkan cerita mereka, sekecil apa pun itu, sangat berarti. Dengan memberikan perhatian pada perasaan anak, hubungan emosional yang sehat akan terbangun. Mereka pun akan merasa lebih nyaman berbicara kepada orangtua.

4. Membandingkan anak dengan orang lain

ilustrasi ibu memarahi anak (pexels.com/Karolina Grabowska)

“Kenapa kamu gak bisa seperti si A?” Membandingkan anak dengan orang lain mungkin dimaksudkan untuk memotivasi, tapi dampaknya bisa sebaliknya. Anak merasa minder dan tidak percaya diri karena selalu dibandingkan.

Setiap anak punya kemampuan unik yang tidak bisa disamakan dengan orang lain. Fokuslah pada kelebihan mereka dan berikan apresiasi untuk usahanya. Ini akan membuat mereka merasa lebih dihargai dan percaya diri.

5. Kurangnya keseimbangan antara tegas dan kasih sayang

ilustrasi keluarga (pexels.com/@august de richelieu)

Terlalu tegas tanpa kasih sayang bisa membuat anak merasa tidak dicintai. Sebaliknya, terlalu memanjakan tanpa aturan tegas bisa membuat anak menjadi manja. Anak butuh keseimbangan antara batasan dan kehangatan.

Cobalah untuk menetapkan aturan yang jelas tapi tetap bersikap lembut. Dengan cara ini, anak akan merasa aman sekaligus dihargai. Hubungan orang tua dan anak pun menjadi lebih harmonis.

Menjadi orangtua adalah perjalanan belajar yang tak pernah berhenti. Kesalahan kecil yang tidak disadari bisa berdampak besar pada anak. Yuk, mulai perbaiki pola asuh dan lebih peka terhadap kebutuhan emosional mereka. Dengan begitu, anak akan tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri dan bahagia!`

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Tiara Merdika
EditorTiara Merdika
Follow Us