Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi burnout (freepik.com/freepik)

Intinya sih...

  • Perfeksionisme berlebihan menciptakan tekanan yang tidak masuk akal, menyita energi, waktu, dan emosi.

  • Overachiever menghubungkan harga diri dengan produktivitas, menganggap istirahat sebagai kelemahan, dan merasa takut mengecewakan orang lain.

  • Menghindari kegagalan dengan menumpuk target membuat overachiever kehilangan fokus dan merasa tidak pernah cukup.

Dalam dunia yang semakin kompetitif, menjadi seorang overachiever sering dipandang sebagai hal yang membanggakan. Orang-orang dengan pola pikir ini biasanya punya dorongan besar untuk mencapai target tinggi, produktif setiap saat, dan selalu haus pencapaian. Tapi di balik semangat luar biasa itu, ada tekanan psikologis yang sering kali gak disadari. Semangat yang terus menyala bisa berubah menjadi bara yang membakar diri sendiri secara perlahan.

Overachiever cenderung sulit berhenti sejenak. Mereka merasa harus terus bergerak dan gak boleh kehilangan momentum, bahkan ketika tubuh dan pikirannya sudah kelelahan. Pola pikir yang kelihatannya produktif ini justru bisa menjadi jalan cepat menuju burnout. Artikel ini akan membahas lima pola berpikir khas overachiever yang diam-diam bisa merusak kesehatan mental dan fisik. Kalau terus dibiarkan, kondisi ini bisa menggerus kualitas hidup secara menyeluruh.

1. Perfeksionisme berlebihan

ilustrasi perfeksionis (freepik.com/pressfoto)

Salah satu ciri khas overachiever adalah perfeksionisme yang kelewat batas. Setiap detail harus sempurna, bahkan kesalahan kecil dianggap sebagai kegagalan besar. Ini menciptakan tekanan yang gak masuk akal, karena dalam hidup, hasil sempurna gak selalu bisa dicapai. Akibatnya, rasa puas pun jadi langka, meskipun pencapaian sebenarnya sudah luar biasa.

Perfeksionisme ini bukan cuma menyita energi, tapi juga waktu dan emosi. Orang jadi mudah stres, khawatir, bahkan takut mencoba hal baru karena takut hasilnya gak sesuai ekspektasi tinggi yang ditetapkan sendiri. Proses belajar malah jadi terasa menyiksa, bukan menantang. Lambat laun, perfeksionisme ini bisa membuat seseorang merasa kelelahan terus-menerus tanpa tahu sebab pastinya.

2. Mengukur harga diri dari produktivitas

ilustrasi produktif (freepik.com/freepik)

Overachiever sering menghubungkan nilai dirinya dengan seberapa banyak hal yang bisa diselesaikan dalam satu hari. Kalau gak sibuk atau merasa kurang produktif, langsung merasa gagal atau gak berguna. Pola pikir seperti ini menciptakan ilusi bahwa istirahat itu sama dengan kemunduran. Padahal, produktivitas tanpa istirahat justru gak akan bertahan lama.

Ketika seseorang hanya merasa berharga saat produktif, maka istirahat jadi musuh yang harus dihindari. Bahkan waktu luang bisa memicu rasa bersalah. Pola pikir ini berbahaya karena mengabaikan kebutuhan tubuh dan pikiran untuk rehat. Tanpa disadari, seseorang bisa terjebak dalam lingkaran kerja tanpa henti yang menjurus pada kelelahan ekstrem.

3. Takut mengecewakan orang lain

ilustrasi mengecewakan orang lain (freepik.com/yanalya)

Overachiever sering merasa bertanggung jawab untuk selalu membuat orang lain senang, termasuk atasan, rekan kerja, bahkan keluarga. Ketika diminta bantuan, mereka cenderung sulit menolak karena takut dianggap malas atau gak kooperatif. Rasa takut mengecewakan ini membuat mereka terus menyanggupi berbagai tugas meski sudah kewalahan. Akhirnya, beban yang dipikul pun menumpuk tanpa filter.

Rasa ingin diandalkan memang terkesan mulia, tapi kalau terlalu sering memaksakan diri, hasilnya justru destruktif. Orang mulai kehilangan batas antara keinginan pribadi dan tuntutan luar. Mereka terus memprioritaskan orang lain, sampai lupa menjaga diri sendiri. Kondisi ini sangat rawan menimbulkan kelelahan mental dan emosional yang berkepanjangan.

4. Menghindari kegagalan dengan menumpuk target

ilustrasi overachiever (freepik.com/wirestock)

Pola pikir lain yang sering menjebak overachiever adalah keyakinan bahwa satu-satunya cara menghindari kegagalan adalah dengan menetapkan banyak target sekaligus. Mereka percaya bahwa semakin banyak target yang dicapai, semakin kecil peluang gagal. Padahal, realitasnya malah membuat mereka kewalahan dan kehilangan fokus. Semakin tinggi ekspektasi, semakin besar tekanan batin yang dirasakan.

Target yang terus bertambah ini gak cuma menyita waktu dan tenaga, tapi juga menyusup ke ruang personal. Waktu istirahat pun sering kali diserobot oleh target-target yang belum selesai. Bukannya merasa puas, orang malah merasa gak pernah cukup. Ini seperti berjalan tanpa akhir di atas treadmill emosional yang terus bergerak tanpa arah yang jelas.

5. Menganggap istirahat sebagai kelemahan

ilustrasi tidur (freepik.com/DC Studio)

Banyak overachiever merasa bahwa istirahat adalah bentuk kemalasan. Mereka terbiasa menormalisasi kelelahan sebagai bagian dari perjuangan sukses. Pola pikir ini membuat seseorang menunda-nunda waktu rehat hingga tubuh benar-benar "memaksa" untuk berhenti. Bahkan saat merasa sakit, overachiever bisa tetap memaksakan diri bekerja seolah gak ada yang salah.

Menganggap istirahat sebagai kelemahan menciptakan ketegangan konstan dalam tubuh dan pikiran. Waktu tidur terganggu, konsentrasi menurun, dan semangat pun jadi mudah redup. Tanpa istirahat yang cukup, performa pun akan menurun dan risiko burnout makin besar. Ironisnya, dalam mengejar produktivitas maksimal, mereka justru kehilangan kemampuan untuk bertahan lama.

Gak semua ambisi harus dikejar dalam satu waktu. Overachiever perlu menyadari bahwa jeda bukan musuh, tapi bagian penting dari proses bertumbuh. Pola pikir yang terlalu keras pada diri sendiri justru bisa merusak apa yang selama ini diperjuangkan. Waktu istirahat, menikmati hidup, dan belajar menerima kekurangan bukan tanda kelemahan, justru itulah bentuk kekuatan yang sesungguhnya.

Gak semua ambisi harus dikejar dalam satu waktu. Overachiever perlu menyadari bahwa jeda bukan musuh, tapi bagian penting dari proses bertumbuh. Pola pikir yang terlalu keras pada diri sendiri justru bisa merusak apa yang selama ini diperjuangkan. Waktu istirahat, menikmati hidup, dan belajar menerima kekurangan bukan tanda kelemahan, justru itulah bentuk kekuatan yang sesungguhnya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team

EditorAgsa Tian