Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Cara Memberi Feedback saat Anak Gagal Tanpa Membuatnya Takut

ilustrasi memberi feedback positif saat anak gagal
ilustrasi memberi feedback positif saat anak gagal (pexels.com/Gustavo Fring)
Intinya sih...
  • Fokus pada usaha anak, bukan hasil semata
  • Menghargai usaha sebagai kunci keberhasilan
  • Menyoroti waktu dan keberanian anak
  • Gunakan bahasa yang positif
  • Kalimat positif membantu anak merasa aman dan dihargai
  • Ajak anak fokus pada solusi, bukan kesalahan
  • Tawarkan solusi bersama
  • Bimbingan untuk perbaikan diri setelah kegagalan
  • Melibatkan anak dalam proses penyusunan rencana perbaikan
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Kegagalan adalah hal yang tidak bisa dihindari dalam proses tumbuh kembang anak. Baik dalam hal akademik, lomba, maupun kegiatan sehari-hari, anak pasti akan mengalami situasi di mana hasil tidak sesuai dengan harapan. Sebagai orangtua, cara kita memberikan respons akan sangat memengaruhi bagaimana anak memandang kegagalan di masa depan.

Sayangnya, banyak anak justru kehilangan keberanian untuk mencoba lagi karena respons yang mereka terima terasa menekan. Nada marah, kalimat menyalahkan, atau perbandingan dengan orang lain dapat menimbulkan rasa takut gagal. Berikut lima cara memberi feedback saat anak gagal tanpa membuatnya takut.

1. Fokus pada usaha anak, bukan hasil semata

ilustrasi orangtua menghargai usaha anak
ilustrasi orangtua menghargai usaha anak (pexels.com/Mikhail Nilov)

Ketika anak gagal, kita sering kali hanya melihat hasil akhir tanpa mempertimbangkan proses panjang yang sudah ia lalui. Padahal, menghargai usaha adalah kunci agar anak menyadari bahwa kerja keras tetap berarti meski belum membuahkan hasil. Dengan begitu, anak belajar kegagalan bukan akhir, melainkan bagian dari proses menuju keberhasilan.

Misalnya, ketika anak gagal dalam lomba menggambar, kita bisa menyoroti waktu yang ia gunakan untuk berlatih dan keberanian tampil di depan umum. Dengan menekankan sisi positif dari usahanya, anak akan lebih termotivasi untuk memperbaiki diri. Hal ini juga melatih pola pikir berkembang yang membuat anak tidak mudah menyerah.

2. Gunakan bahasa yang positif

ilustrasi memberikan feedback positif kepada anak
ilustrasi memberikan feedback positif kepada anak (pexels.com/Artem Podrez)

Bahasa yang kita gunakan saat memberikan feedback dapat membentuk cara anak menilai dirinya sendiri. Kalimat yang penuh emosi negatif bisa menimbulkan rasa takut dan penolakan, sementara kalimat positif membantu anak merasa aman dan dihargai. Pilihan kata yang tepat dapat menjadi jembatan agar anak mau belajar dari kegagalannya.

Sebagai contoh, dibanding menekankan pada kegagalannya, orangtua bisa mengajak anak mengidentifikasi bagian mana yang masih terasa sulit. Strategi itu membuat anak lebih fokus pada solusi, bukan pada kesalahan. Dengan bahasa positif, feedback terasa seperti dukungan yang menumbuhkan semangat.

3. Tawarkan solusi bersama

ilustrasi orangtua menawarkan solusi bersama
ilustrasi orangtua menawarkan solusi bersama (pexels.com/Ksenia Chernaya)

Feedback yang baik bukan hanya mengingatkan kesalahan, tetapi juga memberikan jalan keluar. Anak perlu tahu bahwa setiap kegagalan bisa diperbaiki melalui langkah-langkah kecil yang terencana. Kehadiran kita sebagai pendamping akan membuat anak merasa tidak sendirian menghadapinya.

Misalnya, setelah gagal dalam ujian, kita bisa membantu anak membuat jadwal belajar baru atau mencari metode belajar yang lebih sesuai. Kita bisa melibatkan anak dalam proses penyusunan rencana agar ia merasa memiliki kendali atas perbaikannya. Dengan cara ini, feedback tidak hanya sekadar kritik, melainkan bimbingan yang membangun.

4. Hindari perbandingan dengan orang lain

ilustrasi orangtua mendukung anak
ilustrasi orangtua mendukung anak (pexels.com/cottonbro studio)

Membandingkan anak dengan orang lain sering dilakukan dengan harapan memotivasi. Namun, kenyataannya perbandingan justru melukai rasa percaya diri dan membuat anak merasa tidak pernah cukup. Hal ini dapat menimbulkan rasa iri, cemas, atau bahkan penolakan terhadap proses belajar.

Akan lebih baik jika kita fokus pada perkembangan pribadi anak. Kita bisa menekankan bahwa setiap orang memiliki jalannya masing-masing untuk berkembang, dan keberhasilan tidak diukur dengan standar yang sama. Dengan begitu, anak belajar menghargai dirinya sendiri serta memahami bahwa perbaikan diri lebih penting daripada sekadar bersaing dengan orang lain.

5. Validasi perasaan anak

ilustrasi seorang ibu menangani emosi anak
ilustrasi seorang ibu menangani emosi anak (pexels.com/Nataliya Vaitkevich)

Setiap kegagalan pasti menimbulkan reaksi emosional seperti kecewa, sedih, atau marah. Jika perasaan itu diabaikan, anak bisa merasa sendirian dan semakin sulit menerima feedback. Dengan memvalidasi perasaan anak, kita memberi pesan bahwa apa yang ia rasakan adalah normal.

Sebagai contoh, kita bisa menegaskan bahwa merasa kecewa adalah hal yang wajar karena itu tanda ia peduli dengan hasil yang diinginkan. Kalimat sederhana itu memberi ruang bagi anak untuk merasakan emosinya tanpa rasa bersalah. Setelah itu, orangtua dapat mengarahkan anak untuk bangkit perlahan dengan perspektif yang lebih positif.

Memberi feedback pada anak saat gagal bukan sekadar menyampaikan kritik, tetapi juga tentang bagaimana mendukung tumbuh kembangnya. Dengan cara yang tepat, kegagalan bisa menjadi kesempatan belajar yang membangun kepercayaan diri. Jika konsisten dilakukan, anak akan tumbuh lebih berani menghadapi setiap tantangan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Agsa Tian
EditorAgsa Tian
Follow Us

Latest in Life

See More

5 Ide Dekorasi Rumah dengan Barang Bekas yang Tetap Estetik

09 Sep 2025, 23:12 WIBLife