7 Perjuangan Guru Honorer di Indonesia yang Gak Banyak Orang Tahu

Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, tapi gak semua dari mereka mendapat perlakuan layak. Di balik senyum tulus dan semangat mengajar, banyak guru honorer harus menghadapi realitas hidup yang pahit. Mereka bekerja dengan sepenuh hati, meski gaji yang diterima sering kali gak sebanding dengan tanggung jawab yang mereka pikul.
Dari pelosok desa sampai pinggiran kota, kisah mereka penuh perjuangan yang jarang tersorot. Berikut tujuh realita pahit guru honorer di Indonesia yang patut kita ketahui.
1. Gaji kecil yang gak cukup untuk kebutuhan dasar

Banyak guru honorer digaji jauh di bawah UMR, bahkan ada yang hanya menerima ratusan ribu rupiah per bulan. Uang sebanyak itu jelas gak cukup untuk biaya makan, transportasi, apalagi kebutuhan keluarga.
Meski begitu, mereka tetap datang ke sekolah setiap hari dan mengajar dengan penuh dedikasi. Beberapa terpaksa mencari pekerjaan sampingan seperti ojek online, jualan, atau buruh lepas demi bertahan hidup. Mirisnya, perjuangan ini sering kali luput dari perhatian publik maupun pemerintah.
2. Belum tentu diangkat meski sudah puluhan tahun mengajar

Ada guru honorer yang sudah mengabdi belasan bahkan puluhan tahun, tapi statusnya belum juga berubah. Mereka tetap digolongkan sebagai tenaga tidak tetap, tanpa jaminan kapan akan diangkat jadi PNS atau PPPK. Kondisi ini menimbulkan ketidakpastian yang menggerus semangat dan harapan.
Meski sudah teruji pengalaman dan loyalitasnya, banyak yang tetap terpinggirkan karena aturan seleksi yang ketat dan kuota terbatas. Padahal mereka sudah jadi tulang punggung sekolah di daerah terpencil yang kekurangan tenaga pengajar.
3. Harus merangkap banyak tugas karena kekurangan tenaga

Karena sekolah kekurangan guru, para honorer sering kali merangkap banyak mata pelajaran atau jabatan. Dari guru kelas, wali kelas, sampai bendahara sekolah, semua dikerjakan sendiri. Tugas administrasi pun gak luput dari tanggung jawab mereka, meski waktu dan tenaga sangat terbatas.
Kondisi ini bikin mereka sering kelelahan, bahkan mengalami burnout. Meski begitu, banyak dari mereka tetap bertahan karena merasa panggilan jiwa untuk mendidik generasi muda.
4. Minim perlindungan sosial dan jaminan kesehatan

Berbeda dengan guru ASN, guru honorer umumnya gak mendapat jaminan kesehatan, tunjangan, atau pensiun. Saat sakit atau mengalami kecelakaan, mereka harus menanggung semuanya sendiri. Bahkan untuk periksa ke dokter saja, banyak yang menunda karena gak punya uang.
Ini menunjukkan betapa rentannya posisi guru honorer di sistem pendidikan kita. Mereka bekerja untuk mencerdaskan bangsa, tapi tak mendapat perlindungan yang layak dari negara.
5. Tetap berdedikasi meski fasilitas mengajar serba terbatas

Banyak guru honorer ditempatkan di daerah terpencil yang minim akses dan fasilitas. Mereka mengajar di ruang kelas berlubang, tanpa listrik, dan kekurangan alat bantu belajar. Meski demikian, mereka tetap berusaha menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan efektif.
Tak jarang, mereka menggunakan uang pribadi untuk membeli alat tulis atau peralatan sekolah. Dedikasi ini luar biasa, karena mereka tetap memprioritaskan siswa meski hidup mereka sendiri penuh keterbatasan.
6. Sering jadi objek PHP kebijakan pemerintah

Sudah berkali-kali pemerintah menjanjikan pengangkatan massal atau perbaikan nasib guru honorer. Tapi kenyataannya, implementasinya sering lambat atau berubah-ubah. Hal ini bikin banyak guru honorer merasa digantung dan kecewa.
Mereka tetap harus ikut tes kompetensi berkali-kali, bersaing dengan ribuan orang lain, meski pengalaman mengajarnya sudah puluhan tahun. Ketidakjelasan ini membuat masa depan mereka serba abu-abu, padahal mereka hanya ingin pengakuan yang adil.
7. Jarang diapresiasi, meski peran mereka sangat vital

Guru honorer punya peran besar dalam menjaga roda pendidikan tetap berjalan, terutama di daerah yang kekurangan tenaga pengajar. Sayangnya, apresiasi yang mereka terima minim, baik dari pemerintah maupun masyarakat.
Banyak yang bahkan gak dikenali sebagai guru resmi, hanya dianggap ‘bantu-bantu aja.’ Padahal tanpa mereka, banyak sekolah akan lumpuh. Sudah saatnya kita mulai memberi perhatian dan penghargaan yang layak untuk para pahlawan pendidikan ini.
Perjuangan guru honorer bukan sekadar cerita tentang gaji kecil, tapi tentang ketulusan mengabdi dalam sistem yang belum sepenuhnya berpihak pada mereka. Mereka terus mendidik, memotivasi, dan membentuk karakter generasi muda, meski hidup mereka sendiri penuh ketidakpastian. Sudah saatnya pemerintah dan masyarakat membuka mata dan memberi mereka tempat yang pantas. Karena tanpa guru, masa depan bangsa pun akan kehilangan arah.