4 Trauma yang Menyebabkan Seseorang jadi Hyper-Independence

Hyper-independence adalah kondisi seseorang yang bersikap mandiri secara berlebihan. Mereka menolak untuk diberi bantuan dan merasa wajib untuk mengandalkan dirinya sendiri. Pola perilaku macam ini sering kali tidak kita sadari sebagai respons trauma. Hal ini dikarenakan beberapa orang mengira perilaku ini sebagai hal yang normal bahkan kerap dianggap sebagai kelebihan seseorang.
Padahal, hyper-independence memiliki perbedaan dengan kemandirian yang biasa. Kemandirian yang normal, biasanya tidak terlihat berlebihan dan masih bisa menerima fakta bahwa ia tidak bisa meng-handle segala hal sendirian. Sedangkan, hyper-independence muncul sebagai respons terhadap trauma yang pernah kita alami. Berikut beberapa trauma masa lalu yang membentuk pola perilaku hyper-independence. Simak lebih lanjut, yuk!
1. Trauma akibat pernah diabaikan

Meski terkesan remeh, pengalaman diabaikan di masa lalu bisa andil begitu besar pada seseorang saat mereka dewasa. Jika di masa lalu seseorang sering diabaikan, mereka bisa saja membentuk pola perilaku hyper-independence tanpa mereka sadari. Pola perilaku ini adalah mekanisme pertahanan mereka akibat trauma masa lalu.
Perasaan diabaikan ini membuat mereka tumbuh tanpa bisa mengandalkan siapa pun. Mereka merasa bahwa mereka hanya memiliki dirinya sendiri. Hal ini menyebabkan mereka mendorong diri mereka untuk tidak bergantung pada siapa pun. Secara lebih implisit mereka merasa tidak memiliki siapa pun yang bisa mereka andalkan.
2. Trauma pernah dikhianati dan janji yang tidak ditepati

Setelah mengetahui hal ini, berjanjilah bahwa kita tidak akan pernah berkhianat dan meremehkan janji. Bagi sebagian orang, pengalaman dikhianati atau janji yang tidak ditepati bisa meninggalkan trauma yang mendalam. Trauma ini bisa menjadikan mereka sulit untuk mempercayai siapa pun di masa depan.
Oleh karena itulah, orang-orang yang memiliki pola perilaku hyper-independence ini mulai berhenti untuk percaya pada siapapun. Mereka lebih memilih untuk menyelesaikan segalanya sendiri. Hal ini dikarenakan mereka takut mengalami pengkhianatan yang sama lagi.
3. Parentifikasi juga bisa menjadi trauma yang andil

Bukan mustahil di antara kita, ada seseorang yang berada di posisi yang meharuskan mereka memerankan peran orang dewasa di sekitarnya. Contohnya, saat kita menjadi kakak, orang-orang mewajibkan kita untuk mengasuh adik, mengambil alih pekerjaan domestik, atau bahkan memecahkan masalah keluarga. Kondisi ini bisa juga andil membentuk pola perilaku hyper-independence, lho!
Hal ini dikarenakan, kita sudah dituntut untuk menjadi mandiri sejak kecil. Tanggungjawab yang begitu besar hingga menimbulkan trauma ini kita kenal dengan istilah parentifikasi. Jika kita sudah menjadi orangtua, pastikan anak-anak kita nantinya tumbuh sesuai dengan usianya, ya! Jangan biarkan mereka tumbuh dengan luka inner child yang sulit sembuh.
4. Tumbuh dengan keyakinan bahwa meminta bantuan adalah kelemahan

"Masa gitu saja gak bisa, sih! Ini kan gampang!" kalimat ini mungkin terdengar spele bagi sebagian orang. Akan tetapi, siapa sangka kalimat meremehkan ini bisa menyebabkan trauma pada beberapa orang hingga mereka menjadi hyper-independence. Mendengar kalimat tersebut membuat sebagian orang merasa ada yang salah dengan dirinya.
Mereka bahkan mengira meminta bantuan adalah wujud dari kelemahan. Dengan keyakinan tersebut, mereka akan tumbuh dengan pola perilaku mandiri yang toksik. Mereka akan mencegah dirinya dari meminta pertolongan pada siapapun karena tidak ingin dianggap lemah.
Mandiri memang perlu ditumbuhkan sejak kecil. Tentu, yang kita maksud adalah kemandirian yang baik bukan yang toksik seperti hyper-independence. Jika kita merasakan adanya tanda-tanda hyper-independence pada diri kita, jangan ragu untuk mencari bantuan para terapis atau psikolog yang ahli di bidangnya. Mungkin kita mengalami salah satu dari empat trauma di atas tanpa kita sadari, yang belum sembuh dan terbawa sampai kita dewasa.