Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Apa Itu Whataboutism? Taktik Mengalihkan Isu saat Adu Argumen

Ilustrasi debat (pexels.com/SHVETS production)
Ilustrasi debat (pexels.com/SHVETS production)
Intinya sih...
  • Whataboutism adalah taktik pengalihan isu dengan menanggapi kritik menggunakan pertanyaan "bagaimana dengan...?"
  • Sejarah whataboutism terkait dengan taktik politik, seperti Nazi Jerman dan Uni Soviet, serta termasuk logical fallacy.
  • Whataboutism digunakan untuk mengalihkan fokus, membela diri, menciptakan relativisme moral, menang secara retoris, dan membangun narasi pembenaran diri.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Di era yang penuh informasi, pasti kamu familier dengan konten podcast maupun talkshow yang isinya adalah adu argumentasi, tak terkecuali seputar isu politik. Bahkan, tak hanya di media sosial, di dalam kehidupan sehari-hari pun kamu sering beradu opini ataupun sekedar sharing.

Nah, di tengah-tengah pembahasan suatu topik, mungkin kamu pernah menemui seseorang yang menanggapi kritik dengan kalimat seperti, “Tapi bagaimana dengan…?”, yang seolah mengalihkan topik pembicaraan. Bukan hanya pada obrolan langsung, respons suatu opini di media sosial di kolom komentar pun sering ditemukan kalimat pengalihan tersebut.

Itulah yang disebut "whataboutism", di mana ini merupakan strategi pengalihan topik saat sedang membahas isu penting untuk menghindari kesalahan atau tanggung jawab. Menarik bukan untuk dibahas? Yuk, kita cari tahu tentang apa itu whataboutism di sini!

1. Apa itu whataboutism?

Ilustrasi debat (pexels.com/Mikhail Nilov)
Ilustrasi debat (pexels.com/Mikhail Nilov)

Dalam bahasa Inggris, kamu pasti pernah mendengar frasa "what about", yang artinya "bagaimana dengan?". Secara umum, kata ini digunakan untuk menawarkan alternatif pilihan atau memberi saran. Misalnya: "what about a cup of coffee?" atau "what about going to the zoo?".

Namun pada konteks tertentu, frasa what about bisa digunakan untuk mengalihkan isu atau topik pembicaraan, yang disebut dengan "whataboutism". Dikutip dari Britannica, whataboutism adalah praktik retorika menanggapi tuduhan atau pertanyaan sulit dengan membuat tuduhan balasan, mengajukan pertanyaan yang berbeda namun terkait, atau mengangkat isu yang sama sekali berbeda.

Whataboutism sering kali berfungsi untuk mengurangi persepsi kewajaran atau keseriusan tuduhan, atau menyiratkan bahwa orang yang mengajukan pertanyaan awal adalah orang yang munafik. Bisa juga menunjukkan perilaku buruk responden bukanlah hal yang unik atau belum pernah terjadi sebelumnya. Praktik whataboutism biasanya dimulai dengan pertanyaan retorika berbentuk "bagaimana dengan...?".

2. Sejarah whataboutism lekat dengan taktik politik

Ilustrasi debat (pexels.com/Werner Pfennig)
Ilustrasi debat (pexels.com/Werner Pfennig)

Dilansir laman BBC, whataboutism digunakan sebagai taktik politik dengan cara mengolok-olok, ketika Nazi Jerman di tahun 1930 dikecam karena mencaplok wilayah Eropa, yaitu Polandia. Ketika diserang dengan berbagai pertanyaan, Jerman mengatakan mereka hanya melakukan apa yang telah dilakukan negara seperti Inggris dan Prancis selama berabad-abad di Afrika dan Asia.

Taktik ini dilanjutkan oleh Uni Soviet pada tahun 1950, di era hak asasi manusia. Tuduhan terhadap pembunuhan warga negara Soviet dibalas dengan mengatakan bahwa orang kulit hitam dibunuh setiap hari di Amerika Serikat. Setelah runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, pemerintah Rusia, khususnya di bawah kepemimpinan Vladimir Putin, terus mengandalkan taktik whataboutism sebagai sarana untuk menangkis kritik Barat.

3. Whataboutism termasuk logical fallacy (kesesatan berpikir)

Ilustrasi debat (pexels.com/Anna Shvets)
Ilustrasi debat (pexels.com/Anna Shvets)

Whataboutism bukanlah bentuk debat yang bermanfaat atau logis, karena ia bergantung pada gagasan bahwa dua kesalahan menghasilkan kebenaran. Dan meskipun banyak dukungan untuk gagasan whataboutism, ini adalah analogi yang keliru. Melakukan hal buruk tidak dapat dimaafkan hanya karena ada hal buruk lainnya.

Whataboutism sendiri merupakan salah satu bentuk dari logical fallacy (kesesatan berpikir) yang berakar dari tu quoque fallacy. Dikutip dari Logical Fallacie, dalam tu quoque fallacy, seseorang membantah kritik dengan mengatakan bahwa si pengkritik juga melakukan hal serupa.

Whataboutism bisa jadi hanya digunakan sebagai alasan. Nazi mungkin tidak menginvasi Polandia sebagai protes terhadap imperialisme Inggris. Uni Soviet juga tidak membunuh rakyatnya sendiri sebagai reaksi terhadap rasisme di AS.

