6 Penyebab yang Sering Bikin Penulis Berhenti Berkarya, Soal Uang?

Kalau tulisanmu sudah pernah terbit di media massa atau penerbit yang seleksinya ketat, sebetulnya prospek buat ke depannya sangat bagus. Pencapaian itu menandakan kualitas tulisanmu telah memenuhi standar terbit. Karyamu gak berantakan baik dari struktur kalimat maupun isi.
Dirimu hanya perlu terus menekuninya kalau mau selamanya menjadi penulis. Akan tetapi, tak sedikit penulis yang akhirnya berhenti berkarya sekalipun beberapa tulisannya sudah menghiasi media massa bahkan terbit sebagai sebuah buku. Meski keputusan ini hak masing-masing penulis, alangkah baiknya jika kamu tak mengikuti jejak tersebut.
Keterampilan menulis bukan sesuatu yang langsung dikuasai olehmu. Dirimu pasti sudah cukup lama berlatih. Kamu juga mengalami penolakan naskah beberapa kali sebelum akhirnya ada tulisan yang berhasil terbit. Oleh karena itu, waspadai hal-hal yang mendorongmu tidak mau lagi berkarya seperti enam hal di bawah ini.
1. Masalah pendapatan yang gak cukup buat hidup

Sebagian besar penulis memang bekerja secara lepas. Ini membuat gak ada istilah gaji dalam dunia kepenulisan. Sebagai gantinya, kamu memperoleh honorarium atau royalti. Besarannya tentu sangat bervariasi antarmedia. Total honorarium dalam sebulan ditentukan oleh banyaknya tulisanmu yang dimuat.
Jika dirimu menerbitkan buku, jumlah royalti juga tergantung hasil penjualan dan kesepakatan dengan penerbit. Penghasilanmu bisa nol rupiah sampai tak terhingga. Maka seharusnya soal isu kecilnya pendapatan penulis jangan membuatmu tidak mau lagi berkarya.
Kamu mesti mengimbangi informasi tersebut dengan fakta bahwa sejumlah orang bisa hidup cukup bahkan berlebih dari menulis. Semua kembali padamu sebagai penulis. Jika dirimu produktif dan pandai mengambil kesempatan, hidup layak hanya dari menulis sangat mungkin. Sebaliknya bila kamu lama vakum dari dunia menulis, tentu pemasukan juga seret.
2. Kurang sabar menghadapi revisi dan menunggu tulisan terbit

Menulis untuk media massa dan penerbit mayor pasti ada aturannya. Penulis perlu menyesuaikan diri. Jika tulisanmu mesti direvisi, kerjakan saja sesuai petunjuk yang diberikan. Tulisan yang diminta buat direvisi sebetulnya berpeluang besar untuk terbit.
Lain dengan tulisan yang tanpa diminta buat direvisi sudah langsung ditolak. Ini menandakan kualitas tulisan masih jauh dari harapan redaktur. Bila pun dirimu malas mesti merevisi tulisan sendiri berkali-kali, masih ada jalan buat memublikasikan karyamu.
Kamu bisa membuat blog, menerbitkan buku secara indi, atau menulis di platform yang tidak menerapkan pemeriksaan atas karya yang diunggah. Namun, memilih jalan ini mesti diimbangi dengan kemauan untuk terus belajar. Jangan kamu sebagai penulis hanya mencari sisi gampang dari menerbitkan karya, tapi kualitas tulisan tidak diperhatikan.
Masa tunggu untuk tulisan yang lolos seleksi dapat terbit juga sering bikin penulis pemula gak sabar. Misalnya, tulisan bisa lebih dari sebulan baru dimuat. Dirimu ingin tulisan yang dikirim terbit dalam beberapa hari ke depan. Tidak bisa begini sebab antrean tulisan yang layak terbit juga banyak. Kadang redaktur perlu menyesuaikan artikel yang akan terbit dengan momennya biar pas.
3. Sulit fokus untuk menghasilkan karya baru

Ada kemiripan antara kerja penulis dengan pabrik. Meski kecepatan produksi tulisan tidak bisa menyamai kecepatan produksi barang dengan bantuan mesin, karya baru mesti dihasilkan. Bila kamu lama sekali tak mengeluarkan karya baru, para pembaca sudah beralih ke karya penulis lain.
Saat dirimu akhirnya mengeluarkan karya baru, belum tentu mereka mau kembali lagi padamu. Mereka telanjur terpikat oleh tulisan-tulisan lain yang terus bermunculan. Masalahnya, fokusmu dalam menulis juga mudah terganggu kalau ada kesibukan lain yang menyita energi serta waktumu.
Mau tidak mau kamu perlu belajar mengatur waktu dan energi. Gak apa-apa butuh waktu lebih lama untukmu menyelesaikan sebuah karya. Terpenting dirimu tak sepenuhnya berhenti berkarya. Sisi positif dari berkarya dengan lebih lambat ialah sikap kritis terhadap tulisan sendiri meningkat. Hasilnya bisa lebih bagus daripada jika kamu menulis dengan terburu-buru.
4. Tak kuat mental menghadapi komentar negatif