4. Tujuan penggunaan whataboutism hari ini

Ilustrasi debat (pexels.com/Henri Mathieu-Saint-Laurent)
Ilustrasi debat (pexels.com/Henri Mathieu-Saint-Laurent)

Dalam beberapa tahun terakhir, whataboutsim digunakan kembali dengan alasan karena lebih mudah untuk menunjuk ke arah lain daripada menunjuk ke arah diri sendiri. Hari ini, kata tersebut sering dipakai untuk mengalihkan perhatian, dari kritik yang sedang dibahas dengan menunjuk kesalah lain. Padahal, kesalahan lain itu mungkin tidak terlalu relevan dengan topik yang sedang dibahas. Misalnya, digunakan untuk:

  • Mengalihkan fokus dari isu utama
    Whataboutism digunakan untuk mengubah arah pembicaraan agar topik utama tidak dibahas lebih lanjut. Misal: Ketika seseorang dikritik, ia membalas dengan, “Tapi bagaimana dengan mereka yang juga melakukan hal itu?”.
  • Membela diri atau kelompok tertentu
    Tujuannya adalah membuat tindakan yang salah terlihat lebih “biasa” atau bisa dimaklumi dengan menunjukkan kesalahan pihak lain.
  • Menciptakan relativisme moral
    Dengan mengatakan bahwa “semua orang juga salah”, pelaku whataboutism mencoba meniadakan perbedaan antara benar dan salah, seolah-olah tidak ada pihak yang lebih bertanggung jawab.
  • Menang secara retoris, bukan secara logis
    Whataboutism sering digunakan dalam debat publik, media sosial, atau politik untuk menang dalam persepsi publik, meski argumennya tidak benar-benar menjawab masalah.
  • Membangun narasi pembenaran diri
    Di era digital, teknik ini sering dipakai untuk mempertahankan citra diri, organisasi, atau pemerintah dari kritik dengan cara membandingkan kasus lain yang seolah lebih buruk.

5. Contoh whataboutism di kehidupan sehari-hari

Ilustrasi debat (pexels.com/Andres Ayrton)
Ilustrasi debat (pexels.com/Andres Ayrton)

Selain contoh politik, ini beberapa contoh whataboutism dalam kehidupan sehari-hari:

  • Seorang istri menuduh suaminya terlalu banyak minum. Sang suami menjawab, "Bagaimana denganmu? Kamu merokok terus-menerus."
  • Seorang pemilik usaha ritel bertanya kepada seorang karyawan apakah ia pernah mengambil uang dari kotak tip. Karyawan itu menjawab, "Bagaimana dengan semua badan amal yang sudah saya dukung?"
  • Seorang ayah bertanya kepada putrinya mengapa ia pulang larut malam. Putrinya menjawab, "Bagaimana dengan pertandingan sepak bola kemarin itu?"

6. Praktik whataboutism bisa jadi positif, loh!

Ilustrasi debat (pexels.com/Mikhail Nilov)
Ilustrasi debat (pexels.com/Mikhail Nilov)

Whataboutism umumnya dianggap sebagai praktik negatif karena cenderung mengikis rasa saling percaya, memecah belah diskusi, dan meremehkan isu-isu serius. Meskipun demikian, praktik ini dapat memberikan manfaat positif dalam beberapa situasi.

Untuk menunjukkan inkonsistensi atau standar ganda (double standard). Jika digunakan dengan tujuan mendorong keadilan atau konsistensi moral, whataboutism bisa jadi alat kritik yang valid.

Contoh: “Kita menuntut transparansi dari pemerintah, tapi bagaimana dengan perusahaan besar yang juga menyembunyikan data publik?”

Di sini, tujuannya bukan untuk mengalihkan isu, melainkan menyoroti standar ganda yang perlu diperbaiki.

Sebagai bahan refleksi atau perbandingan yang membangun.
Kadang, whataboutism bisa membantu memperluas perspektif, selama konteksnya untuk memahami masalah lebih dalam, bukan untuk menolak tanggung jawab.

Contoh: “Kita fokus pada polusi udara di kota, tapi bagaimana dengan limbah laut? Keduanya saling berkaitan.”

Ini membantu memperkaya diskusi, bukan mematikan argumen.

Untuk mencari solusi yang lebih menyeluruh. Dalam diskusi kebijakan atau sosial, whataboutism bisa jadi pemicu untuk mempertimbangkan dampak lebih luas.

Contoh: “Kita ingin membatasi kendaraan pribadi, tapi bagaimana dengan sistem transportasi publiknya?”

Ini bukan bentuk pembelaan diri, melainkan ajakan mencari solusi berimbang.

Jadi, intinya whataboutism bisa bernilai positif, jika:

  • Didorong oleh niat untuk keadilan atau konsistensi.
  • Disampaikan tanpa menghindari tanggung jawab.
  • Dan digunakan untuk memperluas pemahaman atau mencari solusi.

Nah, itulah pembahasan yang perlu kamu ketahui tentang istilah whataboutism. Semoga menambah wawasanmu sekaligus membuatmu lebih bijaksana dalam mengungkapkan pendapat, ya!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Muhammad Tarmizi Murdianto
EditorMuhammad Tarmizi Murdianto
Follow Us

Latest in Life

See More

30 Contoh Soal UTS IPA Kelas 8 Semester 1 Kurikulum Merdeka, yuk Latih!

13 Okt 2025, 20:47 WIBLife