Komentar negatif bisa datang dari pembaca, sesama penulis, atau kritikus. Ini sudah menjadi konsekuensi seorang penulis. Bila karyamu diterbitkan dan dibaca oleh banyak orang, tentu tidak semuanya menyukai. Bahkan ada orang yang tanpa pernah membaca tulisanmu pun berkomentar negatif.
Seperti menyepelekan pekerjaanmu sebagai penulis, menggampangkan prosesmu menulis, mengatakan tulisanmu pasti jelek, hingga mengejek pendapatan. Mungkin juga ada orang yang terus menganggapmu pengangguran karena cara kerja penulis tidak sama dengan karyawan kantoran. Jika mentalmu gak kuat menghadapi semua komentar di atas, dirimu memilih berhenti menulis.
Padahal, apa pun pekerjaan pengganti yang diambil pasti juga tak lepas dari komentar negatif. Bila lagi-lagi dirimu terlalu memasukkannya ke hati, bisa-bisa kamu malah gak bekerja sama sekali. Latihan bersikap cuek saja atas komentar orang. Terpenting dirimu senang menulis dan bisa memperoleh penghasilan.
5. Sejak awal komitmen kurang kuat, cuma coba-coba menulis

Semua pilihan hidup memerlukan komitmen yang tinggi dari orang yang menjalaninya. Apalagi menulis yang membutuhkan ketekunan. Bila dirimu tidak bertekad terus mengerjakan sesuatu dari waktu ke waktu, paling cuma bertahan sebentar. Oleh karenanya, jangan tanggung saat masuk ke dunia kepenulisan.
Kamu boleh memilih menjadikan menulis sebagai pekerjaan utama atau hanya sampingan. Akan tetapi, pastikan bahwa dirimu berkomitmen untuk terus melakukannya. Jangan sekadar kamu mencoba-coba mengirimkan naskah guna menjawab rasa penasaranmu tentang sulitnya menembus seleksi redaksi.
Bila dirimu cuma coba-coba, nanti setelah beberapa kali tulisanmu terbit menjadi gak ingin lagi melanjutkan. Bahkan kesukaan mencoba-coba ini bisa terulang di pekerjaan-pekerjaan lain. Kamu menjadi tidak pernah bertahan cukup lama di suatu pekerjaan dan menjadi kutu loncat di mana pun.
6. Bosan dengan aktivitas membaca dan menulis

Kedua kegiatan ini memang utama bagi penulis. Kualitas tulisanmu banyak dipengaruhi oleh bacaanmu. Tapi, tentu kamu masih bisa melakukan banyak aktivitas di luar membaca dan menulis. Rasa bosan terhadap apa pun tidak harus dijawab dengan berhenti total. Buat jadwal membaca, menulis, dan aktivitas lainnya.
Sebagai contoh, kamu butuh total 8 jam per hari untuk tidur. Berarti masih ada 16 jam lagi. Gunakan 1 jam setiap hari untuk fokus membaca. Lalu 7 jam lagi buat menulis kalau ini pekerjaan utamamu. Tersisa 8 jam untuk berbagai kegiatan lain. Dirimu dapat bersih-bersih diri serta rumah, memasak, belanja, main, berolahraga, dan sebagainya.
Asalkan semua kegiatan dibuatkan alokasi waktunya, kamu tidak akan merasa 24 jam cuma habis buat membaca dan menulis. Dirimu pun boleh memiliki hobi lain yang sama sekali gak berhubungan dengan membaca atau menulis. Seperti hobi otomotif serta menjadi anggota suatu klub. Menjadi penulis tak berarti hidupmu bakal monoton.
Kemampuan dalam menulis perlu dirawat bahkan terus diasah. Bukan justru dimatikan dengan keputusanmu tak lagi melakukannya. Apa pun yang ditulis olehmu, boleh jadi sangat bermanfaat bagi orang lain. Satu kalimat saja bisa menjadi sumber inspirasi untuk mereka. Apalagi satu artikel, cerita pendek, atau buku. Tetap menulis, ya.